Pendahuluan
Manusia
adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling mulia diantara makhluk-makhluk-Nya
yang lain. Manusia adalah khalifah atau wakil Allah SWT di muka bumi. Dengan
demikian derajat dan kedudukan manusia cukup tinggi, sehingga menempati derajat
yang tertinggi diantara makhluk-makhluk Allah lainnya. Tingkah laku manusiapun
menjadi beragam dikarenakan pengaruh yang diterimanya lebih banyak dan lebih
bervariasi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh lingkungan yang ada
disekitarnya. Tingkah laku atau aktivitas manusia merupakan jawaban atau respon
terhadap stimulus yang mengenalinya.[1]
Oleh sebab itu bentuk dan corak tingkah laku manusia juga di tentukan oleh
stimulus atau rangsangan yang diterima dari lingkungannya.
Pembahasan
Pengertian
Dzikir
berarti menyebut, pengertian menyebut sesuai dengan al-Qur’an surat al-Anfal:
45
واذ كروالله
كثيرالعلكم تفلحون (الانفال : ٤٥)
Artinya: “...Dan sebutlah (nama) Allah agar kamu
beruntung”. (Q.S. Al-Anfal: 45)
Menurut
Thohuri Muhammad Said: “Dzikir menurut istilah adalah mengucapkan kalimat suci
yang menggerakkan hati untuk selalu ingat kepada Allah Ta’ala seperti kalimat Lailahaillallah”.[2]
Kegiatan
dzikir bukanlah sekedar ucapan verbal dan bukan pula pelepasan renungan dalam
lamunan. Dzikir mempunyai motivasi dan tujuan tertentu, yaitu untuk menciptakan
amal saleh sebagai senjata nafsiologis yang ampuh untuk menanggulangi segala
musibah yang menimpa. Keutamaan dan manfaat dzikir adalah mampu mendorong orang
yang melakukannya untuk senantiasa berbuat kebaikan di dalam hidupnya dan
menjauhkan diri dari perbedaan-perbedaan yang menular.[3]
Karena keutamaan dan manfaat dzikir yang demikian tersebut, maka Allah SWT
menempatkan dzikir sebagai ibadah yang paling utama bagi manusia.
Macam-macam dzikir
a) Dzikir Statis: dzikir tanpa
gerak dengan selalu menjaga keseimbangan antara kondisi jiwa dan raga sehingga
tidak menghancurkan energi nafsiah dan sistem kerja organ tubuh,
Sukanto MM, menyebutkan dzikir jenis ini dengan istilah
dzikir metode kontemplatif (renungan) dengan didukung oleh pujian-pujian
tertentu.[4]
b) Dzikir Dinamis: Dzikir yang
disertai dengan sikap dan dilanjutkan dengan gerak.
Pendekatannya bukan lagi dengan pendekatan
kontemplatif, melainkan dengan pendekatan antisipatif dan aplikatif.[5]Al-Qur’an
adalah dzikir ayat demi ayat yang dikandungnya berisikan dzikir kepada Allah. Karena
itu, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jawaziyyah: “Dzikir yang
terbaik adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an”. Dengan membacanya dari waktu ke
waktu dalam setiap kesempatan akan menghubungkan hamba secara spiritual dengan
Allah. Sebagai Tuhan yang telah menurunkan dzikir (al-Qur’an) tersebut kepada
manusia. Allah telah menerangkan berbagai dzikir, janji, perumpamaan, dan lain-lain
dalam al-Qur’an supaya manusia dapat diingat kepada Allah.[6]
Peranan Dzikir
Tujuan
manusia dalam hidup ini amat luas. Mencakup tujuan jangka panjang dan ada pula
tujuan jangka pendek. Dalam usahanya merealisasikan tujuan ini, dia berhadapan
dengan serangkaian hambatan dan rintangan, baik dari alam sekitar maupun dari
sesama manusia, sehingga diperlukan kekuatan yang besar agar dia sanggup
menghadapi hambatan dan rintangan tersebut.
Kekuatan
semacam ini hanya bisa diperoleh di dalam aqidah dan keimanan kepada Allah.
Iman itulah yang dapat menolong, memberi kekuatan jiwa. Orang mukmin memiliki
kekuatan sekaligus menjadi pribadi yang kuat, karena dia mengambil kekuatan
dari Allah. Dzat yang di percayai serta berserah diri kepada-Nya.[7]
Dia merasa yakin bahwa Allah senantiasa menyertainya dimana saja dia berada.
Realitas
kehidupan anak manusia menjadi guru bagi kita bahwa sesungguhnya orang-orang
yang jiwanya goyah dan menderita batin adalah disebabkan oleh tidak adanya iman
dan keyakinan dalam diri mereka. Sehingga meski sepanjang kehidupannya diliputi
oleh kemewahan material akan tetapi jiwanya kosong, yang ada hanya perasaan tak
berarti.
Tak
sangsi lagi, kedamaian jiwa adalah kunci utama dalam menggapai kebahagiaan
hidup. Persoalannya adalah bagaimana kedamaian itu bisa didapatkan? Pertanyaan
ini dengan tegas bisa dijawab bahwa kedamaian semata-mata merupakan produk dari
satu hal, dan tak bisa di ganti dengan yang lain, yaitu iman kepada Allah dan
hari akhir yang mantap dan benar, tak bercampur dengan syak maupun kepalsuan.[8]
Kehidupan
modern yang komplek bersifat ambivalen di satu sisi mampu membawa kemudahan
hidup bagi manusia, tetapi di sisi lain kehidupan modern juga mengakibatkan
terbelahnya pribadi manusia sebagai akibat tidak dapat menyesuaikan diri dengan
kondisi yang ada.
Ketidakmampuan
menyesuaikan diri ini merupakan beban mental dan gangguan mental bagi individu
yang bersangkutan. Upaya penyembuhan yang diberikan dengan hanya mendasarkan
diri kepada kemampuan medis semata dan terlepas dari nilai-nilai spiritualisme
ternyata kurang memberikan hasil yang berarti. Hal ini disebabkan karena
penyebab gangguan mental rohani. Melalui penyadaran diri akan adanya relasi
dengan Tuhan berbagai gangguan mental, mental tersebut dapat disembuhkan.
Adapun penyadaran ini dapat diperoleh melalui berdzikir.
Tak
bisa dipungkiri bahwa masyarakat yang serba komplek sebagai dampak dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta urbanisasi banyak menimbulkan
masalah sosial. Banyak muncul pribadi yang mengalami maladjustment,
yaitu ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang ada, mereka
mengalami konflik batin yang selanjutnya mengakibatkan gangguan mental seperti
ketegangan yang hebat, takut tanpa alasan, kecemasan dan gelisah, penyembuhan
gangguan mental ini dapat diperoleh melalui pengembalian manusia yang utuh dan
mempunyai integritas diri yang kuat, pribadi yang utuh tidak akan mengalami
tekanan jiwa, stres, gelisah, dan ketegangan-ketegangan batin yang lain.
Melalui
dzikir manusia diajak untuk menyadari hakekat dirinya dan hakekat relasinya
dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kepercayaan terhadap satu Tuhan Yang Personil
memberikan kepada manusia, kekuatan, keteguhan hati, keberanian, kedamaian,
ketenangan, ketentraman, kebahagiaan, kedamaian batin tanpa ada pertentangan
serius dengan hati nurani sendiri.[9]
Melalui kegiatan dzikir manusia dikembalikan pada posisi yang sebenarnya yang
lemah tanpa daya. Allah SWT satu-satunya yang mampu menolong dan memberi jalan
keluar dari permasalahan yang di hadapi manusia.
Dzikir
atau mengingat Allah SWT dengan lisan maupun dengan hati, maka orang yang
melakukannya tidak akan disempitkan hidupnya oleh Allah SWT.[10]
Orang
yang membiasakan diri mengingat Allah SWT juga akan mendapatkan hati yang
tenang, mantap, hilang rasa gelisah, susah, stres, dan putus asa.
Sebagaimana
Firman Allah SWT dalam surat al-Akhqof, ayat : 13
ان الذ ين قا
لواربناالله ثم استقاموافلاخوف عليهم ولاهم يحزنون (سورة : الاحقاف : ٣ ١ )
Artinya : “Sesungguhnya
mereka yang berkata : Tuhan kami adalah Allah, kemudian teguh dan mantap
hatinya, maka tidak ada rasa takut yang menimpa mereka (pula) mereka gelisah”.
(Q.S. Al-Akhqof : 13)[11]
Penutup
Berdzikir
adalah merupakan alternatif yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang
dialami umat Islam ditengah-tengah kemelut permasalahan dunia sekarang ini.
Dengan berdzikir, kedamaian spiritual dapat dia peroleh dengan cara mengingat
kepada Allah SWT Tuhan semesta alam dan kita manusia begitu rendah dan kecil
yang saat ini sering dikenal dengan sebutan Psikologi Ruhani.
Daftar Pustaka
Bimo Walgito,
Pengantar Psikologi Umum, Andi Ofset, Yogyakarta, 1983.
Thohuri
Muhammad Said, Melerai Duka Dengan Dzikir Malam, cet. III, PT.
Al-Ma’arif, Bandung, 1987.
Aboebakar
Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, cet. III, CV. Ramadhani, Solo, 1985.
Sukanto MM, Paket
Moral Islam Menahan Nafsu Dari Amanah, cet. I, Indika Press, Solo, 1994.
Rifyal
Ka’bah, Dzikir dan Do’a Dalam Al-Qur’an, Paramadina, Jakarta, 1999.
Yusuf
Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2000.
Kartini
Kartono dan Henny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam,
Mandar Maju, Bandung, 1989.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an,
Jakarta, 1989.
[1]
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi Ofset, Yogyakarta, 1983,
hlm. 10.
[2]
Thohuri Muhammad Said, Melerai Duka Dengan Dzikir Malam, cet. III, PT.
Al-Ma’arif, Bandung, 1987, hlm. 11.
[3]
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, cet. III, CV. Ramadhani, Solo,
1985, hlm. 278.
[4]
Sukanto MM, Paket Moral Islam Menahan Nafsu Dari Amanah, cet. I, Indika
Press, Solo, 1994, hlm. 56-57.
[5]
Ibid, hlm. 57.
[6]
Rifyal Ka’bah, Dzikir dan Do’a Dalam Al-Qur’an, Paramadina, Jakarta,
1999, hlm. 45.
[7]
Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka, Yogyakarta,
2000, hlm. 275-277.
[8]
Ibid, hlm. 91-92.
[9]
Kartini Kartono dan Henny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam
Islam, Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 272.
[10]
Aboebakar Atjeh, Op. Cit, hlm. 281.
[11]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1989, hlm. 824.
0 comments:
Post a Comment