Kata tasawuf
berasal dari bahasa Arab yaitu shofa yang berarti bulu domba, pada zaman dahulu
pakaian yang berasal dari bulu domba melambangkan sifat kesederhanaan. Jadi
tasawuf ialah ajaran dari agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits
Nabi yang digunakan sebagai jalan untuk lebih memudahkan dalam mendekatkan diri
pada Allah.
Asal-Usul Ajaran Tasawuf
Ajaran tasawuf
sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya. Setelah Nabi
mempunyai istri dan ekonomi yang cukup, kemudian Nabi Muhammad baru berkholwat
di Goa Hiro’ untuk berkholwat dengan tujuan agar lebih khusuk dalam beribadah
pada Allah. Ada
beberapa hal yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada waktu tahanus:
- Melatih jasmani dengan banyak berjalan di atas bumi dan selalu menggerakkan tubuhnya.
- Melatih akal dan fikiran untuk memikirkan apa yang dalam batas maksimal sehingga beliau melupakan yang lain.
- Melenyapkan arti takut keseluruhannya dari kesan dan pemikiran.
- Menimbulkan kesan dan ingatan yang bulat pada Allah.
Ritual Rasulullah SAW di Gua Hiro merupakan gambaran sufi yang
sebenarnya. Renungan-renungan yang dilakukannya di alam yang luas dan bebas (di
Gua Hiro) membawa beliau ke alam bebas dan dapat merasakan keberadaan keagungan
Allah SWT. Di tempat tersebut pula Rasulullah dapat lebih mudah dalam meluapkan
ingatannya terhadap makhluk lain.
Menurut M. Horten (yang didukung R. Hartman), Tasawuf berasal dari alam
pikiran India.
Dalam hal ini Horten telah melakukan penelitian yang lama untuk menguatkan
pendapatnya. Namun kemudian merevisi pendapatnya setelah ia melakukan analisis
tasawuf al-Hallaj, Al-Bustami dan juga Al-Junaidi, dengan mengatakan bahwa
tasawuf pada abad ke-3 Hijriyah-lah yang dipengaruhi alam pemikiran Hindia.
Terutama ajaran al-Hallaj.
Sementara itu Hortman juga berusaha untuk membuktikan asal-usul tasawuf
dari India, telah mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
1.
Kebanyakan angkatan pertama para
sufi bukan berasal dari Arab, misalnya Ibrahim bin Adam, Syaqiq al-Balakhi, Abu
Yazid al-Bustami dan Yahya Ibn Ma’azar Radzi.
2.
Kemunculan dan penyebaran tasawuf
pertama kalinya di Khurasan.
3.
Pada masa sebelum Islam, Turkistan merupakan pusat pertama berbagai agama dan
kebudayaan Timur dan Barat.
4.
Kaum muslim sendiri mengakui
adanya pengaruh India
tersebut.
5.
Asketisisme Islam yang pertama
bercorak India,
baik kecenderungannya maupun metode-metodenya. Keluasan batin, pemakaian tasbih
misalnya, merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari mereka.
Hakekat Tasawuf
Hakekat daripada
tasawuf yaitu penyucian jiwa untuk mencapai Ridlo Allah. Selain itu juga tasawuf
merupakan garis kelanjutan dari syari’at. Syari’at merupakan bagian dari tasawuf
yang tak dapat dipisahkan dan sebaliknya juga tasawuf merupakan bagian integral
dari syari’at. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.
Kalau bagian syari’at dilakukan apa adanya, ia tidak jarang akan menimbulkan
mala petaka, karena itu ajaran agama bukanlah acara ritual saja. (Dalam
al-Qur’an surat
al-An’am 27).
Karena itulah dalam gerak-gerik tubuh manusia mengandung dua aspek yaitu
lahir yang merupakan garapan fiqih dan aspek batin yang merupakan garapan dari
tasawuf.
Sebagai contoh bahwa syari’at dan tasawuf tidak dapat dipisahkan yaitu
dalam shalat misalkan dituntut untuk bersih dan suci dari hadas kecil dan besar
(secara syari’at). Sementara secara tasawuf harus bersih dan suci secara
bathinnya, jadi keduanya saling berkaitan. Dalam dunia tasawuf hati menempati
posisi sentral, maka dari itu harus senantiasa aktif sepanjang melakukan
shalat.
Pada hakikatnya tasawuf dapat dicapai secara praktis, maupun negatif,
teoritis, karena merupakan ajaran rohani yang saling menyempurnakan sebagai
sesuatu yang tegak diatas potensinya dan merupakan entitas yang tidak dapat
dicapai semata-mata dengan akal. Tujuan tasawuf ialah ketajaman ruhani dan
pencapaian kebebasan dari kekurangan materi.[1]
Banyak orang yang keliru menyatakan sufisme terlepas dari Islam,
pandangan ii tidak hanya menunjukkan kebodohan tetapi juga menghargai mereka
yang secara ikhlas mencari jalan hidup yang benar-benar mencari bimbingan
Tuhan.[2]
Tasawuf dan Problematika sosial
Selama ini
banyak orang yang beranggapan tasawuf adalah ajaran Islam yang ortodok. Dan
sebetulnya anggapan ini tidaklah selamanya benar, karena tasawuf dijaman modern
adalah harus bisa menerapkan ajarannya baik dari segi lahir maupun batin, serta
dapat menyeimbangkan antara kebutuhan duniawi maupun ukhrawi.
Sebagai misal problem politik umat memang tidak bisa dijawab dengan tasawuf,
melainkan dengan fiqih yang berhubungan erat dengan politik dalam mengatur
masyarakat dan negara menurut al-Qur’an dan hadits.[3]
Untuk itu seorang Islam yang terjun pada dunia sosial, politik dan ekonomi
harus senantiasa mempunyai sifat waro’ yaitu menahan diri dan
berhati-hati supaya tidak terjatuh pada nilai kesucian hati.[4]
Selain itu orang juga harus bersifat qana’ah yang berarti menerima apa
yang telah ditentukan oleh Allah, merupakan sikap yang harus dimiliki orang
sufi sebagai zat yang bisa diterima dalam hati. Manakala sikap qana’ah ini
dibina terus menerus, maka seorang sufi akan memiliki kesadaran diri akan Allah
sebagai Tuhan.[5] Untuk
itu senantiasa orang dituntut untuk selalu mawas diri dalam segala hal dan
tindak lakunya harus sesuai dengan landasan al-Qur’an dan Hadits, karena
al-Qur’an merupakan landasan religius dalam seluruh aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan tasawuf seseorang harus melaksanakan berbagai
kegiatan berbagai kegiatan (al-Mujahadah dan al-Riyadoh) tidak dibenarkan
memisahkan amaliyah kerohanian dengan syariat agama Islam.[6]
Hal-hal yang Perlu Dipenuhi Sebagai Orang Tasawuf/Sufi
1.
Selalu meningkatkan ilmu baik
dunia maupun akhirat.
2.
Mengawasi hawa nafsu,
Karena tidak ada yang bisa dilakukannya setelah ada ketetapan Allah selain
dari mengembangkan bisikan nafsu.[7]
3.
Disiplin waktu
Perlu adanya pelatihan (riyadoh) yang diarahkan pada 3 tujuan :
Ø
Meninggalkan semua jalan
kecil atau hakekat
Ø
Menundukkan nafsu yang
memerintah jelek pada nafsu yang baik.[8]
4.
Menjaga kebahagiaan.
Manusia wajib mencari kebahagiaan dunia maupun akhirat tapi sayang
kebahagiaan dalam arti yang sesungguhnya seperti yang diinginkan oleh setiap
manusia tidak mudah untuk didapatkan.[9]
5.
Menjaga kedamaian
Adalah nafas samawi yang dihembuskan dalam jiwa insan yang beriman sehingga
tetap teguh saat orang lain mengalami kegoncangan hati.[10]
6.
Optimis
7.
Menjaga prestasi kerja
8.
Menjaga persaudaraan
Ketahuilah bahwa saling mencintai karena Allah dan persaudaraan seagama
adalah seutama-utama mendekatkan diri pada Allah SWT.[11]
9.
Tidak gaptek (gagap teknologi)
Kesimpulan
Tasawuf adalah
suatu wahana untuk mengolah hati agar bisa menjadi manusia insan kamil (orang
yang dapat menyeimbangkan antara kehidupan rohani dan ukhrawi).
Tasawuf modern
bukanlah tasawuf yang ortodok (kuno) tapi tasawuf yang tidak pernah
meninggalkan ajaran al-Qur’an dan hadits dan tidak pula ketinggalan jaman.
DAFTAR PUSTAKA
M. Abdullah asy-Syarqawi, Sufisme dan Akal, Pustaka Hidayah,
Bandung, 2003.
Abdul Munir, “Tarekat”
Tanpa Tarekat, Serambi, Jakarta, 2002.
Abdul Munir
Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Jalaluddin
Rahmad, Renungan Sufistik, Mizan, Bandung,
Oktober 1998.
Abdul Muhaya,
Bersufi Lewat Musik, Gama Media, Yogyakarta, 2003.
H.M. Amin Syukur, Intelektual Tasawuf, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002.
Ibnu Qoyim al-Jauziah, Jatuh Cinta dan Meredam Rindu, Darul
Falah, Jakarta,
Dzulhijjah 1422 H.
Murtado
Mutahan, Mengenal Tasawuf, Az-Zahro, Jakarta, Agustus 2002.
Yusuf al-Qardawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka,
Yogyakarta, 2003.
al-Ghazali,
Mutiara Ihya Ulummuddin, Oktober 2002, cet.XIII.
[1] M.
Abdullah asy-Syarqawi, Sufisme dan Akal, Pustaka Hidayah, Bandung, 2003,
hal.39.
[2]
Abdul Munir, “Tarekat” Tanpa Tarekat, Serambi, Jakarta, 2002, November,
cet.I, hal.119
[3]
Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet.I, hal.2021
[4]
Jalaluddin Rahmad, Renungan Sufistik, Mizan, Bandung, Oktober 1998, cet.VII, hal.101
[5] Abdul
Muhaya, Bersufi Lewat Musik, Gama Media, Yogyakarta, Agustus 2003,
hal.vii
[6] H.M.
Amin Syukur, Intelektual Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Januari
2002, cet.I, hal.14
[7]
Ibnu Qoyim al-Jauziah, Jatuh Cinta dan Meredam Rindu, Darul Falah,
Jakarta, Dzulhijjah 1422 H, cet.10, hal.350
[8]
Murtado Mutahan, Mengenal Tasawuf, Az-Zahro, Jakarta, Agustus 2002,
cet.I, hal.78-79
[9] Yusuf
al-Qardawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003,
cet.IV, hal.92
[10] ibid,
hal.347
[11]
al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulummuddin, Oktober 2002, cet.XIII, hal.152.
0 comments:
Post a Comment