Syadziliyah adalah nama tarekat yang termasuk ke dalam
tarekat mu’tabarah. Tarekat ini didirikan oleh al-Hasan Ali al-Syadzilli.
Tarekat Syadzili dikenal sebagai tarekat
yang sederhana dalam ajarannya, tidak berbelit-belit, persyaratan pengalaman
tarekat syadziliyah tidaklah berat-berat, kepada setiap murid, kecuali
meninggalkan maksiat-maksiat, sebagai lazimnya terdapat tradisi tarekat, mereka
diwajibkan memelihara kewajiban ibadat-ibadat sunnah sekuatnya, termasuk dalam
hal itu adalah dzikir kepada Tuhan. Sekurang-kurangnya seribu kali dalam sehari
semalam.[1]
A.
Sejarah lahirnya
Tarekat Syadziliyah tidak dapat dilepaskan
hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu al-Hasan al-Syadzilli. Selanjutnya
nama tarekat ini dinisbahkan pada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri
khusus yang berbeda-beda dengan tarekat lain. [2]
Secara lengkap nama pendirinya adalah Ali
bin Abdullah bin Abdul Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya
mempunyai hubungan dengan orang-orang keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib,
dan dengan demikian berarti juga keturunan Siti Fatimah anak perempuan dari Nabi
Muhammad Saw. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya
sebagai berikut : Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Yusuf bin Ward bin
Bathal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi
Thalib.[3]
Dia dilahirkan di Ghumara, dekat Ceuta
saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H.[4]
Pendidikannya dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian dilanjutkan
kependidikan lebih lanjut, yang mana di antara guru kerohaniannya adalah ulama
besar, Abdus Salam Ibn Masyiqy (w. 628 H / 1228 M), yang juga dikenal sebagai “Quthab
dari Quthub para Wali”, seperti halnya Syeikh Abd. Al-Qadir al-Jilani (w.
561 H / 1166 M).
Di masa-masa selanjutnya, atas saran
gurunya, Abdus Salam. Ia meninggalkan Maroko untuk ber-uzlah dalam
sebuah gua di dekat desa Syadzila di Tunisia Afrika tempat ia mendapatkan nisbah-nya.
Dari tempat uzlah-nya, ia secara berkala keluar untuk berceramah,
mengajar dan berdiskusi dengan para ulama dan para sufi. Ceramah dan
pengajarannya mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari masyarakat
setempat. Tak terkecuali, banyak dari kalangan ulama dan tokoh sufi yang
berdatangan untuk berdiskusi dengannya. Dari kalangan tokoh sufi yang aktif
datang mendengarkan ceramah dan berdiskusi dengannya, sekaligus menjadi
murid-muridnya tercatat misalnya : Syaikh Abul Hasan Ali Ibnu Maklif Asyadzili,
Abu Abdillah as-Shabuni, Abu Muhammad Abdul Aziz al-Patuni, Abu Abdillah
al-Bijjoj. Demikianlah, ketenaran nama Abul Hasan sebagai seorang ulama sufi
menyebar luas dan dengan cepat memperoleh pengikut yang banyak.
Ketenaran Abul Hasan mengundang dan
memancing iri dan kemarahan kaum ulama fiqih di Tunisia. Kemudian mereka
memfitnahnya di hadapan Sultan Abu Zakariyya al-Hafsi. Ia dan para pengikutnya
mengalami penganiayaan yang sangat pedih. Setelah situasi dari kondisi tidak
memungkinkan lagi baginya untuk tetap tinggal di Tunisia, pada tahun 642 H, Ia memutuskan
untuk mengungsi di Mesir diikuti oleh beberapa gelintir pengikutnya, dan
menetap di Iskandariyah.[5]
Di Mesir, sebagaimana halnya di Tunisia,
majelis-majelis pengajiannya dihadiri oleh bukan saja kalangan masyarakat awam
dan pecinta ilmu. Tetapi juga oleh para ulama-ulama besar dan terkemuka seperti
sultanul ulama: Izzudin ibn Abdus Salam, Taqiuddin ibn Daqiqil, Ibn Yasin
(murid terkemuka Ibn ‘Arabi) dan lain-lain.[6]
Meskipun semakin populer dan masyhur di
kalangan masyarakat dan ulama di Mesir,
ia melakukan korespondensi dengan
sekelompok kecil muridnya di Tunisia
yang dengan setia tetap menghidupkan namanya di sana. Beberapa surat korespondensinya yang berhasil
ditemukan menampakkan bahwa ia adalah Syaikh yang manusiawi, pemuka haji, yang
dedikasi personilnya tidak melemahkan kepeduliannya atas kesejahteraan
pengikut-pengikutnya.
Pada akhirnya Abdul Hasan asy-Syadzili dan
ajaran-ajarannya, yang mengambil Mesir sebagai pusat penyebarannya ini, menjadi
sufisme yang besar dan terbentuk dalam suatu tarekat yang dikenal dengan
tarekat syadziliyah. Tarekat ini mewakili tradisi tasawuf maghrib dan
terkenal dengan hizib-hizibnya.[7]
Sepeninggalannya, ia digantikan oleh Syaikh
Abul Abbas al-Mursi sebagai pemimpin tarekatnya. Yang juga dipegangnya sampai
ia meninggal dunia di Iskandariyah tahun 686 H. Ia digantikan salah seorang
muridnya, asal Mesir, Ibnu Athaillah as-Sukandari (al-Iskandari).[8]
B.
Pandangan Hidup Pendiri Tarekat Syadziliyah
Secara pribadi Abu Hasan asy-Syadzilli
tidak meninggalkan karya tasawuf, di antara sebabnya adalah karena
kesibukan-kesibukannya melakukan pengajaran-pengajaran terhadap murid-muridnya
yang sangat banyak dan sesungguhnya ilmu-ilmu tarekat itu adalah ilmu hakekat,
ajaran-ajarannya dapat diketahui dari para muridnya, misalnya tulisan Ibn Atha ‘Illah al-Iskandar, ketika
al-Syadzili ditanya perihal mengapa ia tak mau menuliskan ajaran-ajarannya,
maka ia menjawab : “Kutubi Ashlati”, kitab-kitabku adalah sahabatku.[9]
Adapun pemikiran-pemikiran al-Syadzilliyah
tersebut adalah :[10]
1.
Tidak
menganjurkan kepada murid-murid untuk meninggalkan profesi dunia mereka.
Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak
dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Swt.
dan mengenai rahmat Ilahi.
2.
Tidak
mengabaikan dalam menjalankan syari’at Islam
3.
Zuhud
tidak berarti harus menjauhi dunia, karena pada dasarnya zuhud adalah
mengosongkan hati dari selain Allah.
4.
Tidak
ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan
hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya.
5.
Berusaha
merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjembatani
antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk
dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
6.
Tasawuf
adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai
dengan ketentuan Allah Swt.
7.
Dalam
kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), al-Syadzilli berpendapat bahwa ma’rifah
adalah salah satu tujuan ahli tarekat dan tasawuf yang dapat diperoleh dengan
dua jalan, yaitu :
Antara al-Ghazali dan al-Syadzili di
samping memiliki beberapa kesamaan, juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam
hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apabila al-Ghazali lebih menekankan
Riyadhah al-Abdan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang
mengharuskan adanya musyaqqah, misalnya bangun malam, lapar dan
lain-lain, maka al-Syadzili lebih menekankan para Riyadhah al-Qulub
tanpa adanya Musyaqah al-Abdan, misalnya menekankan senang (al-Fash),
rela (al-Ridha) dan selalu bersyukur atas rahmat dan nikmat Allah Swt.[11]
Syadzilli sendiri tidak mengenal atau
menganjurkan muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak
satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan, di dalam tarekat
Syadzilliyah terdapat sendi-sendi yang harus dipatuhi dan kelima sendi-sendi
itu adalah :
1.
Semangat
yang tinggi yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
2.
Berhati-hati
dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih pengalaman Allah atas
kehormatannya.
3.
Berlaku
benar / baik dalam khidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian
tujuan kebesaran-Nya / kemuliaan-Nya.
4.
Melaksanakan
tugas dan kewajiban, yang menyampaikan kepada kebahagiaan hidupnya.
5.
Menghargai
(menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang
lebih besar.[12]
C.
Ajaran Hizib (Do’a dan Dzikir) Tarekat Syadziliyah
Hizib yang diajarkan Tarekat Syadziliyah
di antaranya adalah: Hizb al-Syifa’, Hizb al-Kahfi atau al-Autad, Hizb al-bahr,
Hizb al-Baladiyah atau Bithatiyah, Hizb al-Barr, Hizb al-Mubarak, Hizb
al-Salama, Hizb al-nur, dan Hizb al-Hujb.[13]
Hizb-hizb tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali hizb
tersebut telah mendapatkan izin/ijazah dari mursyid atau seorang murid
yang ditunjuk oleh mursyid untuk mengijazahkannya. Contoh :
1.
Hizb
al-Syifa’
Hizb al-Syifa’ adalah hizb yang khas dari
tarekat Syadziliyah di Tulung Agung. Sebelum seseorang mengikuti baiat atau talqin
zikir, biasanya ia dianjurkan untuk membaca hizb al-syifa’. Adapun
cara mengamalkan adalah apabila disertai puasa maka hizb as-Syifa’
dibaca setiap selesai shalat fardhu dan puasa dilaksanakan selama tiga hari,
tujuh hari, sepuluh hari, atau empat puluh hari, sesuai dengan petunjuk mursyid.
Puasa dimulai hari Selasa, Rabu, dan Kamis. Apabila tidak disertai puasa, maka
pembacaan hizb al-syifa’ dilaksanakan cukup satu kali dalam sehari
semalam.
Pertama-tama membaca surat al-Fatihah yang
ditujukan kepada Allah Swt, Nabi Muhammad Saw, Sayidina Abu Bakar al-Shiddiq,
Sayidina Umar bin Khatab, Sayidina Utsman bin Affan, Sayidina Ali bin Abi
Thalib, Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani, mbah Panjulu, Sunan Kali Jaga, Syeikh
Ibnu Ulwan, dan Wali Sembilan di Indonesia, Sultan Agung, Syaikh Abd al-Qadir
Kediri, Syeikh Mustaqim bin Husein, kedua orang tua, dan Nabi Hidlir a.s.
Bacaan Hizb al-Syifa’ tersebut adalah :[14]
اَللُّهُمَّ بِاَشْفاءٍ
بِشِفَائِكَ وَدَوَاهُ بِدَوَائِكَ وَعَافَاهُ مِنْ بِلاَ ئِكَ الْكَرِيْمِ صُمَّ
بُكُمء عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُوْن (4 ×/ 6×/11×). اَلْغَنِيُ الْمَـانِعُ
وَاللهُ الْغَنِيُ الْحَمِيْدُ (7×). اِنْ شَاءَ اللهُ بِبَرَكَتِهِ دُعَائِهِ سُبْحَانَ
مَنِ احْتَجَبَ بِجَبَرُوْتِ عَنْ خَلْقِهِ وَقُدْرَتِهِ فَلاَ اَيْنَ لاَ ضِدَّ
وَلاَ نِدَّ سِوَاهُ سِوَاهُ (3×)
2.
Hizb
al-Mubarak
Sebelum membaca hizb al-Mubarak ini
terlebih dahulu membaca surat
al-Fatihah seperti biasanya dan ditambah kepada Sayidina Hamzah.
Bacaan Hizb al-Mubarak :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ. اَلَمْ تَرَكَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحَابِ الْفِيْلِ الخ (7×)
اَخَذْتُ سَمْعَهُمْ وَبَصَرَهُمْ بِسِمْعِ اللهِ تَعَالَى وَبَصَرِهِ. وَاَخَذْتُ
قُوَّ تَهُمْ وَقُدْرَتَهُمْ بِقُوَّةِ اللهِ بِقَدْرَتِهِ بِيْنِى وَبَيْنَهُمْ
سِتْرُ اللهِ تَعَالَى لِـْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ كَانُوْا يَسْتَتِرُوْنَ بِهِ
مِنْ سَطْوَةِ الْفُرَاعَنَةَ. جَبْرَائِيْلَ عَنْ يَمِيْنِيْ وَاِسْرَافِيْلَ
مِنْ خَلْفِي وَمِيكَائِيلَ عَنْ يَسَارِي سَيِّدَنَا رَسُولِ اللهِ (ص م)
اَمَامِى وَاللهُ مُطْلِعُ عَلَيَّ يَمْنَعُهُمْ مِنِّي. صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ
فَهُمْ لاَ يَرْجِعُوْنَ. وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ سَدَّا وَمِنْ
خَلْفَهِمْ سَدًّا فَاَغْشَيْنَا هُمْ فَهُمْ لاَيُبْصِرُوْنَ. يَامَعْشَرَ
الْجِنِّ وَاْلاِنِسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوا مِنْ اَقْطَارِ
السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ فَانْفُذُوْا لاَ تَنْفُذُوْنَ اِلاَّ بِسُلْطَانٍ.
اِمْتَنَعْتُ بِقُدْرَةِ اللهِ
وَالْتَجَاءْتُ اِلَى كَنـفِ اللهِ وَاسْتَتحَبْتُ بِعُظْمَةِ اللهِ وَاحْتَفَظْتُ
بِاَلْفِ اَلْفِ لاَ حَولَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بَاللهِ الْعَلِيِ الْعَظِيْمِ.
(7×/12×)
Mengenai adab dzikir, kitab-kitab
syadzilliyah meringkaskan sebanyak dua puluh macam, lima sebelum mengucapkan dzikir, dua belas
dalam mengucapkan dzikir dan tiga sesudah mengucapkan dzikir.
Yang harus dilakukan sebelum dzikir ialah
taubah, mandi dan berwudlu, diam dan tenang, mengkhayalkan Syeikh dan
dzikirnya, berpegang kepada Syeikh sampai kepada Nabi. Adapun yang dilakukan,
sedang dzikir ialah duduk meletakkan kedua belah tangan ke atas dua paha,
memperbaiki pakaian, berada dalam tempat yang gelap, memejamkan kedua belah
mata, mengingat kepada Syeikh, sidiq atau benar dengan dzikir, ikhlas, hudur,
dan melenyapkan semua yang ada dalam hati selain dari Allah, dan yang harus
diperhatikan sesudah dzikir ialah khusyu’ dan hudur,
menggoncangkan badan, mencegah minum air karena dapat melenyapkan kepanasan
nur.[15]
D.
Perkembangan dan Aliran-Aliran / Cabang-cabangnya
Berdasarkan ajaran yang diturunkan
al-Syadzili kepada muridnya, kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbahkan
kepadanya, yaitu tarekat Syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat
antara lain di Tunisia, Maroko, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah, dan Semenanjung
Arabia, juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.[16]
Tarekat Syadziliyah mulai keberadaannya di
bawah salah satu dinasti al-Muwahidun, yakni di Tunisia tarekat ini kemudian
berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan timur dekat di bawah dinasti Mamluk.
Dalam hal ini menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner peneliti tarekat
Syadziliyah adalah bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat timur (Mesir),
namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia).[17]
Tarekat ini pada umumnya tumbuh dan
berkembang di wilayah perkotaan (Tunisia dan Alexandria) tetapi kemudian juga mempunyai
pengikut yang sangat luas di daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh terkenal
daerah Maghrib pada abad ke-10 H / 16 M, seperti al-Sanhaji dan muridnya Abd
al-Rahman al-Majzub dan bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dahulu tarekat
ini juga diikuti oleh sejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama terkenal
abad ke-9 H / 15 M, Jalal al-Din al-Suyuti.[18]
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul
cabang-cabang dalam tarekat Syadziliyah. Pada awal abad ke 8 H / 14 M, di Mesir
muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyah, yang didirikan oleh
Syams al-Din Muhammad ibn Ahmad Wafa’ (w. 760 H / 1359 M) yang juga dikenal
dengan Bahr al-Shafa’, ayah dari tokoh terkenal Ali ibn Wafa’ (w. 807 H / 1404
M). Wafaiyah berkembang dengan jalannya sendiri seiring dengan pergantian
generasi, tersebar di sebagian wilayah Timur Dekat di Mesir. Setelah abad ke-9
H / 15 M mereka mengenakan model pakaian sufi mereka sendiri, seakan gaya asli
Syadziliyah yang tidak menonjolkan diri tidak diperlihatkan lagi dan tidak dapat
ditetapkan dengan sejumlah alasan. Mereka juga perlahan-lahan mulai terlibat
dengan kehidupan institusional yang lebih kompleks dibandingkan dengan yang
dihadapi generasi Syadziliyah awal.[19]
Di samping cabang itu, muncul
cabang-cabang lainnya, yaitu Hanafiyah, Jazuliyyah, Nashiriyyah, Isawiyyah,
Tihamiyah, Darqawiyyah dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan
adaptasi kembali
Kesimpulan
Tarekat Syadziliyah adalah salah satu
tarekat mu’tabarah. Tarekat ini didirikan oleh Abu Hasan Ali asy-Syadzili.
Ajaran dari tarekat Syadziliyah ini
tidaklah berbelit-belit, kepada setiap murid, kecuali meninggalkan perbuatan
maksiat, mereka diwajibkan memelihara kewajiban ibadah dan melaksanakan
ibadah-ibadah sunnah sekuat-kuatnya. Tarekat ini juga terkenal dengan hizbnya,
di antaranya adalah Hizb al-Mubarak, Hizb al-Syifa’, Hizb al-Hujb.
Tarekat ini berkembang pesat di Tunisia, Mesir,
Aljazair, Sudan dan Semenanjung Arabia. Juga
di Indonesia
khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Thariqoh Syadzilliyah ini terkenal dengan
hizib-hizibnya yang dipercayai mempunyai kekuatan magic, dan di antara
hizib-hizibnya ada beberapa hizib yang terkenal. Salah satunya hizb al-bahr,
dan daerah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Mesir, Kenya, Tunisia Tengah,
Sri Lanka, Indonesia dan beberapa tempat di Amerika Utara.
DAFTAR
PUSTAKA
Atjeh, Aboe
Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo, Cetakan Kedua, 1984.
IAIN Syarif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan,
Jakarta, 1984.
Mulyati, Sri, dkk.,
Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Prenada
Media, Jakarta,
2004.
“Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
Zain, Abdurrahman,
Sufi dan Wali Allah, Husaini, Bandung, 1985.
[1] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,
Djambatan, Jakarta,
1984, hlm. 902
[2] Sri Mulyati, dkk., Mengenal dan Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 37
[3] Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat,
Ramadani, Solo, Cetakan Kedua, 1984, hal. 275. Lihat juga IAIN Syarif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1984, hlm. 902
[4] “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
Adapun mengenai kelahiran Syadzili sebenarnya masih belum ada kesepakatan
beberapa penulis berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut : Siradi al-Din
Abu Hafst menyebutkan tahun kelahirannya pada 591 H / 1069 M. Ibnu Sabbagh
menyebut tahun kelahirannya pada 583 H / 1187 M. dan J. Spenter Triming Ham
mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili pada 593 H / 1196 M. lihat Sri Mulyati,
dkk., op.cit., hlm. 58
[5] Ibid.
[6] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 62
[7] IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit., hlm. 905,
lihat juga “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
[8] Abu Bakr Atjeh, op.cit., hlm. 277
[9] Abdurrahman Zain, Sufi dan Wali Allah,
Husaini, Bandung,
1985, hlm. 99
[10] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 73-75
[11] Abu Bakr Atjeh, op.cit., hlm. 27
[12] “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
[13] Ibid.
[14] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 82
[15] Abu Bakar Atjeh, op.cit., hlm. 278-279
[16] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 83
[17] Abu Bakar Atjeh, loc.cit.
[18] “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
[19] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm.
Mana referensi kitab kuningnya.....? Ngaji kang
ReplyDelete