Sunday 13 September 2015

TAREKAT SYADZILIYAH DAN KONSEP SULUKNYA

Syadziliyah adalah nama tarekat yang termasuk ke dalam tarekat mu’tabarah. Tarekat ini didirikan oleh al-Hasan Ali al-Syadzilli.
Tarekat Syadzili dikenal sebagai tarekat yang sederhana dalam ajarannya, tidak berbelit-belit, persyaratan pengalaman tarekat syadziliyah tidaklah berat-berat, kepada setiap murid, kecuali meninggalkan maksiat-maksiat, sebagai lazimnya terdapat tradisi tarekat, mereka diwajibkan memelihara kewajiban ibadat-ibadat sunnah sekuatnya, termasuk dalam hal itu adalah dzikir kepada Tuhan. Sekurang-kurangnya seribu kali dalam sehari semalam.[1]


A.    Sejarah lahirnya
Tarekat Syadziliyah tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu al-Hasan al-Syadzilli. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbahkan pada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda-beda dengan tarekat lain. [2]
Secara lengkap nama pendirinya adalah Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan dengan demikian berarti juga keturunan Siti Fatimah anak perempuan dari Nabi Muhammad Saw. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut : Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Bathal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.[3]
Dia dilahirkan di Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H.[4] Pendidikannya dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian dilanjutkan kependidikan lebih lanjut, yang mana di antara guru kerohaniannya adalah ulama besar, Abdus Salam Ibn Masyiqy (w. 628 H / 1228 M), yang juga dikenal sebagai “Quthab dari Quthub para Wali”, seperti halnya Syeikh Abd. Al-Qadir al-Jilani (w. 561 H / 1166 M).
Di masa-masa selanjutnya, atas saran gurunya, Abdus Salam. Ia meninggalkan Maroko untuk ber-uzlah dalam sebuah gua di dekat desa Syadzila di Tunisia Afrika tempat ia mendapatkan nisbah-nya. Dari tempat uzlah-nya, ia secara berkala keluar untuk berceramah, mengajar dan berdiskusi dengan para ulama dan para sufi. Ceramah dan pengajarannya mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari masyarakat setempat. Tak terkecuali, banyak dari kalangan ulama dan tokoh sufi yang berdatangan untuk berdiskusi dengannya. Dari kalangan tokoh sufi yang aktif datang mendengarkan ceramah dan berdiskusi dengannya, sekaligus menjadi murid-muridnya tercatat misalnya : Syaikh Abul Hasan Ali Ibnu Maklif Asyadzili, Abu Abdillah as-Shabuni, Abu Muhammad Abdul Aziz al-Patuni, Abu Abdillah al-Bijjoj. Demikianlah, ketenaran nama Abul Hasan sebagai seorang ulama sufi menyebar luas dan dengan cepat memperoleh pengikut yang banyak.
Ketenaran Abul Hasan mengundang dan memancing iri dan kemarahan kaum ulama fiqih di Tunisia. Kemudian mereka memfitnahnya di hadapan Sultan Abu Zakariyya al-Hafsi. Ia dan para pengikutnya mengalami penganiayaan yang sangat pedih. Setelah situasi dari kondisi tidak memungkinkan lagi baginya untuk tetap tinggal di Tunisia, pada tahun 642 H, Ia memutuskan untuk mengungsi di Mesir diikuti oleh beberapa gelintir pengikutnya, dan menetap di Iskandariyah.[5]
Di Mesir, sebagaimana halnya di Tunisia, majelis-majelis pengajiannya dihadiri oleh bukan saja kalangan masyarakat awam dan pecinta ilmu. Tetapi juga oleh para ulama-ulama besar dan terkemuka seperti sultanul ulama: Izzudin ibn Abdus Salam, Taqiuddin ibn Daqiqil, Ibn Yasin (murid terkemuka Ibn ‘Arabi) dan lain-lain.[6]
Meskipun semakin populer dan masyhur di kalangan masyarakat dan ulama di Mesir, ia melakukan korespondensi dengan sekelompok kecil muridnya di Tunisia yang dengan setia tetap menghidupkan namanya di sana. Beberapa surat korespondensinya yang berhasil ditemukan menampakkan bahwa ia adalah Syaikh yang manusiawi, pemuka haji, yang dedikasi personilnya tidak melemahkan kepeduliannya atas kesejahteraan pengikut-pengikutnya.
Pada akhirnya Abdul Hasan asy-Syadzili dan ajaran-ajarannya, yang mengambil Mesir sebagai pusat penyebarannya ini, menjadi sufisme yang besar dan terbentuk dalam suatu tarekat yang dikenal dengan tarekat syadziliyah. Tarekat ini mewakili tradisi tasawuf maghrib dan terkenal dengan hizib-hizibnya.[7]
Sepeninggalannya, ia digantikan oleh Syaikh Abul Abbas al-Mursi sebagai pemimpin tarekatnya. Yang juga dipegangnya sampai ia meninggal dunia di Iskandariyah tahun 686 H. Ia digantikan salah seorang muridnya, asal Mesir, Ibnu Athaillah as-Sukandari (al-Iskandari).[8]
B.     Pandangan Hidup Pendiri Tarekat Syadziliyah
Secara pribadi Abu Hasan asy-Syadzilli tidak meninggalkan karya tasawuf, di antara sebabnya adalah karena kesibukan-kesibukannya melakukan pengajaran-pengajaran terhadap murid-muridnya yang sangat banyak dan sesungguhnya ilmu-ilmu tarekat itu adalah ilmu hakekat, ajaran-ajarannya dapat diketahui dari para muridnya, misalnya tulisan  Ibn Atha ‘Illah al-Iskandar, ketika al-Syadzili ditanya perihal mengapa ia tak mau menuliskan ajaran-ajarannya, maka ia menjawab : “Kutubi Ashlati”, kitab-kitabku adalah sahabatku.[9]
Adapun pemikiran-pemikiran al-Syadzilliyah tersebut adalah :[10]
1.      Tidak menganjurkan kepada murid-murid untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Swt. dan mengenai rahmat Ilahi.
2.      Tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at Islam
3.      Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia, karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah.
4.      Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya.
5.      Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
6.      Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah Swt.
7.      Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), al-Syadzilli berpendapat bahwa ma’rifah adalah salah satu tujuan ahli tarekat dan tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan, yaitu :
Antara al-Ghazali dan al-Syadzili di samping memiliki beberapa kesamaan, juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apabila al-Ghazali lebih menekankan Riyadhah al-Abdan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya musyaqqah, misalnya bangun malam, lapar dan lain-lain, maka al-Syadzili lebih menekankan para Riyadhah al-Qulub tanpa adanya Musyaqah al-Abdan, misalnya menekankan senang (al-Fash), rela (al-Ridha) dan selalu bersyukur atas rahmat dan nikmat Allah Swt.[11]
Syadzilli sendiri tidak mengenal atau menganjurkan muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan, di dalam tarekat Syadzilliyah terdapat sendi-sendi yang harus dipatuhi dan kelima sendi-sendi itu adalah :
1.      Semangat yang tinggi yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
2.      Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih pengalaman Allah atas kehormatannya.
3.      Berlaku benar / baik dalam khidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya / kemuliaan-Nya.
4.      Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikan kepada kebahagiaan hidupnya.
5.      Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.[12]
C.    Ajaran Hizib (Do’a dan Dzikir) Tarekat Syadziliyah
Hizib yang diajarkan Tarekat Syadziliyah di antaranya adalah: Hizb al-Syifa’, Hizb al-Kahfi atau al-Autad, Hizb al-bahr, Hizb al-Baladiyah atau Bithatiyah, Hizb al-Barr, Hizb al-Mubarak, Hizb al-Salama, Hizb al-nur, dan Hizb al-Hujb.[13] Hizb-hizb tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali hizb tersebut telah mendapatkan izin/ijazah dari mursyid atau seorang murid yang ditunjuk oleh mursyid untuk mengijazahkannya. Contoh :
1.      Hizb al-Syifa’
Hizb al-Syifa’ adalah hizb yang khas dari tarekat Syadziliyah di Tulung Agung. Sebelum seseorang mengikuti baiat atau talqin zikir, biasanya ia dianjurkan untuk membaca hizb al-syifa’. Adapun cara mengamalkan adalah apabila disertai puasa maka hizb as-Syifa’ dibaca setiap selesai shalat fardhu dan puasa dilaksanakan selama tiga hari, tujuh hari, sepuluh hari, atau empat puluh hari, sesuai dengan petunjuk mursyid. Puasa dimulai hari Selasa, Rabu, dan Kamis. Apabila tidak disertai puasa, maka pembacaan hizb al-syifa’ dilaksanakan cukup satu kali dalam sehari semalam.
Pertama-tama membaca surat al-Fatihah yang ditujukan kepada Allah Swt, Nabi Muhammad Saw, Sayidina Abu Bakar al-Shiddiq, Sayidina Umar bin Khatab, Sayidina Utsman bin Affan, Sayidina Ali bin Abi Thalib, Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani, mbah Panjulu, Sunan Kali Jaga, Syeikh Ibnu Ulwan, dan Wali Sembilan di Indonesia, Sultan Agung, Syaikh Abd al-Qadir Kediri, Syeikh Mustaqim bin Husein, kedua orang tua, dan Nabi Hidlir a.s.
Bacaan Hizb al-Syifa’ tersebut adalah :[14]
اَللُّهُمَّ بِاَشْفاءٍ بِشِفَائِكَ وَدَوَاهُ بِدَوَائِكَ وَعَافَاهُ مِنْ بِلاَ ئِكَ الْكَرِيْمِ صُمَّ بُكُمء عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُوْن (4 ×/ 6×/11×). اَلْغَنِيُ الْمَـانِعُ وَاللهُ الْغَنِيُ الْحَمِيْدُ (7×). اِنْ شَاءَ اللهُ بِبَرَكَتِهِ دُعَائِهِ سُبْحَانَ مَنِ احْتَجَبَ بِجَبَرُوْتِ عَنْ خَلْقِهِ وَقُدْرَتِهِ فَلاَ اَيْنَ لاَ ضِدَّ وَلاَ نِدَّ سِوَاهُ سِوَاهُ (3×)
2.      Hizb al-Mubarak
Sebelum membaca hizb al-Mubarak ini terlebih dahulu membaca surat al-Fatihah seperti biasanya dan ditambah kepada Sayidina Hamzah.
Bacaan Hizb al-Mubarak :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلَمْ تَرَكَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحَابِ الْفِيْلِ الخ (7×) اَخَذْتُ سَمْعَهُمْ وَبَصَرَهُمْ بِسِمْعِ اللهِ تَعَالَى وَبَصَرِهِ. وَاَخَذْتُ قُوَّ تَهُمْ وَقُدْرَتَهُمْ بِقُوَّةِ اللهِ بِقَدْرَتِهِ بِيْنِى وَبَيْنَهُمْ سِتْرُ اللهِ تَعَالَى لِـْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ كَانُوْا يَسْتَتِرُوْنَ بِهِ مِنْ سَطْوَةِ الْفُرَاعَنَةَ. جَبْرَائِيْلَ عَنْ يَمِيْنِيْ وَاِسْرَافِيْلَ مِنْ خَلْفِي وَمِيكَائِيلَ عَنْ يَسَارِي سَيِّدَنَا رَسُولِ اللهِ (ص م) اَمَامِى وَاللهُ مُطْلِعُ عَلَيَّ يَمْنَعُهُمْ مِنِّي. صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُوْنَ. وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ سَدَّا وَمِنْ خَلْفَهِمْ سَدًّا فَاَغْشَيْنَا هُمْ فَهُمْ لاَيُبْصِرُوْنَ. يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلاِنِسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوا مِنْ اَقْطَارِ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ فَانْفُذُوْا لاَ تَنْفُذُوْنَ اِلاَّ بِسُلْطَانٍ. اِمْتَنَعْتُ  بِقُدْرَةِ اللهِ وَالْتَجَاءْتُ اِلَى كَنـفِ اللهِ وَاسْتَتحَبْتُ بِعُظْمَةِ اللهِ وَاحْتَفَظْتُ بِاَلْفِ اَلْفِ لاَ حَولَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بَاللهِ الْعَلِيِ الْعَظِيْمِ. (7×/12×)
Mengenai adab dzikir, kitab-kitab syadzilliyah meringkaskan sebanyak dua puluh macam, lima sebelum mengucapkan dzikir, dua belas dalam mengucapkan dzikir dan tiga sesudah mengucapkan dzikir.
Yang harus dilakukan sebelum dzikir ialah taubah, mandi dan berwudlu, diam dan tenang, mengkhayalkan Syeikh dan dzikirnya, berpegang kepada Syeikh sampai kepada Nabi. Adapun yang dilakukan, sedang dzikir ialah duduk meletakkan kedua belah tangan ke atas dua paha, memperbaiki pakaian, berada dalam tempat yang gelap, memejamkan kedua belah mata, mengingat kepada Syeikh, sidiq atau benar dengan dzikir, ikhlas, hudur, dan melenyapkan semua yang ada dalam hati selain dari Allah, dan yang harus diperhatikan sesudah dzikir ialah khusyu’ dan hudur, menggoncangkan badan, mencegah minum air karena dapat melenyapkan kepanasan nur.[15]
D.    Perkembangan dan Aliran-Aliran / Cabang-cabangnya
Berdasarkan ajaran yang diturunkan al-Syadzili kepada muridnya, kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbahkan kepadanya, yaitu tarekat Syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Maroko, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah, dan Semenanjung Arabia, juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.[16]
Tarekat Syadziliyah mulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahidun, yakni di Tunisia tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan timur dekat di bawah dinasti Mamluk. Dalam hal ini menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner peneliti tarekat Syadziliyah adalah bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia).[17]
Tarekat ini pada umumnya tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tunisia dan Alexandria) tetapi kemudian juga mempunyai pengikut yang sangat luas di daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghrib pada abad ke-10 H / 16 M, seperti al-Sanhaji dan muridnya Abd al-Rahman al-Majzub dan bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dahulu tarekat ini juga diikuti oleh sejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama terkenal abad ke-9 H / 15 M, Jalal al-Din al-Suyuti.[18]
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul cabang-cabang dalam tarekat Syadziliyah. Pada awal abad ke 8 H / 14 M, di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyah, yang didirikan oleh Syams al-Din Muhammad ibn Ahmad Wafa’ (w. 760 H / 1359 M) yang juga dikenal dengan Bahr al-Shafa’, ayah dari tokoh terkenal Ali ibn Wafa’ (w. 807 H / 1404 M). Wafaiyah berkembang dengan jalannya sendiri seiring dengan pergantian generasi, tersebar di sebagian wilayah Timur Dekat di Mesir. Setelah abad ke-9 H / 15 M mereka mengenakan model pakaian sufi mereka sendiri, seakan gaya asli Syadziliyah yang tidak menonjolkan diri tidak diperlihatkan lagi dan tidak dapat ditetapkan dengan sejumlah alasan. Mereka juga perlahan-lahan mulai terlibat dengan kehidupan institusional yang lebih kompleks dibandingkan dengan yang dihadapi generasi Syadziliyah awal.[19]
Di samping cabang itu, muncul cabang-cabang lainnya, yaitu Hanafiyah, Jazuliyyah, Nashiriyyah, Isawiyyah, Tihamiyah, Darqawiyyah dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan adaptasi kembali

Kesimpulan
Tarekat Syadziliyah adalah salah satu tarekat mu’tabarah. Tarekat ini didirikan oleh Abu Hasan Ali asy-Syadzili.
Ajaran dari tarekat Syadziliyah ini tidaklah berbelit-belit, kepada setiap murid, kecuali meninggalkan perbuatan maksiat, mereka diwajibkan memelihara kewajiban ibadah dan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah sekuat-kuatnya. Tarekat ini juga terkenal dengan hizbnya, di antaranya adalah Hizb al-Mubarak, Hizb al-Syifa’, Hizb al-Hujb.
Tarekat ini berkembang pesat di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan dan Semenanjung Arabia. Juga di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Thariqoh Syadzilliyah ini terkenal dengan hizib-hizibnya yang dipercayai mempunyai kekuatan magic, dan di antara hizib-hizibnya ada beberapa hizib yang terkenal. Salah satunya hizb al-bahr, dan daerah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Mesir, Kenya, Tunisia Tengah, Sri Lanka, Indonesia dan beberapa tempat di Amerika Utara.


DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Aboe Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo, Cetakan Kedua, 1984.
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1984.
Mulyati, Sri, dkk., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004.
“Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
Zain, Abdurrahman, Sufi dan Wali Allah, Husaini, Bandung, 1985.


[1] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1984, hlm. 902
[2] Sri Mulyati, dkk., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 37
[3] Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo, Cetakan Kedua, 1984, hal. 275. Lihat juga IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1984, hlm. 902
[4] “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com. Adapun mengenai kelahiran Syadzili sebenarnya masih belum ada kesepakatan beberapa penulis berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut : Siradi al-Din Abu Hafst menyebutkan tahun kelahirannya pada 591 H / 1069 M. Ibnu Sabbagh menyebut tahun kelahirannya pada 583 H / 1187 M. dan J. Spenter Triming Ham mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili pada 593 H / 1196 M. lihat Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 58
[5] Ibid.
[6] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 62
[7] IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit., hlm. 905, lihat juga “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
[8] Abu Bakr Atjeh, op.cit., hlm. 277
[9] Abdurrahman Zain, Sufi dan Wali Allah, Husaini, Bandung, 1985, hlm. 99
[10] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 73-75
[11] Abu Bakr Atjeh, op.cit., hlm. 27
[12] “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
[13] Ibid.
[14] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 82
[15] Abu Bakar Atjeh, op.cit., hlm. 278-279
[16] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 83
[17] Abu Bakar Atjeh, loc.cit.
[18] “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
[19] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm.
Share:

Saturday 12 September 2015

OKULTISME, MUKJIZAT DAN KARAMAH

PENDAHULUAN
Perbuatan-perbuatan luar biasa tidak hanya terdapat di dalam agama samawi saja, tetapi juga terdapat di dalam lingkungan aliran kebatinan. Kalau di dalam agama samawi Mukjizat dan Karamah, di dalam lingkungan kebatinan di sebut Okultisme.
Mukjizat diperuntukkan bagi pada Nabi dan Rasul Allah sebagai bukti kebenarannya. Karamah diberikan bagi para Wali Allah, sedangkan Okultisme diberikan kepada penganut aliran kebatinan yang taat dan alim, yakni Manunggaling Kawulo Gusti.
Baik mukjizat, karamah maupun okultisme sulit dijelaskan dengan hukum kausalitas, bagaimana sebab-akibat terjadinya sesuatu, akal dan ilmu pengetahuan manusia pun tidak bisa menjelaskan peristiwa-peristiwa tersebut.
Untuk itu yang akan mendapat “stressing” di dalam makalah ini; pengertian dari Okultisme, Mukjizat dan Karamah; dan sekilas gambaran dari ketiga hal tersebut.

PEMBAHASAN
1.      Okultisme
Pengertian
Okultisme adalah filsafat tentang hal-hal tersembunyi, filsafat ini meliputi ajaran yang mengakui eksistensi fenomon-fenomon supernatural dan kekuatan gaib yang melampaui penalaran ilmu pengetahuan, yang termasuk dalam kategori okultisme adalah segala yang bersifat Pseudo ilmiah atau praktek-praktek seperti magis, alkimia, astrologi, ramalan, kemampuan tembus pandang atau spiritisme.[1]
Sementara itu di dalam buku lain menyebutkan okultisme adalah ilmu tentang rahasia-rahasia jiwa dan latar belakang bawah sadar dari budi menginventarisasikan banyak peristiwa luar biasa, aneh dan gaib.[2]
Mengamati segala macam gejala yang ada, okultisme dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu (1) Yang terjadi pada orang tertentu dalam situasi menyerupai tidur; termasuk juga dalam keadaan sakit tertentu yang dapat mengakibatkan kekacauan indera seseorang, sehingga dapat mengakibatkan kekacauan indera seseorang, sehingga dapat mengakibatkan kesalahan persepsi. Kategori ini juga meliputi aktivitas tidak normal dari alam bawah sadar, entah dalam keadaan tidur dan mimpi, atau dalam situasi histeris; (2) Yang terjadi diluar indera manusia normal atau bertentangan dengan indera itu sendiri. Keadaan ini dapat berlangsung dalam keadaan sadar atau keadaan tidak sadar. Misalnya berkomunikasi dalam situasi mental tanpa ekspresi indrawi normal, atau mempengaruhi dan menguasai kemauan seseorang; (3) Yang preternatural, semacam praktek okultisme yang melibatkan makhluk-makhluk tanpa badan seperti arwah orang mati, atau bersifat spiritual murni, seperti makhluk halus, roh termasuk cerita-cerita.[3]
Contoh-contoh dari Okultisme dalam Aliran Kebatinan dan Kepercayaan:
a)      PPK SUBUD, singkatan dari Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budi Darma, pendirinya Muhammad Subuh Sumohadiwijoyo. Kira-kira tahun 1958 ada seorang bintang film Amerika bernama Eva Bartok sedang hamil tua dan menurut beberapa orang dokter dan profesor melahirkannya harus dengan pembedahan (di operasi), tidak dapat melahirkan dengan jalan biasa, karena lubang antara kedua tulang pinggul yaitu jalan untuk melahirkan terlalu kecil, Eva berusaha agar dapat melahirkan dengan jalan biasa, tidak di operasi. Dalam hal ini Ia minta tolong kepada Pak Subuh, yang kebetulan pada waktu itu ada di Amerika. Oleh Pak Subuh diusahakan dengan jalan latihan kejiwaan dan berhasil. Eva Bartok melahirkan dengan jalan biasa tanpa operasi. Kejadian ini banyak yang mengetahuinya dan dimuat dalam surat kabar seluruh dunia.
Sejak itu, nama Pak Subuh populer, sehingga pada waktu Kongres Internasional SUBUD di Jakarta pada tahun 1971, pengunjungnya dari 79 negara.
Selanjutnya Pak Subuh juga menerangkan kepada pengikut-pengikutnya di Lima (Peru), bahwa ia pernah kejatuhan Nur, di bedah dadanya oleh seseorang berpakaian jubah dan serban, kemudian darahnya segumpal diambil, diganti dengan segumpal Nur. Juga pernah kejatuhan buku besar “Woorden Book Van Dalen”, di dalamnya berisi apa-apa yang akan terjadi, juga sebuah Atlas Dunia jatuh dan di dalamnya berisi bermacam-macam bangsa, dan masih ada lagi beberapa kejadian yang lain.
b)      Menurut Raden Sunarto Martowardojo, pencipta ajaran Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal). Ia pada tanggal 14 Februari 1932, pukul 17 mendapat wahyu “Suksma Kaucekas”, yang menguasai seluruh alam, untuk meratakan (menyampaikan) kepada siapa saja yang mungkin, tidak dengan paksaan, tentang ilmu sejati, Petunjuk Yang Nyata, yaitu petunjuk yang menunjukkan jalan yang benar, jalan yang dapat sampai kepada asal-usul mula hidup.
c)      Kak Rahim, nama aslinya Abdur Rahim, asal Banten, oleh murid-muridnya biasa dipanggil kaka tinggal di Petojo, Jakarta, pemimpin dari perkumpulan mistik / kebathinan Darul Anom. Perbuatannya yang luar biasa suka mengobat-obati dengan huruf Alif Merah, caranya direndam dalam air atau ditempelkan pada dinding atau tembok, di atas pintu dan sebagainya, untuk penangkal bala, kata murid-muridnya juga sering memberikan petunjuk jalan hidup, bahkan kadang-kadang dipanggilnya juga ke Istana Negara (Kepresidenan) waktu Orde Lama. Pada tahun 1966 meninggal dunia, jadi waktunya hampir bersamaan dengan runtuhnya Orde Lama.
2.      Mukjizat
Pengertian
Mukjizat berasal dari bahasa Arab : Mu’jizat, bentuk jamaknya Mukjizatun, berasal dari : a’jaza, mu’jizat, artinya yang melemahkan.
Definisi mukjizat menurut al-Jurjani adalah pekerjaan luar biasa yang membawa kebaikan dan kebahagiaan yang disertai dengan pengakuan kenabian dan bertujuan untuk membuktikan kebenaran orang yang mengaku menjadi Nabi atau Rasul Allah.[4]
Menurut al-Zarqani adalah perkara yang menyimpang dari kebiasaan dan keluar dari hukum kausalitas yang sudah terkenal, diciptakan Allah melalui orang yang mengaku menjadi Nabi, sebagai bukti kebenaran pengakuannya.
Keadaan alam berjalan menurut hukum alam yang sangat teratur dan merupakan hubungan sebab akibat yang tidak pernah menyimpang. Jika terjadi sesuatu penyimpangan suatu akibat dari sebab-sebabnya, atau timbul dari suatu peristiwa tanpa adanya sebab, seperti anak lahir tanpa bapak, atau gerakan yang timbul dari benda mati yang tidak dapat bergerak, atau api menjadi dingin yang seharusnya panas, maka akal pasti akan menetapkan bahwa peristiwa yang demikian itu di atas sebab dan akibat, dan jika akal terus menelusuri lebih jauh lagi pasti akan sampai pada keyakinan bahwa yang menyimpangkannya dari hubungan kausalitas itu adalah pencipta alam ini, yang dapat melakukan apa saja yang Dia kehendaki, tidak terikat pada hukum alam. Perkara yang menyimpang dari kebiasaan atau hukum alam tersebut adalah merupakan bukti kebenaran bagi orang yang mengaku memperoleh wahyu dari Allah; sebab tidak ada yang dapat mengubah alam ini selain Allah, inilah yang dinamakan mukjizat menurut Manna al-Qathan.[5]
Para ulama telah menetapkan lima syarat yang harus dipenuhi bagi suatu mukjizat, jika kurang salah satu maka perbuatan itu bukanlah mukjizat, yaitu:
1)      Tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah semata
2)      Menyimpang dari kebiasaan dan bertentangan dengan hukum alam
3)      Dipersaksikan oleh orang yang mengaku Nabi untuk membuktikan kebenaran pengakuannya.
4)      Terjadi sesuai dengan pengakuan Nabi
5)      Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi mukjizat itu.
Sementara itu Muhammad Ali Ashshobuni membagi mukjizat menjadi dua macam:[6]
(1)      Maddiyat Hissiyat, yaitu mukjizat yang bersifat kebendaan yang dapat dilihat dan diraba. Mukjizat macam itu sebagian besar diberikan kepada para Nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad SAW. Mukjizat Hissiyat itu hilang bersama berlalunya masa kenabian dan tidak ada yang menyaksikannya kecuali orang-orang yang hidup semasa dengan mukjizat itu. Misalnya :
a/.     Mukjizat yang diberikan pada Nabi Ibrahim, karena Dia di utus pada kaum yang menyembah api, maka mukjizatnya berupa padamnya api, dan dinginnya tanpa sebab, sebagai bukti kelemahan api yang disembah kaumnya. Hal ini termuat dalam al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 68 dan 69
b/.    Mukjizat Nabi Musa disesuaikan dengan keadaan Mesir pada waktu itu, meluas dan meningkatnya ilmu sihir dan ramalan, sehingga para ahli sihir memperoleh kedudukan yang istimewa di kalangan mereka. Mukjizatnya antara lain tongkatnya menjadi ular yang sebenarnya, dan tangannya menjadi putih bercahaya. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an 7 : 106-107.
c/.     Mukjizat Nabi isa disesuaikan situasi pada jamannya. Bani israil pada masa Nabi Isa menganut aliran materialisme, mereka hanya percaya kepada materi, tidak beriman kepada yang gaib, bahkan sebagian orang Yahudi tidak beriman akan adanya hari akhir. Oleh karena itu mukjizat Nabi Isa mencakup :
@ Menunjukkan kekuasaan Allah yang Maha Gaib, maka mukjizat Nabi Isa antara lain dapat menghidupkan orang mati dengan izin Allah; dapat mengeluarkan mereka dari liang kubur dan menurunkan makanan dari langit dengan izin Allah.
@ Merusak ikatan kausalitas yang biasa berlaku, misalnya beliau sendiri dilahirkan tanpa bapak, sedang menurut hukum sebab akibat, seorang tidak mungkin dapat dilahirkan tanpa adanya bapak.
(2)      Ruhiyat ‘Aqliyyat, yaitu mukjizat yang bersifat maknawi, yang tidak dapat diketahui kecuali dengan akal dan pikiran. Allah telah mengkhususkan al-Qur’an sebagai mukjizat Aqliyyah yang kekal sepanjang masa, agar para cendekiawan dapat menyaksikannya dan dapat mengambil hidayahnya di masa sekarang dan masa yang akan datang.
3.      Karamah
Pengertian
Karamah berasal dari bahasa Arab Karamah, yang berarti tidak lebih dan tidak kurang daripada pengertian mulia dan tinggi budi.[7]
Di dalam buku lain menyebutkan karamah adalah kekuatan spiritual dan sifat-sifat fisik yang dianugerahkan kepada para wali. Ia merupakan bagian dari keajaiban.[8]
Munculnya karamah bagi para wali adalah sesuatu yang terkesan bahwa munculnya karamah tersebut merupakan perkara yang kejadiannya irasional. Munculnya tidak menghilangkan dasar-dasar prinsipal agama. Maka salah satu sifat wajib Allah SWT adalah al-Qudrat (kuasa) dalam mewujudkan karamah. Apabila Allah Maha Kuasa mewujudkannya, maka tak satupun bisa menghalangi kewenangan munculnya karamah tersebut.
Munculnya karamah merupakan tanda dari kebenaran orang yang muncul dalam kondisi rohaninya. Siapa yang tidak benar, maka kemunculan seperti karomah tersebut tidak diperkenankan. Hal yang menunjukkannya, bahwa definisi sifat al-Qadim bagi Allah SWT sudah jelas. Sehingga kita bisa membedakan antara orang yang benar dalam kondisi ruhaninya dan orang yang batil dalam menempuh bukti, dalam masalah yang spekulatif. Pembedaan itu tidak bisa dilakukan kecuali melalui keistimewaan wali. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang mendakwahkan diri secara gegabah. Perkara tersebut tidak lain adalah karamah itu sendiri.[9]

KESIMPULAN
Demikianlah tadi sekilas penjelasan mengenai Okultisme, Mukjizat dan Karamah berikut contohnya. Ada beberapa perbedaan diantara Okultisme, Mukjizat dan Karamah.
Perbuatan luar biasa di dalam agama samawi biasa disebut Mukjizat, yaitu perbuatan luar biasa yang dianugerahkan Tuhan Allah kepada Nabi-Nabi Utusan Allah, diluar kemampuan sendiri yang melakukan, tetapi Okultisme (daya luar biasa pada aliran kebatinan) pada umumnya atas usahanya dan diakui hanya pendapatnya, karena dasarnya parteistis, wihdatul wujud atau jumhuning kawulo gusti bersatunya Tuhan dengan alam, dengan makhluk, atau dengan manusia. Dengan demikian jelas Okultisme berbeda dengan mukjizat.
Sementara itu perbedaan antara mukjizat dan karamah terlihat pada karamat tetap disembunyikan, sementara mukjizat melalui perintah Ilahi, ditunjukkan guna menyeru dan mengajak manusia kepada kebenaran.[10]
Imam Abu Ishaq al-Isfirayainy berkata “Mukjizat merupakan bukti-bukti kebenaran para Nabi. Dan bukti kenabian tidak bisa ditemukan pada selain Nabi, sebagaimana aksioma akal merupakan bukti bagi ilmuwan yang menunjukkan jatinya sebagai ilmuwan, tidak bisa ditemukan kecuali pada orang yang memiliki ilmu pengetahuan”. Dia juga menegaskan, “Para wali memiliki karamah, yang serupa dengan terijabahnya doa, bahwa karamah itu dikategorikan jenis mukjizat bagi para Nabi, itu tidak benar”.[11]
Diantara perbedaan-perbedaan mukjizat dan karamah, bahwa mukjizat itu diperintahkan untuk disebarluaskan. Sementara para wali harus menutupi dan menyembunyikan karamah. Nabi mendakwahkannya dengan memastikan kebenaran ucapannya. Sedangkan wali tidak mendakwahkannya, juga tidak memastikan melalui karamahnya, sebab bisa jadi hal itu merupakan cobaan.


DAFTAR PUSTAKA
Amanullah Amstrong, Kunci Memahami Dunia Tasawuf, Mizan, Bandung, 1996.
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.
Departemen Agama RI., Ensiklopedi Islam di Indonesia, IAIN Jakarta, Jakarta, 1993.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cipta Adi Pusaka, Bandung, 1990.
Imam al-Qusyairy an-Naisaburyi, Risalatul Qusyairiyah, Risalah Gusti, Surabaya, 1997.
Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Ilmu Tarekat, IAIN Walisongo Semarang, Semarang, 1997.
Rahmat Subagyo, Kepercayaan – Kebatinan Kerohanian Kejiwaan – dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1976.


[1] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cipta Adi Pusaka, Bandung, 1990, hal. 263
[2] Rahmat Subagyo, Kepercayaan – Kebatinan Kerohanian Kejiwaan – dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1976, hal. 60
[3] Ensiklopedi Nasional Indonesia, loc.cit.,
[4] Departemen Agama RI., Ensiklopedi Islam di Indonesia, IAIN Jakarta, Jakarta, 1993, hal. 794
[5] Ibid., hal. 794 - 795
[6] Ibid., hal. 795
[7] Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Ilmu Tarekat, IAIN Walisongo Semarang, Semarang, 1997, hal. 105
[8] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 207
[9] Imam al-Qusyairy an-Naisaburyi, Risalatul Qusyairiyah, Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hal. 442
[10] Amanullah Amstrong, Kunci Memahami Dunia Tasawuf, Mizan, Bandung, 1996, hal. 136
[11] Imam al-Qusyairy an-Naisabury, loc.cit.,
Share:

Friday 11 September 2015

PERANAN DZIKIR DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling mulia diantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Manusia adalah khalifah atau wakil Allah SWT di muka bumi. Dengan demikian derajat dan kedudukan manusia cukup tinggi, sehingga menempati derajat yang tertinggi diantara makhluk-makhluk Allah lainnya. Tingkah laku manusiapun menjadi beragam dikarenakan pengaruh yang diterimanya lebih banyak dan lebih bervariasi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh lingkungan yang ada disekitarnya. Tingkah laku atau aktivitas manusia merupakan jawaban atau respon terhadap stimulus yang mengenalinya.[1] Oleh sebab itu bentuk dan corak tingkah laku manusia juga di tentukan oleh stimulus atau rangsangan yang diterima dari lingkungannya.

Pembahasan
Pengertian
Dzikir berarti menyebut, pengertian menyebut sesuai dengan al-Qur’an surat al-Anfal: 45
واذ كروالله كثيرالعلكم تفلحون (الانفال : ٤٥)
Artinya: “...Dan sebutlah (nama) Allah agar kamu beruntung”. (Q.S. Al-Anfal: 45)
Menurut Thohuri Muhammad Said: “Dzikir menurut istilah adalah mengucapkan kalimat suci yang menggerakkan hati untuk selalu ingat kepada Allah Ta’ala seperti kalimat Lailahaillallah”.[2]
Kegiatan dzikir bukanlah sekedar ucapan verbal dan bukan pula pelepasan renungan dalam lamunan. Dzikir mempunyai motivasi dan tujuan tertentu, yaitu untuk menciptakan amal saleh sebagai senjata nafsiologis yang ampuh untuk menanggulangi segala musibah yang menimpa. Keutamaan dan manfaat dzikir adalah mampu mendorong orang yang melakukannya untuk senantiasa berbuat kebaikan di dalam hidupnya dan menjauhkan diri dari perbedaan-perbedaan yang menular.[3] Karena keutamaan dan manfaat dzikir yang demikian tersebut, maka Allah SWT menempatkan dzikir sebagai ibadah yang paling utama bagi manusia.
Macam-macam dzikir
a)      Dzikir Statis: dzikir tanpa gerak dengan selalu menjaga keseimbangan antara kondisi jiwa dan raga sehingga tidak menghancurkan energi nafsiah dan sistem kerja organ tubuh,
Sukanto MM, menyebutkan dzikir jenis ini dengan istilah dzikir metode kontemplatif (renungan) dengan didukung oleh pujian-pujian tertentu.[4]
b)      Dzikir Dinamis: Dzikir yang disertai dengan sikap dan dilanjutkan dengan gerak.
Pendekatannya bukan lagi dengan pendekatan kontemplatif, melainkan dengan pendekatan antisipatif dan aplikatif.[5]Al-Qur’an adalah dzikir ayat demi ayat yang dikandungnya berisikan dzikir kepada Allah. Karena itu, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jawaziyyah: “Dzikir yang terbaik adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an”. Dengan membacanya dari waktu ke waktu dalam setiap kesempatan akan menghubungkan hamba secara spiritual dengan Allah. Sebagai Tuhan yang telah menurunkan dzikir (al-Qur’an) tersebut kepada manusia. Allah telah menerangkan berbagai dzikir, janji, perumpamaan, dan lain-lain dalam al-Qur’an supaya manusia dapat diingat kepada Allah.[6]
Peranan Dzikir
Tujuan manusia dalam hidup ini amat luas. Mencakup tujuan jangka panjang dan ada pula tujuan jangka pendek. Dalam usahanya merealisasikan tujuan ini, dia berhadapan dengan serangkaian hambatan dan rintangan, baik dari alam sekitar maupun dari sesama manusia, sehingga diperlukan kekuatan yang besar agar dia sanggup menghadapi hambatan dan rintangan tersebut.
Kekuatan semacam ini hanya bisa diperoleh di dalam aqidah dan keimanan kepada Allah. Iman itulah yang dapat menolong, memberi kekuatan jiwa. Orang mukmin memiliki kekuatan sekaligus menjadi pribadi yang kuat, karena dia mengambil kekuatan dari Allah. Dzat yang di percayai serta berserah diri kepada-Nya.[7] Dia merasa yakin bahwa Allah senantiasa menyertainya dimana saja dia berada.
Realitas kehidupan anak manusia menjadi guru bagi kita bahwa sesungguhnya orang-orang yang jiwanya goyah dan menderita batin adalah disebabkan oleh tidak adanya iman dan keyakinan dalam diri mereka. Sehingga meski sepanjang kehidupannya diliputi oleh kemewahan material akan tetapi jiwanya kosong, yang ada hanya perasaan tak berarti.
Tak sangsi lagi, kedamaian jiwa adalah kunci utama dalam menggapai kebahagiaan hidup. Persoalannya adalah bagaimana kedamaian itu bisa didapatkan? Pertanyaan ini dengan tegas bisa dijawab bahwa kedamaian semata-mata merupakan produk dari satu hal, dan tak bisa di ganti dengan yang lain, yaitu iman kepada Allah dan hari akhir yang mantap dan benar, tak bercampur dengan syak maupun kepalsuan.[8]
Kehidupan modern yang komplek bersifat ambivalen di satu sisi mampu membawa kemudahan hidup bagi manusia, tetapi di sisi lain kehidupan modern juga mengakibatkan terbelahnya pribadi manusia sebagai akibat tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri ini merupakan beban mental dan gangguan mental bagi individu yang bersangkutan. Upaya penyembuhan yang diberikan dengan hanya mendasarkan diri kepada kemampuan medis semata dan terlepas dari nilai-nilai spiritualisme ternyata kurang memberikan hasil yang berarti. Hal ini disebabkan karena penyebab gangguan mental rohani. Melalui penyadaran diri akan adanya relasi dengan Tuhan berbagai gangguan mental, mental tersebut dapat disembuhkan. Adapun penyadaran ini dapat diperoleh melalui berdzikir.
Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat yang serba komplek sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta urbanisasi banyak menimbulkan masalah sosial. Banyak muncul pribadi yang mengalami maladjustment, yaitu ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang ada, mereka mengalami konflik batin yang selanjutnya mengakibatkan gangguan mental seperti ketegangan yang hebat, takut tanpa alasan, kecemasan dan gelisah, penyembuhan gangguan mental ini dapat diperoleh melalui pengembalian manusia yang utuh dan mempunyai integritas diri yang kuat, pribadi yang utuh tidak akan mengalami tekanan jiwa, stres, gelisah, dan ketegangan-ketegangan batin yang lain.
Melalui dzikir manusia diajak untuk menyadari hakekat dirinya dan hakekat relasinya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kepercayaan terhadap satu Tuhan Yang Personil memberikan kepada manusia, kekuatan, keteguhan hati, keberanian, kedamaian, ketenangan, ketentraman, kebahagiaan, kedamaian batin tanpa ada pertentangan serius dengan hati nurani sendiri.[9] Melalui kegiatan dzikir manusia dikembalikan pada posisi yang sebenarnya yang lemah tanpa daya. Allah SWT satu-satunya yang mampu menolong dan memberi jalan keluar dari permasalahan yang di hadapi manusia.
Dzikir atau mengingat Allah SWT dengan lisan maupun dengan hati, maka orang yang melakukannya tidak akan disempitkan hidupnya oleh Allah SWT.[10]
Orang yang membiasakan diri mengingat Allah SWT juga akan mendapatkan hati yang tenang, mantap, hilang rasa gelisah, susah, stres, dan putus asa.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat al-Akhqof, ayat : 13
ان الذ ين قا لواربناالله ثم استقاموافلاخوف عليهم ولاهم يحزنون (سورة : الاحقاف : ٣ ١ )
Artinya : “Sesungguhnya mereka yang berkata : Tuhan kami adalah Allah, kemudian teguh dan mantap hatinya, maka tidak ada rasa takut yang menimpa mereka (pula) mereka gelisah”. (Q.S. Al-Akhqof : 13)[11]

Penutup
Berdzikir adalah merupakan alternatif yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang dialami umat Islam ditengah-tengah kemelut permasalahan dunia sekarang ini. Dengan berdzikir, kedamaian spiritual dapat dia peroleh dengan cara mengingat kepada Allah SWT Tuhan semesta alam dan kita manusia begitu rendah dan kecil yang saat ini sering dikenal dengan sebutan Psikologi Ruhani.


Daftar Pustaka
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi Ofset, Yogyakarta, 1983.
Thohuri Muhammad Said, Melerai Duka Dengan Dzikir Malam, cet. III, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1987.
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, cet. III, CV. Ramadhani, Solo, 1985.
Sukanto MM, Paket Moral Islam Menahan Nafsu Dari Amanah, cet. I, Indika Press, Solo, 1994.
Rifyal Ka’bah, Dzikir dan Do’a Dalam Al-Qur’an, Paramadina, Jakarta, 1999.
Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2000.
Kartini Kartono dan Henny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam, Mandar Maju, Bandung, 1989.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Jakarta, 1989.


[1] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi Ofset, Yogyakarta, 1983, hlm. 10.
[2] Thohuri Muhammad Said, Melerai Duka Dengan Dzikir Malam, cet. III, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1987, hlm. 11.
[3] Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, cet. III, CV. Ramadhani, Solo, 1985, hlm. 278.
[4] Sukanto MM, Paket Moral Islam Menahan Nafsu Dari Amanah, cet. I, Indika Press, Solo, 1994, hlm. 56-57.
[5] Ibid, hlm. 57.
[6] Rifyal Ka’bah, Dzikir dan Do’a Dalam Al-Qur’an, Paramadina, Jakarta, 1999, hlm. 45.
[7] Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2000, hlm. 275-277.
[8] Ibid, hlm. 91-92.
[9] Kartini Kartono dan Henny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam, Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 272.
[10] Aboebakar Atjeh, Op. Cit, hlm. 281.
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1989, hlm. 824.
Share:

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.