Friday, 11 September 2015

PERANAN DZIKIR DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling mulia diantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Manusia adalah khalifah atau wakil Allah SWT di muka bumi. Dengan demikian derajat dan kedudukan manusia cukup tinggi, sehingga menempati derajat yang tertinggi diantara makhluk-makhluk Allah lainnya. Tingkah laku manusiapun menjadi beragam dikarenakan pengaruh yang diterimanya lebih banyak dan lebih bervariasi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh lingkungan yang ada disekitarnya. Tingkah laku atau aktivitas manusia merupakan jawaban atau respon terhadap stimulus yang mengenalinya.[1] Oleh sebab itu bentuk dan corak tingkah laku manusia juga di tentukan oleh stimulus atau rangsangan yang diterima dari lingkungannya.

Pembahasan
Pengertian
Dzikir berarti menyebut, pengertian menyebut sesuai dengan al-Qur’an surat al-Anfal: 45
واذ كروالله كثيرالعلكم تفلحون (الانفال : ٤٥)
Artinya: “...Dan sebutlah (nama) Allah agar kamu beruntung”. (Q.S. Al-Anfal: 45)
Menurut Thohuri Muhammad Said: “Dzikir menurut istilah adalah mengucapkan kalimat suci yang menggerakkan hati untuk selalu ingat kepada Allah Ta’ala seperti kalimat Lailahaillallah”.[2]
Kegiatan dzikir bukanlah sekedar ucapan verbal dan bukan pula pelepasan renungan dalam lamunan. Dzikir mempunyai motivasi dan tujuan tertentu, yaitu untuk menciptakan amal saleh sebagai senjata nafsiologis yang ampuh untuk menanggulangi segala musibah yang menimpa. Keutamaan dan manfaat dzikir adalah mampu mendorong orang yang melakukannya untuk senantiasa berbuat kebaikan di dalam hidupnya dan menjauhkan diri dari perbedaan-perbedaan yang menular.[3] Karena keutamaan dan manfaat dzikir yang demikian tersebut, maka Allah SWT menempatkan dzikir sebagai ibadah yang paling utama bagi manusia.
Macam-macam dzikir
a)      Dzikir Statis: dzikir tanpa gerak dengan selalu menjaga keseimbangan antara kondisi jiwa dan raga sehingga tidak menghancurkan energi nafsiah dan sistem kerja organ tubuh,
Sukanto MM, menyebutkan dzikir jenis ini dengan istilah dzikir metode kontemplatif (renungan) dengan didukung oleh pujian-pujian tertentu.[4]
b)      Dzikir Dinamis: Dzikir yang disertai dengan sikap dan dilanjutkan dengan gerak.
Pendekatannya bukan lagi dengan pendekatan kontemplatif, melainkan dengan pendekatan antisipatif dan aplikatif.[5]Al-Qur’an adalah dzikir ayat demi ayat yang dikandungnya berisikan dzikir kepada Allah. Karena itu, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jawaziyyah: “Dzikir yang terbaik adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an”. Dengan membacanya dari waktu ke waktu dalam setiap kesempatan akan menghubungkan hamba secara spiritual dengan Allah. Sebagai Tuhan yang telah menurunkan dzikir (al-Qur’an) tersebut kepada manusia. Allah telah menerangkan berbagai dzikir, janji, perumpamaan, dan lain-lain dalam al-Qur’an supaya manusia dapat diingat kepada Allah.[6]
Peranan Dzikir
Tujuan manusia dalam hidup ini amat luas. Mencakup tujuan jangka panjang dan ada pula tujuan jangka pendek. Dalam usahanya merealisasikan tujuan ini, dia berhadapan dengan serangkaian hambatan dan rintangan, baik dari alam sekitar maupun dari sesama manusia, sehingga diperlukan kekuatan yang besar agar dia sanggup menghadapi hambatan dan rintangan tersebut.
Kekuatan semacam ini hanya bisa diperoleh di dalam aqidah dan keimanan kepada Allah. Iman itulah yang dapat menolong, memberi kekuatan jiwa. Orang mukmin memiliki kekuatan sekaligus menjadi pribadi yang kuat, karena dia mengambil kekuatan dari Allah. Dzat yang di percayai serta berserah diri kepada-Nya.[7] Dia merasa yakin bahwa Allah senantiasa menyertainya dimana saja dia berada.
Realitas kehidupan anak manusia menjadi guru bagi kita bahwa sesungguhnya orang-orang yang jiwanya goyah dan menderita batin adalah disebabkan oleh tidak adanya iman dan keyakinan dalam diri mereka. Sehingga meski sepanjang kehidupannya diliputi oleh kemewahan material akan tetapi jiwanya kosong, yang ada hanya perasaan tak berarti.
Tak sangsi lagi, kedamaian jiwa adalah kunci utama dalam menggapai kebahagiaan hidup. Persoalannya adalah bagaimana kedamaian itu bisa didapatkan? Pertanyaan ini dengan tegas bisa dijawab bahwa kedamaian semata-mata merupakan produk dari satu hal, dan tak bisa di ganti dengan yang lain, yaitu iman kepada Allah dan hari akhir yang mantap dan benar, tak bercampur dengan syak maupun kepalsuan.[8]
Kehidupan modern yang komplek bersifat ambivalen di satu sisi mampu membawa kemudahan hidup bagi manusia, tetapi di sisi lain kehidupan modern juga mengakibatkan terbelahnya pribadi manusia sebagai akibat tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri ini merupakan beban mental dan gangguan mental bagi individu yang bersangkutan. Upaya penyembuhan yang diberikan dengan hanya mendasarkan diri kepada kemampuan medis semata dan terlepas dari nilai-nilai spiritualisme ternyata kurang memberikan hasil yang berarti. Hal ini disebabkan karena penyebab gangguan mental rohani. Melalui penyadaran diri akan adanya relasi dengan Tuhan berbagai gangguan mental, mental tersebut dapat disembuhkan. Adapun penyadaran ini dapat diperoleh melalui berdzikir.
Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat yang serba komplek sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta urbanisasi banyak menimbulkan masalah sosial. Banyak muncul pribadi yang mengalami maladjustment, yaitu ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang ada, mereka mengalami konflik batin yang selanjutnya mengakibatkan gangguan mental seperti ketegangan yang hebat, takut tanpa alasan, kecemasan dan gelisah, penyembuhan gangguan mental ini dapat diperoleh melalui pengembalian manusia yang utuh dan mempunyai integritas diri yang kuat, pribadi yang utuh tidak akan mengalami tekanan jiwa, stres, gelisah, dan ketegangan-ketegangan batin yang lain.
Melalui dzikir manusia diajak untuk menyadari hakekat dirinya dan hakekat relasinya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kepercayaan terhadap satu Tuhan Yang Personil memberikan kepada manusia, kekuatan, keteguhan hati, keberanian, kedamaian, ketenangan, ketentraman, kebahagiaan, kedamaian batin tanpa ada pertentangan serius dengan hati nurani sendiri.[9] Melalui kegiatan dzikir manusia dikembalikan pada posisi yang sebenarnya yang lemah tanpa daya. Allah SWT satu-satunya yang mampu menolong dan memberi jalan keluar dari permasalahan yang di hadapi manusia.
Dzikir atau mengingat Allah SWT dengan lisan maupun dengan hati, maka orang yang melakukannya tidak akan disempitkan hidupnya oleh Allah SWT.[10]
Orang yang membiasakan diri mengingat Allah SWT juga akan mendapatkan hati yang tenang, mantap, hilang rasa gelisah, susah, stres, dan putus asa.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat al-Akhqof, ayat : 13
ان الذ ين قا لواربناالله ثم استقاموافلاخوف عليهم ولاهم يحزنون (سورة : الاحقاف : ٣ ١ )
Artinya : “Sesungguhnya mereka yang berkata : Tuhan kami adalah Allah, kemudian teguh dan mantap hatinya, maka tidak ada rasa takut yang menimpa mereka (pula) mereka gelisah”. (Q.S. Al-Akhqof : 13)[11]

Penutup
Berdzikir adalah merupakan alternatif yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang dialami umat Islam ditengah-tengah kemelut permasalahan dunia sekarang ini. Dengan berdzikir, kedamaian spiritual dapat dia peroleh dengan cara mengingat kepada Allah SWT Tuhan semesta alam dan kita manusia begitu rendah dan kecil yang saat ini sering dikenal dengan sebutan Psikologi Ruhani.


Daftar Pustaka
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi Ofset, Yogyakarta, 1983.
Thohuri Muhammad Said, Melerai Duka Dengan Dzikir Malam, cet. III, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1987.
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, cet. III, CV. Ramadhani, Solo, 1985.
Sukanto MM, Paket Moral Islam Menahan Nafsu Dari Amanah, cet. I, Indika Press, Solo, 1994.
Rifyal Ka’bah, Dzikir dan Do’a Dalam Al-Qur’an, Paramadina, Jakarta, 1999.
Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2000.
Kartini Kartono dan Henny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam, Mandar Maju, Bandung, 1989.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Jakarta, 1989.


[1] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi Ofset, Yogyakarta, 1983, hlm. 10.
[2] Thohuri Muhammad Said, Melerai Duka Dengan Dzikir Malam, cet. III, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1987, hlm. 11.
[3] Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, cet. III, CV. Ramadhani, Solo, 1985, hlm. 278.
[4] Sukanto MM, Paket Moral Islam Menahan Nafsu Dari Amanah, cet. I, Indika Press, Solo, 1994, hlm. 56-57.
[5] Ibid, hlm. 57.
[6] Rifyal Ka’bah, Dzikir dan Do’a Dalam Al-Qur’an, Paramadina, Jakarta, 1999, hlm. 45.
[7] Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2000, hlm. 275-277.
[8] Ibid, hlm. 91-92.
[9] Kartini Kartono dan Henny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam, Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 272.
[10] Aboebakar Atjeh, Op. Cit, hlm. 281.
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1989, hlm. 824.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.