Showing posts with label pengawasan pendidikan. Show all posts
Showing posts with label pengawasan pendidikan. Show all posts

Saturday, 18 June 2016

POLA ASUH ORANG TUA OTORITER (bagian 3)

Pola asuh otoriter cenderung tidak memikirkan apa yang akan terjadi di masa kemudian hari, fokusnya lebih masa kini. Orang tua atau pengasuh primer mengendalikan anak lebih karena kepentingan orang tua atau pengasuhnya untuk memudahkan pengasuhan.
Mereka menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan sepihak oleh orang tua atau pengasuh, memutlakkan kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun. Orang tua atau pengasuh merasa tidak pernah berbuat salah. (Singgih D. Gunarsa, 1995: 29) Orang tua mau menerima dan menyayangi anak asal anak tunduk mutlak pada perintah-perintah orang tua, dan menjauhi larangan-larangan tertentu. Anak juga harus sanggup menolak atau mengingkari dorongan, impuls, dan keinginan sendiri. perasaan keinginan dan kemampuan sendiri harus ditekan atau dibuang, karena ada larangan dan tekanan-tekanan orang tua.  (Kartini Kartono, 2000: 185)
Orang tua sering tidak menyadari bahwa dikemudian hari anak-anaknya dengan pola pengasuhan otoriter mungkin akan menimbulkan masalah yang lebih rumit, meskipun anak-anak dengan pola pengasuhan otoriter ini memiliki kompetensi dan tanggung jawab cukupan, namun kebanyakan cenderung menarik diri secara sosial, kurang spontan dan tampak kurang percaya diri. Kebanyakan anak-anak dari pola pengasuhan otoriter melakukan tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman.
Jika orang tua atau pendidik telah menggunakan pukulan atau kekerasan dalam mendidik seorang anak, maka sebenarnya dia telah menghilangkan kesempatan dalam mendidik dengan sebuah didikan yang benar, bahkan hal tersebut bukan merupakan bimbingan yang benar, tidak mengajak berfikir, dan tidak mengajak mengoreksi kebiasaan salah yang dilakukan sang anak, sehingga hasilnyapun nihil, walaupun sang anak nurut dikarenakan takut, walaupun sang anak mendengar bukan karena kewibawaannya sebagai pendidik yang benar tetapi karena takut akan pukulan dan kekerasaan, di belakang akan berkelekar dan akan timbul dendam atau ketidak hormatan sang anak terhadap orang tua tersebut. Dan tidak sedikit anak yang mendapatkan kekerasan dari orang tua, ketika berada di luar rumah mereka melampiaskannya dengan mabuk-mabukan atau bergaul dengan kesesatan karena merasa inilah jalan keluar dan yang terbaik bagi mereka. (A. Fulex Bisyri, 2004: 59)
Dalam kondisi yang ekstrim, anak laki-laki dengan pola pengasuhan otoriter sangat mungkin memiliki resiko berperilaku anti sosial, agressif, impulsif dan perilaku-perilaku maladaptif lainnya. Anak perempuan cenderung menjadi tergantung (dependent) pada orang tua atau pengasuh primernya. Terdapat beberapa anak yang kemudian menjadi kriminal atau melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang wajar. Utamanya mereka yang selain terkondisi dalam pola otoriter ditambah dengan siksaan-siksaan atau deraan-deraan fisik (Physical abuse of children). (G. Tembong Prasetya, 2003: 30) Pola pengasuhan seperti ini seringkali berulang-ulang pada generasi berikutnya (sekali lagi Intergeneration Transmission) yang berjalan dalam ketidaksadaran.

REFERENSI:
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000.
Sylvia Rimm, Mendidik dan Menerapkan Disiplin Pada Anak Pra Sekolah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Muhammad Al-Hamd, Kesalahan Mendidik Anak, Cet. IV, Geman Insani Press, Jakarta, 2001.
Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, Pustaka Inti, Jakarta, 2002.
Sarumpaet, Rahasia Mendidik Anak, Indonesia Publishing House, Bandung, 1973.
A. Fulex Bisyri, Ketika Orang Tua Tak Lagi Dihormati, Mujahid, Bandung, 2004.
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Membimbing, Cet. 8, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995.
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Mandor Maju, Bandung, 2000.
G. Tembong Prasetya, Pola Pengasuhan Ideal, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003.
Share:

Friday, 17 June 2016

POLA ASUH ORANG TUA OTORITER (bagian 2)

Pada bagian kedua ini melanjutkan pada tulisan terdahulu, di sini melanjutkan tentang Indikator Orang Tua Otoriter.

d. Menuruti segenap kemauan anak
Menuruti segala keinginan anak tidak baik. Mereka itu akan menjadi manja, sesudah dewasa sukar untuk mengontrol diri, karena segenap kemauannya selalu terpenuhi. Anak-anak semacam itu akan gampang kecewa atau putus asa kalau rencananya gagal. Mereka kurang tabah dan kurang sabar dalam mengalami berbagai cobaan hidup. Anak-anak pada umumnya ingin mencoba segala sesuatu, sudah pasti bahwa sebagian besar keinginan mereka itu tidak baik bahkan ada yang membahayakan. Itulah sebabnya orang tua yang bijaksana tidak akan mengabulkan semua keinginan anak. (Sarumpaet, 1973: 169)e. Bersikap tidak adil
Anak-anak mungkin belum tahu bagaimana mengucapkan bahwa orang tuanya tidak adil, tetapi mereka mempunyai perasaan yang sangat halus. Mereka kecewa atas tindakan-tindakan yang tidak adil, kekecewaan kemudian menjelma menjadi keputusasaan. Setelah mereka mengalami putus asa, mereka tidak memperdulikan ancaman-ancaman hukuman lagi bahkan sifat-sifat pemberontak terpupuk dalam jiwanya.
Sebagai contoh, David marah sekali kepada ibunya karena tindakan yang tidak adil. Ia dihukum lebih berat dari adiknya yang sebenarnya membuat kesalahanlebih besar. Ibunya sudah menjatuhkan vonis sebelum lebih jelas duduk persoalannya.

f. Mendidik anak dengan dimanja dan hidup tanpa aturan, membiasakan anak hidup mewah, congkak, royal dan bersuka ria.
Akibatnya anak tumbuh dan terbiasa dengan hidup mewah, egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri. is tidak lagi mempunyai kepedulian terhadap orang lain, tidak pernah menanyakan tentang keadaan saudara-saudaranya sesama kaum muslim, serta tidak ikut merasakan kegembiraan dan kesedihan mereka.
Oleh karena itu, mendidik anak seperti ini akan merusak fitrah (naluri baiknya) melenyapkan keistiqamahan, serta membasmi kewibawaan dan keberaniannya.

g. Menumbuhkan pada diri anak rasa kecil hati, takut, gelisah dan keluh kesah.
Sebagaimana yang kita perhatikan terhadap metode kita dalam mendidik, yaitu selalu menakut-nakuti mereka dengan hantu, penculik, setan, suara angin, dan sebagainya. Lebih buruk lagi bila kita menakut-nakuti mereka dengan gurunya, sekolahnya, atau dengan dokter, sehingga ia selalu dihantui rasa takut dari sesuatu yang semestinya tidak perlu ditakuti.
Mengancam seorang anak supaya mau bekerja juga tidak bijaksana, dia berbuat oleh karena takut, tetapi bukan karena keinginan hendak menurut. Adalah kesalahan besar mengancam seorang anak dengan hukuman kalu tidak menurut. Sebagian anak akan tergoda menimbang berat hukuman dengan berat tugas, lalu mengambil keputusan supaya lebih baik dihukum saja dari pada melakukan tugas berat itu. Anak kecil yang diancam tidak akan diberi kue (roti) kalau menyeberang jalan raya, besar kemungkinan anak tersebut lebih menyeberang jalan walaupun tidak mendapat kue (roti). (Sarumpaet, 1973: 181)

h. Kurangnya kasih sayang
Kadang-kadang tanpa disengaja orang tua kurang memberi kasih sayang. Mungkin juga orang tua sudah merasa memberikan kasih sayang, tetapi ternyata anak tidak merasa memperolehkasih sayang. Memang sulit untuk menentukan apakah sudah cukup kasih sayang yang diberikan atau belum. Perasaan tidak cukup disayangi ini akan menimbulkan akibat pada kepribadiannya. (Singgih D. Gunarsa, 1995: 58)
Hal itulah yang menyebabkan mereka berusaha mencari kasih sayang di luar rumah, dengan harapan agar ada orang yang dapat memberikan kasih sayang kepada mereka.

i. Mendidik mereka atas hal-hal perbuatan yang rendah, kata-kata yang jelek, dan akhlak yang tidak terpuji.
Sebagai contoh, orang tua memberi dorongan kepada mereka untuk gemar datang ke gelanggang olah raga jika di gelanggang itu ada percampuran antara laki-laki dan perempuan serta saling memperlihatkan aurat) mengekor/ meniru-niru orang kafir, membiasakan anak-anak perempuan memakai pakaian pendek, melontarkan kata-kata kasar, jorok, dan kotor yang disebabkan orang tua sering kali bahkan berulang-ulang, menggunakan kata-kata tersebut. Atau melalui panggilan anak-anaknya dengan julukan jorok, sehingga si anak terbiasa dengan panggilan-panggilan semacam itudan tidak lagi mau memperhatikan etika berbicara.

j. Terlalu buruk sangka terhadap anak-anak
Ada sebagian orang tua yang buruk sangka terhadap anak-anaknya bahkania amat berlebihan dalam hal itu sampai keluar dari batas kewajaran. Misalnya menuduh niat anaknya dan sama sekali tidak percaya kepada mereka. Ia memberikan kesan kepada mereka bahwa ia akan memberikan hukuman kepada mereka setiap kali melakukan kesalahan kecil maupun besar tanpa mau memaklumi dan melupakan sedikitpun tentang kekeliruan dan kesalahan mereka.
Dari uraian di atas sebenarnya masih banyak lagi kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Orang tua sering tidak menyadari bahwa kesalahan dalam mendidik anak dapat menimbulkan berbagai reaksi, dan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Anak mungkin akan mudah goyah, tidak stabil emosinya, dan sulit untuk dikontrol. Sebagai orang tua yang baik, maka dalam mendidik anak lebih ditekankan pada pendidikan yang membimbing, mengarahkan meraka kepada hal-hal yang benar, dan sabar dalam mendidik dengan penuh kasih sayang dan perhatian.
Semoga bermanfaat

Referensi:
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000.
Sylvia Rimm, Mendidik dan Menerapkan Disiplin Pada Anak Pra Sekolah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Muhammad Al-Hamd, Kesalahan Mendidik Anak, Cet. IV, Geman Insani Press, Jakarta, 2001.
Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, Pustaka Inti, Jakarta, 2002.
Sarumpaet, Rahasia Mendidik Anak, Indonesia Publishing House, Bandung, 1973.
A. Fulex Bisyri, Ketika Orang Tua Tak Lagi Dihormati, Mujahid, Bandung, 2004.
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Membimbing, Cet. 8, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995.
Share:

Saturday, 6 December 2014

PENGAWASAN PENDIDIKAN


Pengawasan atau supervisi adalah aktivitas menentukan kondisi-kondisi atau syarat-syarat yang esensial, yang akan menjamin tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Ia berupa dorongan, bimbingan dan kesempatan bagi pertumbuhan keahlian dan kecakapan guru-guru, seperti bimbingan dalam usaha dan dilaksanakan pembaharuan-pembaharuan dalam pendidikan dan pengajaran, pemilihan alat-alat pelajaran dan metode-metode mengajar yang lebih baik, cara-cara penilaian yang sistematis terhadap fase seluruh proses pengajaran dan sebagainya.
Dengan kata lain supervisi adalah suatu aktivitas yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif.
Fungsi pengawasan dalam pendidikan bukan hanya sekedar kontrol melihat apakah segala kegiatan telah sesuai dengan rencana atau program yang telah digariskan, tetapi lebih dari itu. Kegiatan pengawasan mencakup penentuan kondisi-kondisi atau syarat-syarat personel maupun material yang diperlukan untuk terciptanya situasi belajar yang efektif, dan memenuhi syarat-syarat itu.
(M. Ngalim Purwanto, 1995, hlm. 76)
Jadi, pengawasan pendidikan sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan dan hasil yang diharapkan oleh sistem pendidikan, karena dengan adanya pengawasan dapat diketahui perbaikan dan perkembangan proses belajar mengajar secara menyeluruh dan pengawasan merupakan bagian dari manajemen sistem pendidikan yang bagian-bagiannya saling terkait atau tidak dapat dipisahkan.
Share:

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.