Al-Qur’an adalah syari’at Islam yang bersifat menyeluruh, ia merupakan
sumber dan rujukan yang pertama bagi syari’at, karena di dalamnya terdapat
kaidah-kaidah yang bersifat global beserta rinciannya.
Sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT dengan
lafadz dan sekaligus maknanya, ia diturunkan dengan memakai bahasa Arab.
Meskipun sebagian kecil kata-katanya tidak berasal dari bahasa Arab, tapi sudah
dimasukkan dalam bahasa Arab. Karena setiap bahasa dipengaruhi oleh bahasa yang
lain, dan setiap kata dijelaskan oleh sesuatu yang dilihat, dirasakan dam
diketahui.
Karena itu ulama ushul fiqh telah berupaya dengan
mengikuti lebih dalam tentang lafadz yang ada di dalam al-Qur’an dengan
meneliti klasifikasi lafadz dan berbagai problematika pentakwilan makna. Dalam
makalah ini penulis akan memaparkan secara gamblang tentang klasifikasi lafadz
dari segi kejelasan makna dan problematika pentakwilan makna.
PEMBAHASAN
Al-Qur’an adalah lafadz dan makna, ia merupakan kitab suci yang berbahasa
Arab, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi :[1]
إِنَّا
أَنزَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. (Yusuf: 2)
Oleh karena itu, penterjemahan terhadap sebagian
makna-makna al-Qur’an kepada bahasa selain Arab tidak bisa disebut al-Qur’an.
Sebagian pengarang mengatakan, bahwa Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa
penterjemahan sebagian ayat-ayat suci al-Qur’an ke dalam bahasa selain Arab
dapat di sebut al-Qur’an, karena dia memperbolehkan membaca terjemahan
al-Qur’an dalam bahasa Persi sewaktu mengerjakan shalat. Meskipun bagi orang
yang mampu berbahasa Arab, akan tetapi mayoritas ulama madzhab Hanafi
berpendapat, bahwa pendapat imam Hanafi di atas adalah rukhshoh bagi orang yang
tidak mampu mengucapkan bahasa Arab meskipun ia memahaminya.[2]
Al-Qur’an jika di tinjau dari eksistensinya sebagai
Kalam (firman) yang baligh (sangat indah), maka terjemahannya mustahil dapat
disebut sebagai al-Qur’an, sebagaimana yang diungkapkan Imam Abu Qutaibah pada
abad III H dan diikuti oleh Imam asy-Syatibi, tentang makna-makna al-Qur’an
yang bersifat global dapat diterjemahkan, akan tetapi makna-makna yang baligh
yang terdapat dalam majaz isti’arah, isyarat bayariyah dan sebagainya, tentu
tidak mungkin dapat diterjemahkan dari bahasa Arab kepada bahasa yang lain.[3]
A. Lafadz Dilihat dari Segi Terang dan Kandungan Makna
1.
Ta’rif
Yang disebut dzhohirud dalalah ialah suatu
lafadz yang menunjuk kepada makna yang dikehendaki oleh sighat (bentuk) lafadz
itu sendiri. Artinya untuk memahami makna dari lafadz tersebut tidak tergantung
kepada suatu hal dari luar.
Zhahirud dalalah itu ada 4 tingkat:[4]
Zhahir yang dimaksud dengan zhahir
ialah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki oleh sighat
lafadz itu sendiri.
Tetapi bukanlah makna itu yang
dimaksud oleh syaqul kalam dan lafadz itu sendiri masih dapat di takwilkan di
tafsiran dan dapat pula di nasakhkan pada masa Rasulullah SAW, misalnya firman
Tuhan :
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ
النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat.” (An-Nisa’ 3)
Adalah lafadz zhahir, sebab
makna yang dikehendaki dan segera dapat dipahamkan dari lafadz “fankihu ma
thaaba lakum minan nisa’i” ialah halalnya mengawini wanita-wanita yang disenangi,
akan tetapi kalau kita perhatikan siyaqul kalam (rangkaian pembicaraan) maka
bukan itu yang dimaksud. Maksud yang sebenarnya dari ungkapan itu ialah
membatasi jumlah wanita yang boleh di kawini yaitu 4 orang sekali pegang.
Hukum lafadz zhahir[5]
Lafadz zhahir itu wajib diamalkan
sesuai dengan makna yang dikehendakinya, selama tidak ada dalil yang
menafsirkan, menta’wilkan atau menasakhkannya.
Oleh karenanya apabila lafadz
zhahir itu :
a) Dalam keadaan mutlaq, maka tetap dalam kemutlakannya, selama
tidak ada dalil yang mentaqyidkannya (membatasi kemutlakannya).
b) Dalam keadaan umum maka ia tetap dalam keumumannya, selama tidak
ada dalil yang mentakhsiskannya. Jika ada dalil yang mentakhsiskannya,
hendaklah diamalkan sesuai dengan mukhashshisnya.
c) Mempunyai arti haqiqat, hendaklah diartikan menurut arti yang
haqiqi itu, selama tidak ada qorinah yang memaksa untuk dialihkan kepada
artinya yang majazi.
d) Pada masa pembinaan hukum syariat yaitu pada zaman Rasulullah
SAW lafadz dhahir itu dapat dinasakh dalalahnya. Artinya hukum yang dipetik
dari lafadz dhahir dapat diganti dengan hukum yang berlawanan, apabila hukum
tersebut berkaitan dengan hukum furu’ (cabang) yang dapat berubah menurut
kemaslahatan.
2.
Nash
Lafadz nash ialah lafadz yang menunjuk kepada suatu
makna yang dikehendaki baik oleh lafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul
kalam dan ia masih dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan di naskah dimasa
Rasulullah SAW, misalnya firman Tuhan.[6]
مِّن بَعْدِ
وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. (an-Nisa’: 12)
Lafadz “washiyatin” dan “dainin”
dalam ayat tersebut adalah lafadz nash. Sebab makna yang dikehendaki oleh
sighat lafadz dan oleh siyaqul kalam adalah sama benar, yaitu keharusan
mendahulukan wasiat dan pembayaran hutang dari pada membagikan harta pusaka
kepada para ahli waris.
Dan firman-Nya lagi
الْيَتَامَى
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
Makna yang dikehendaki baik oleh
lafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam secara asli ialah perihal batasan
seorang laki-laki dalam mengawini wanita hanya sampai empat orang saja.
Hukum lafadz nash[7]
a.
Ketentuan lafadz nash itu sama
dengan ketentuan hukum lafadz zhahir. Yakni wajib di amalkan menurut madlulnya
(dalam hal ini mana yang dikehendaki oleh siyaqul kalam). Selama tidak ada
dalil yang mentakwilkan, menafsirkan atau menasakhnya.
Berdasarkan ketentuan yang prinsip
itu apabila lafadz nash tersebut:
1)
Dalam keadaan mutlaq, ia tetap
dalam kemutlakannya. Selama tidak ada dalil yang mentaqyidkannya. Jika ada
dalil yang mentaqyidkannya maka lafadz yang muqayyadhah yang diamalkannya.
Sebagai contoh lafazh nash mutlaq seperti firman Allah :
مِّن بَعْدِ
وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. (an-Nisa’: 12)
Wasiat yang harus didahulukan pelaksanaannya adalah
mutlak, tidak dibatasi berapa besarnya. Kemudian kemutlakannya dibatasi tidak
boleh melebihi sepertiga harta peninggalan oleh sabda Rasulullah SAW.
2)
Bersifat ‘amm. Maka ia
tetap dalam arti keumumannya, selama tidak ada dalil yang mentakhsiskannya. Jika
ada dalil yang mentakhsiskannya hendaklah diamalkan mukhashshishnya.
Contoh lafadz nash amm yang ditakhshiskan seperti
firman Tuhan:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (suci)” (al-Baqarah :
228)
b.
Lafadz nash itu baik diciptakan untuk
pengertian umum maupun khusus, harus tetap diartikan menurut maknanya yang
haqiqi, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa makna yang dikehendaki oleh
lafadz itu adalah makna yang majazi.
Persamaan dan perbedaan antara
ta’wil dengan tafsir.[8]
Antara ta’wil dan tafsir terdapat
persamaan dan perbedaan, sebagai berikut:
Bahwa masing-masing dari ta’wil dan tafsir adalah
sebagai jalan untuk menjelaskan suatu maksud dari nash. Lafadz-lafadz yang
dapat dita’wilkan dan ditafsirkan dari tingkatan lafadz zhahirud dalalah ialah
lafadz zhahir dan lafadz nash, sedang dari tingkatan lafadz khafiyud dalalah
ialah lafadz mujmal, musykil dan khafi
Adapun perbedaan antara ta’wil dan
tafsir ialah bahwa ta’wil itu menjelaskan maksud suatu nash dengan dalil dzanni
lewat ijtihad para ulama. Oleh karena itu dalalah maksudnya belum positif.
Boleh jadi yang dimaksud makna yang itu atau makna yang lain. Sedang tafsir adalah
menjelaskan makdus suatu nash dengan dalil qath’i oleh syari’ sendiri.
3.
Mufassar
Mufassar ialah lafadz yang menunjuk
kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh shighat lafadz itu sendiri dan
siyaqul kalam, tetapi ia tidak dapat dita’wilkan dan ditafsirkan selain oleh
syari’. Contoh:
فَاجْلِدُوْهُمْ
ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً
Maka deralah mereka delapan puluh
kali
Macam-macam mufassar.[9]
a. Mufassar bidzatih yaitu kejelasan makna yang dikehendaki oleh
shighat lafadz dan siyaqul kalam tanpa memerlukan penjelasan dari luar lafadz
itu
b. Mufassar bighairih yaitu kejelasan maknanya di karenakan adanya
penjelasan dari nash qath’i yang lain di luar lafadz itu.
Hukum lafadz mufassar
Lafadz mufassar itu wajib diamalkan
sesuai dengan dalalahnya yang ditunjuk oleh lafadz itu sendiri atau sesuai
dengan penjelasan dari syari’ kecuali ada dalil yang sharih yang
menasakhkannya.
4.
Muhkam
Lafadz muhkam ialah lafadz yang
menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh sighat lafadz itu dan
siyaqul kalam. Akan tetapi ia tidak dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan di
naskah pada saat Rasulullah SAW masih hidup. Dengan demikian lafadz muhkam itu
adalah lafadz mufassar yang tidak dapat dinasakh.
Macam-macam lafadz muhkam
Lafadz muhkam itu ada dua macam
-
Muhkam lidzatih yaitu lafadz
muhkam yang tidak dapat dinasakh maknanya
-
Muhkam lighairihi yaitu lafadz
muhkam yang menurut dzatnya dapat menerima nasakh, akan tetapi lafadz itu
dinukil oleh suatu lafadz lain yang menunjuk kepada kelestariannya.
Hukum lafadz muhkam[10]
Lafadz muhkam wajib diamalkan secara qath’i karena
makna lafadz muhkam itu tidak dapat dita’wilkan kepada arti lain di luar
lafadznya dan tidak dapat pula di nasakh baik pada zaman Rasulullah SAW maupun
sesudahnya.
B. Khafiyud Dalalah
1.
Ta’rif
Yang dimaksud dengan khafiyud
dalalah ialah lafadz yang penunjukannya kepada makna yang dikehendaki bukan
oleh shighat itu sendiri, akan tetapi karena tergantung kepada sesuatu dari
luar lantaran adanya kekaburan pengertian pada lafadznya.
Kekaburan pengertian itu dapat
dihilangkan dengan jalan mengadakan penelitian dan ijtihad lafadz yang dapat
dihilangkan kekaburannya, dengan jalan ini disebut lafadz khafi dan musykil.
Sedang lafadz yang tidak dapat dihilangkan kekaburannya melainkan dengan jalan
mencari penafsirannya dari syar’i sendiri disebut lafadz mujmal. Dan apabila
tidak ada jalan lain untuk menghilangkan kekaburannya disebut lafadz
mutasyabih.
2.
Tingkatan lafadz mutasyabih
Para
ahli ushul mengklasifikasikan tingkatan lafadz khafiyud dalalah kepada 4 macam.[11]
a.
Khafi
Lafadz khafi ialah lafadz
yang penunjukkannya kepada maknanya adalah jelas, akan tetapi penerapan
maknanya kepada sebagian satuannya terdapat kekaburan yang bukan disebabkan
oleh lafadz itu sendiri.
b.
Musykil
Ialah lafadz yang shighatnya
sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki. Akan tetapi, harus ada
qorinah dari luar agar menjadi jelas apa yang dikehendakinya.
Perbedaan antara lafadz khafi dan
musykil ialah bahwa pada lafadz khafi kekaburan maknanya bukan disebabkan adanya
keraguan makna atas sebagian satuannya karena sesuatu dari luar.
Cara-cara untuk menghilangkan
kemusykilan suatu lafadz ialah dengan jalan berijtihad.
c.
Mujmal
Mujmal ialah
lafadz yang shighatnya sendiri tidak menunjukkan makna yang dikehendaki dan
tidak pula didapati qarnah lafdziyah (tulisan) atau keadaan yang
menjelaskannya.
Kekaburan makna lafadz mujmal
lantaran perkataan lafadz sendiri, bukan dari luar, disebabkan ada kaitannya
karena :
1) Lafadz itu mustarak yang sulit ditentukan aibnya
2) Makna lafadz-lafadz yang menurut makna lughawi (bahasa) itu
dipindah oleh syari’ kepada makna yang pantas untuk istilah syari’at.
d.
Mutasyabih
Mutasyabih ialah lafadz yang
shighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendakinya dan tidak
didapati pula qarinah-qarinah dari luar yang menjelaskannya. Misalnya
huruf-hurus hijaiyah yang dipergunakan sebagai pembukaan dalam beberapa surat al-Qur’an (mafati
hussuwar) seperti Alif Lam Mim. Dan ayat-ayat yang menurut lahirnya
menetapkan bahwa Allah itu serupa dengan makhluk. Misalnya mempunyai tangan.
Seperti firman Allah:[12]
يَدُ اللَّهِ
فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Tangan Allah di
atas tangan mereka (al-Fath : 10)
Menanggapi ayat mutasyabih semacam
itu para ulama ahli kalam terbagi kepada dua golongan
1)
Golongan salaf (terdahulu)
mengi’tiqadkan bahwa Tuhan adalah suci dari sifat-sifat yang tidak patut
baginya. Oleh karena itu, mereka menyerahkan bulat-bulat pena’wilan ayat
mutasyabihat kepada Allah
2)
Golongan Khalaf (terkemudian) mentakwilkan
ayat-ayat tersebut sesuai dengan pemakaian bahasa.
Atas dasar
itulah lafadz “jadun” dalam ayat tersebut di atas dita’wilkan dengan qoidah
(kekuasaan) lafadz a’yunina dalam surat
Hud : 37 harus di ta’wilkan dengan bihi ajelani.[13]
KESIMPULAN
Jadi jelaslah bahwa dalam menanggapi teks-teks yang ada di dalam qur’an
menggunakan beberapa lafadh di antaranya adalah lafadz dhahir .setiap nash yang
jelas dalalahnya harus di perlakukan
sesuai dengan kejelasan dalalahnya yang di tunjukannya .nash yang mengandung
takwil tidal boleh di takwil kecuali karna adanya dalil kemudian dasar perbedaan
antara yang jelas dalalahnya dan yang tidak jelas dalalahnya adalah maknanya
yang di maksud dalalah nash itu sendiri melalui cara memperhatikan faktor luar
atau tidak.
[1]
Prof. Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (terjemahan), Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 118
[2] Ibid.,
hlm. 121
[3] Ibid.,
hlm. 124
[4]
Prof. Dr. Mukhtar Yahya, dan Prof. Drs. Fatchur Rohim, Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqih Islami, Bandung
: PT. al-Ma’arif, 1986, hlm. 268
[5] Ibid.,
hlm. 269
[6] Ibid.,
hlm. 271
[7]
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : PT. Gema Risalah Press, 1996, hlm.
165
[8]
Prof. Dr. Mukhtar Yahya, dan Prof. Drs. Fatchur Rohim, op.cit., hlm. 276
[9]
Ibid hal 277
[10] Ibid.,
hlm. 281
[11]
Prof. Muhammad Abu Zahra, op.cit., hlm. 121
[12]
Prof. Dr. Mukhtar Yahya, dan Prof. Drs. Fatchur Rohman, op.cit., hlm.
293
[13] Ushul
at-Tasri il Islami, Ali Hasballah, hlm. 261 jo. Ilmu Ushul Fiqh, Abdul
Wahab Kholaf, hlm. 176
0 comments:
Post a Comment