Sunday, 13 September 2015

TAREKAT SYADZILIYAH DAN KONSEP SULUKNYA

Syadziliyah adalah nama tarekat yang termasuk ke dalam tarekat mu’tabarah. Tarekat ini didirikan oleh al-Hasan Ali al-Syadzilli.
Tarekat Syadzili dikenal sebagai tarekat yang sederhana dalam ajarannya, tidak berbelit-belit, persyaratan pengalaman tarekat syadziliyah tidaklah berat-berat, kepada setiap murid, kecuali meninggalkan maksiat-maksiat, sebagai lazimnya terdapat tradisi tarekat, mereka diwajibkan memelihara kewajiban ibadat-ibadat sunnah sekuatnya, termasuk dalam hal itu adalah dzikir kepada Tuhan. Sekurang-kurangnya seribu kali dalam sehari semalam.[1]


A.    Sejarah lahirnya
Tarekat Syadziliyah tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu al-Hasan al-Syadzilli. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbahkan pada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda-beda dengan tarekat lain. [2]
Secara lengkap nama pendirinya adalah Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan dengan demikian berarti juga keturunan Siti Fatimah anak perempuan dari Nabi Muhammad Saw. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut : Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Bathal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.[3]
Dia dilahirkan di Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H.[4] Pendidikannya dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian dilanjutkan kependidikan lebih lanjut, yang mana di antara guru kerohaniannya adalah ulama besar, Abdus Salam Ibn Masyiqy (w. 628 H / 1228 M), yang juga dikenal sebagai “Quthab dari Quthub para Wali”, seperti halnya Syeikh Abd. Al-Qadir al-Jilani (w. 561 H / 1166 M).
Di masa-masa selanjutnya, atas saran gurunya, Abdus Salam. Ia meninggalkan Maroko untuk ber-uzlah dalam sebuah gua di dekat desa Syadzila di Tunisia Afrika tempat ia mendapatkan nisbah-nya. Dari tempat uzlah-nya, ia secara berkala keluar untuk berceramah, mengajar dan berdiskusi dengan para ulama dan para sufi. Ceramah dan pengajarannya mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari masyarakat setempat. Tak terkecuali, banyak dari kalangan ulama dan tokoh sufi yang berdatangan untuk berdiskusi dengannya. Dari kalangan tokoh sufi yang aktif datang mendengarkan ceramah dan berdiskusi dengannya, sekaligus menjadi murid-muridnya tercatat misalnya : Syaikh Abul Hasan Ali Ibnu Maklif Asyadzili, Abu Abdillah as-Shabuni, Abu Muhammad Abdul Aziz al-Patuni, Abu Abdillah al-Bijjoj. Demikianlah, ketenaran nama Abul Hasan sebagai seorang ulama sufi menyebar luas dan dengan cepat memperoleh pengikut yang banyak.
Ketenaran Abul Hasan mengundang dan memancing iri dan kemarahan kaum ulama fiqih di Tunisia. Kemudian mereka memfitnahnya di hadapan Sultan Abu Zakariyya al-Hafsi. Ia dan para pengikutnya mengalami penganiayaan yang sangat pedih. Setelah situasi dari kondisi tidak memungkinkan lagi baginya untuk tetap tinggal di Tunisia, pada tahun 642 H, Ia memutuskan untuk mengungsi di Mesir diikuti oleh beberapa gelintir pengikutnya, dan menetap di Iskandariyah.[5]
Di Mesir, sebagaimana halnya di Tunisia, majelis-majelis pengajiannya dihadiri oleh bukan saja kalangan masyarakat awam dan pecinta ilmu. Tetapi juga oleh para ulama-ulama besar dan terkemuka seperti sultanul ulama: Izzudin ibn Abdus Salam, Taqiuddin ibn Daqiqil, Ibn Yasin (murid terkemuka Ibn ‘Arabi) dan lain-lain.[6]
Meskipun semakin populer dan masyhur di kalangan masyarakat dan ulama di Mesir, ia melakukan korespondensi dengan sekelompok kecil muridnya di Tunisia yang dengan setia tetap menghidupkan namanya di sana. Beberapa surat korespondensinya yang berhasil ditemukan menampakkan bahwa ia adalah Syaikh yang manusiawi, pemuka haji, yang dedikasi personilnya tidak melemahkan kepeduliannya atas kesejahteraan pengikut-pengikutnya.
Pada akhirnya Abdul Hasan asy-Syadzili dan ajaran-ajarannya, yang mengambil Mesir sebagai pusat penyebarannya ini, menjadi sufisme yang besar dan terbentuk dalam suatu tarekat yang dikenal dengan tarekat syadziliyah. Tarekat ini mewakili tradisi tasawuf maghrib dan terkenal dengan hizib-hizibnya.[7]
Sepeninggalannya, ia digantikan oleh Syaikh Abul Abbas al-Mursi sebagai pemimpin tarekatnya. Yang juga dipegangnya sampai ia meninggal dunia di Iskandariyah tahun 686 H. Ia digantikan salah seorang muridnya, asal Mesir, Ibnu Athaillah as-Sukandari (al-Iskandari).[8]
B.     Pandangan Hidup Pendiri Tarekat Syadziliyah
Secara pribadi Abu Hasan asy-Syadzilli tidak meninggalkan karya tasawuf, di antara sebabnya adalah karena kesibukan-kesibukannya melakukan pengajaran-pengajaran terhadap murid-muridnya yang sangat banyak dan sesungguhnya ilmu-ilmu tarekat itu adalah ilmu hakekat, ajaran-ajarannya dapat diketahui dari para muridnya, misalnya tulisan  Ibn Atha ‘Illah al-Iskandar, ketika al-Syadzili ditanya perihal mengapa ia tak mau menuliskan ajaran-ajarannya, maka ia menjawab : “Kutubi Ashlati”, kitab-kitabku adalah sahabatku.[9]
Adapun pemikiran-pemikiran al-Syadzilliyah tersebut adalah :[10]
1.      Tidak menganjurkan kepada murid-murid untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Swt. dan mengenai rahmat Ilahi.
2.      Tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at Islam
3.      Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia, karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah.
4.      Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya.
5.      Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
6.      Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah Swt.
7.      Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), al-Syadzilli berpendapat bahwa ma’rifah adalah salah satu tujuan ahli tarekat dan tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan, yaitu :
Antara al-Ghazali dan al-Syadzili di samping memiliki beberapa kesamaan, juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apabila al-Ghazali lebih menekankan Riyadhah al-Abdan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya musyaqqah, misalnya bangun malam, lapar dan lain-lain, maka al-Syadzili lebih menekankan para Riyadhah al-Qulub tanpa adanya Musyaqah al-Abdan, misalnya menekankan senang (al-Fash), rela (al-Ridha) dan selalu bersyukur atas rahmat dan nikmat Allah Swt.[11]
Syadzilli sendiri tidak mengenal atau menganjurkan muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan, di dalam tarekat Syadzilliyah terdapat sendi-sendi yang harus dipatuhi dan kelima sendi-sendi itu adalah :
1.      Semangat yang tinggi yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
2.      Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih pengalaman Allah atas kehormatannya.
3.      Berlaku benar / baik dalam khidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya / kemuliaan-Nya.
4.      Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikan kepada kebahagiaan hidupnya.
5.      Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.[12]
C.    Ajaran Hizib (Do’a dan Dzikir) Tarekat Syadziliyah
Hizib yang diajarkan Tarekat Syadziliyah di antaranya adalah: Hizb al-Syifa’, Hizb al-Kahfi atau al-Autad, Hizb al-bahr, Hizb al-Baladiyah atau Bithatiyah, Hizb al-Barr, Hizb al-Mubarak, Hizb al-Salama, Hizb al-nur, dan Hizb al-Hujb.[13] Hizb-hizb tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali hizb tersebut telah mendapatkan izin/ijazah dari mursyid atau seorang murid yang ditunjuk oleh mursyid untuk mengijazahkannya. Contoh :
1.      Hizb al-Syifa’
Hizb al-Syifa’ adalah hizb yang khas dari tarekat Syadziliyah di Tulung Agung. Sebelum seseorang mengikuti baiat atau talqin zikir, biasanya ia dianjurkan untuk membaca hizb al-syifa’. Adapun cara mengamalkan adalah apabila disertai puasa maka hizb as-Syifa’ dibaca setiap selesai shalat fardhu dan puasa dilaksanakan selama tiga hari, tujuh hari, sepuluh hari, atau empat puluh hari, sesuai dengan petunjuk mursyid. Puasa dimulai hari Selasa, Rabu, dan Kamis. Apabila tidak disertai puasa, maka pembacaan hizb al-syifa’ dilaksanakan cukup satu kali dalam sehari semalam.
Pertama-tama membaca surat al-Fatihah yang ditujukan kepada Allah Swt, Nabi Muhammad Saw, Sayidina Abu Bakar al-Shiddiq, Sayidina Umar bin Khatab, Sayidina Utsman bin Affan, Sayidina Ali bin Abi Thalib, Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani, mbah Panjulu, Sunan Kali Jaga, Syeikh Ibnu Ulwan, dan Wali Sembilan di Indonesia, Sultan Agung, Syaikh Abd al-Qadir Kediri, Syeikh Mustaqim bin Husein, kedua orang tua, dan Nabi Hidlir a.s.
Bacaan Hizb al-Syifa’ tersebut adalah :[14]
اَللُّهُمَّ بِاَشْفاءٍ بِشِفَائِكَ وَدَوَاهُ بِدَوَائِكَ وَعَافَاهُ مِنْ بِلاَ ئِكَ الْكَرِيْمِ صُمَّ بُكُمء عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُوْن (4 ×/ 6×/11×). اَلْغَنِيُ الْمَـانِعُ وَاللهُ الْغَنِيُ الْحَمِيْدُ (7×). اِنْ شَاءَ اللهُ بِبَرَكَتِهِ دُعَائِهِ سُبْحَانَ مَنِ احْتَجَبَ بِجَبَرُوْتِ عَنْ خَلْقِهِ وَقُدْرَتِهِ فَلاَ اَيْنَ لاَ ضِدَّ وَلاَ نِدَّ سِوَاهُ سِوَاهُ (3×)
2.      Hizb al-Mubarak
Sebelum membaca hizb al-Mubarak ini terlebih dahulu membaca surat al-Fatihah seperti biasanya dan ditambah kepada Sayidina Hamzah.
Bacaan Hizb al-Mubarak :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلَمْ تَرَكَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحَابِ الْفِيْلِ الخ (7×) اَخَذْتُ سَمْعَهُمْ وَبَصَرَهُمْ بِسِمْعِ اللهِ تَعَالَى وَبَصَرِهِ. وَاَخَذْتُ قُوَّ تَهُمْ وَقُدْرَتَهُمْ بِقُوَّةِ اللهِ بِقَدْرَتِهِ بِيْنِى وَبَيْنَهُمْ سِتْرُ اللهِ تَعَالَى لِـْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ كَانُوْا يَسْتَتِرُوْنَ بِهِ مِنْ سَطْوَةِ الْفُرَاعَنَةَ. جَبْرَائِيْلَ عَنْ يَمِيْنِيْ وَاِسْرَافِيْلَ مِنْ خَلْفِي وَمِيكَائِيلَ عَنْ يَسَارِي سَيِّدَنَا رَسُولِ اللهِ (ص م) اَمَامِى وَاللهُ مُطْلِعُ عَلَيَّ يَمْنَعُهُمْ مِنِّي. صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُوْنَ. وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ سَدَّا وَمِنْ خَلْفَهِمْ سَدًّا فَاَغْشَيْنَا هُمْ فَهُمْ لاَيُبْصِرُوْنَ. يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلاِنِسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوا مِنْ اَقْطَارِ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ فَانْفُذُوْا لاَ تَنْفُذُوْنَ اِلاَّ بِسُلْطَانٍ. اِمْتَنَعْتُ  بِقُدْرَةِ اللهِ وَالْتَجَاءْتُ اِلَى كَنـفِ اللهِ وَاسْتَتحَبْتُ بِعُظْمَةِ اللهِ وَاحْتَفَظْتُ بِاَلْفِ اَلْفِ لاَ حَولَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بَاللهِ الْعَلِيِ الْعَظِيْمِ. (7×/12×)
Mengenai adab dzikir, kitab-kitab syadzilliyah meringkaskan sebanyak dua puluh macam, lima sebelum mengucapkan dzikir, dua belas dalam mengucapkan dzikir dan tiga sesudah mengucapkan dzikir.
Yang harus dilakukan sebelum dzikir ialah taubah, mandi dan berwudlu, diam dan tenang, mengkhayalkan Syeikh dan dzikirnya, berpegang kepada Syeikh sampai kepada Nabi. Adapun yang dilakukan, sedang dzikir ialah duduk meletakkan kedua belah tangan ke atas dua paha, memperbaiki pakaian, berada dalam tempat yang gelap, memejamkan kedua belah mata, mengingat kepada Syeikh, sidiq atau benar dengan dzikir, ikhlas, hudur, dan melenyapkan semua yang ada dalam hati selain dari Allah, dan yang harus diperhatikan sesudah dzikir ialah khusyu’ dan hudur, menggoncangkan badan, mencegah minum air karena dapat melenyapkan kepanasan nur.[15]
D.    Perkembangan dan Aliran-Aliran / Cabang-cabangnya
Berdasarkan ajaran yang diturunkan al-Syadzili kepada muridnya, kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbahkan kepadanya, yaitu tarekat Syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Maroko, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah, dan Semenanjung Arabia, juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.[16]
Tarekat Syadziliyah mulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahidun, yakni di Tunisia tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan timur dekat di bawah dinasti Mamluk. Dalam hal ini menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner peneliti tarekat Syadziliyah adalah bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia).[17]
Tarekat ini pada umumnya tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tunisia dan Alexandria) tetapi kemudian juga mempunyai pengikut yang sangat luas di daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghrib pada abad ke-10 H / 16 M, seperti al-Sanhaji dan muridnya Abd al-Rahman al-Majzub dan bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dahulu tarekat ini juga diikuti oleh sejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama terkenal abad ke-9 H / 15 M, Jalal al-Din al-Suyuti.[18]
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul cabang-cabang dalam tarekat Syadziliyah. Pada awal abad ke 8 H / 14 M, di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyah, yang didirikan oleh Syams al-Din Muhammad ibn Ahmad Wafa’ (w. 760 H / 1359 M) yang juga dikenal dengan Bahr al-Shafa’, ayah dari tokoh terkenal Ali ibn Wafa’ (w. 807 H / 1404 M). Wafaiyah berkembang dengan jalannya sendiri seiring dengan pergantian generasi, tersebar di sebagian wilayah Timur Dekat di Mesir. Setelah abad ke-9 H / 15 M mereka mengenakan model pakaian sufi mereka sendiri, seakan gaya asli Syadziliyah yang tidak menonjolkan diri tidak diperlihatkan lagi dan tidak dapat ditetapkan dengan sejumlah alasan. Mereka juga perlahan-lahan mulai terlibat dengan kehidupan institusional yang lebih kompleks dibandingkan dengan yang dihadapi generasi Syadziliyah awal.[19]
Di samping cabang itu, muncul cabang-cabang lainnya, yaitu Hanafiyah, Jazuliyyah, Nashiriyyah, Isawiyyah, Tihamiyah, Darqawiyyah dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan adaptasi kembali

Kesimpulan
Tarekat Syadziliyah adalah salah satu tarekat mu’tabarah. Tarekat ini didirikan oleh Abu Hasan Ali asy-Syadzili.
Ajaran dari tarekat Syadziliyah ini tidaklah berbelit-belit, kepada setiap murid, kecuali meninggalkan perbuatan maksiat, mereka diwajibkan memelihara kewajiban ibadah dan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah sekuat-kuatnya. Tarekat ini juga terkenal dengan hizbnya, di antaranya adalah Hizb al-Mubarak, Hizb al-Syifa’, Hizb al-Hujb.
Tarekat ini berkembang pesat di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan dan Semenanjung Arabia. Juga di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Thariqoh Syadzilliyah ini terkenal dengan hizib-hizibnya yang dipercayai mempunyai kekuatan magic, dan di antara hizib-hizibnya ada beberapa hizib yang terkenal. Salah satunya hizb al-bahr, dan daerah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Mesir, Kenya, Tunisia Tengah, Sri Lanka, Indonesia dan beberapa tempat di Amerika Utara.


DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Aboe Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo, Cetakan Kedua, 1984.
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1984.
Mulyati, Sri, dkk., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004.
“Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
Zain, Abdurrahman, Sufi dan Wali Allah, Husaini, Bandung, 1985.


[1] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1984, hlm. 902
[2] Sri Mulyati, dkk., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 37
[3] Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo, Cetakan Kedua, 1984, hal. 275. Lihat juga IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1984, hlm. 902
[4] “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com. Adapun mengenai kelahiran Syadzili sebenarnya masih belum ada kesepakatan beberapa penulis berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut : Siradi al-Din Abu Hafst menyebutkan tahun kelahirannya pada 591 H / 1069 M. Ibnu Sabbagh menyebut tahun kelahirannya pada 583 H / 1187 M. dan J. Spenter Triming Ham mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili pada 593 H / 1196 M. lihat Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 58
[5] Ibid.
[6] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 62
[7] IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit., hlm. 905, lihat juga “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
[8] Abu Bakr Atjeh, op.cit., hlm. 277
[9] Abdurrahman Zain, Sufi dan Wali Allah, Husaini, Bandung, 1985, hlm. 99
[10] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 73-75
[11] Abu Bakr Atjeh, op.cit., hlm. 27
[12] “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
[13] Ibid.
[14] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 82
[15] Abu Bakar Atjeh, op.cit., hlm. 278-279
[16] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 83
[17] Abu Bakar Atjeh, loc.cit.
[18] “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
[19] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm.
Share:

1 comment:

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.