Perkawinan di
dalam Islam merupakan suatu yang sakral yang mana Allah telah menciptakan
manusia itu sendiri dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku,
berbangsa-bangsa untuk saling litaarafu. Islam adalah agama yang fitrah
yang condong pada kebenaran, Islam tidak membuat aturan tentang kafa’ah tetapi manusianyalah
yang menetapkannya karena itulah mereka berbeda pendapat tentang hukum kafa’ah
dan pelaksanaannya.
Diantara ulama ada yang merobek-robek baik disukai atau tidak disukai
aturan ini karena mereka berpegangan pada firman Allah surat at-Taubah ayat 71, yaitu:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain”.
1.
Pengertian
Kufu’ berarti sama, sederajat, sepadan/sebanding dengan maksud isterinya,
sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak
serta kekayaan. Tidaklah diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan
perempuan sebanding akan merupakan faktor kebahagiaan hidup suami istri dan
lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan / kegoncangan rumah tangga.[1]
2.
Hukumnya
Pernikahan itu tetap sah menurut hukumnya, walaupun tidak sepadan /
sebanding antara suami dan istri, hanya hak wali dan perempuan yang
bersangkutan untuk mencari jodoh yang sepadan. Dengan arti bahwa keduanya boleh
membatalkan akad nikah andaikata itu tidak berpadanan. Dan boleh pula keduanya
menggugurkan haknya, keseimbangan/kesepadanan yang dimaksud disini, artinya
yang dituntut oleh agama, meliputi beberapa perkara:
a.
Agama
b.
Kemerdekaan
c.
Iffad
d.
Keturunan (bangsa)
e.
Akhlak dan perangai yang baik
f.
Aib
g.
Umur.[2]
Islam adalah agama fitrah yang condong kepada kebenaran, Islam tidak
menurut membuat aturan tentang kafa’ah tetapi manusia yang menetapkannya,
karena itulah mereka berbeda pendapat tentang hukum kafa’ah dan pelaksanaannya,
diantara ulama ada yang merobek-robek aturan ini, baik disukai / tidak,
terutama sekali waktu seperti sekarang.
وَلَوْ
كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Kiranya Al-Quran
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya”. (an-Nisa’: 82)
Ibnu Hazm pemuka madzhab zhahiriyah, yang dikenal
sebagai mujtahid mutlak tidak mengakui adanya kafa’ah dalam perkawinan. Ia
berkata “setiap muslim selama tidak melakukan zina boleh kawin dengan
perempuan muslimah, siapapun orangnya asal bukan perempuan pezina”.
Semua orang Islam ada saudara. Tidaklah haram perkawinan seorang budak
hitam dari Ethiopia
dengan perempuan keturunan khalifah Hasyim. Seorang muslim yang kelewat fasik,
asal tidak berzina adalah kufu bagi muslimah yang fasik asalkan perempuan itu
tidak berzina, beralasan dengan firman Allah :
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara” (al-Hujurat : 10)
Firman Allah ini ditujukan untuk segenap kaum muslimin.
فَانكِحُواْ
مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء
“Kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi” (an-Nisa’: 3)
Allah SWT juga menjelaskan wanita-wanita yang haram kita kawin kemudian
diterangkan pula:
وَأُحِلَّ
لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ
“Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (mahrom)” (an-Nisa’ 24)
Rasulullah SAW pernah mengawinkan Zainab Ummul
mukminin dengan Zaid bin Haritsah pelayan Rasul. Beliau juga pernah mengawinkan
al-Miqdad dengan Dhiba’ah bin Zubair bin Abdul Muthalib. Ada orang yang berpendapat bahwa laki-laki
fasik tidak boleh kawin kecuali dengan wanita fasik. Pendapat ini tidak benar,
Allah berfirman:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara” (al-Hujurat : 10)
وَلَوْ
كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Kiranya Al
Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya”. (an-Nisa’ 82)[3]
3.
Ukuran Kufu’
Segolongan ulama berpendapat bahwa soal kufu’ perlu diperhatikan, tetapi
yang menjadi ukuran kufu’ ialah sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan dengan
ukuran keturunan, pekerjaan, kekayaan dan lain-lain. Jadi seorang laki-laki
yang sholeh walaupun keturunannya rendah berhak untuk kawin dengan wanita yang
berderajat tinggi, laki-laki yang mempunyai kesabaran apapun berhak kawin
dengan wanita yang mempunyai kesabaran dan kemasyhuran. Bagi perempuan sholeh
jika dikawinkan oleh bapaknya dengan laki-laki yang fasik kalau perempuannya
masih gadis dan dipaksa oleh orang tuanya maka ia berhak untuk menuntut
pembatalan.
Dalam Bidayatul Mujtahid, dalam madzhab Maliki tidak ada perbedaan
pendapat jika seorang gadis dikawinkan oleh bapaknya dengan laki-laki peminum khamr
atau laki-laki yang fasiq maka ia berhak untuk menolak perkawinannya, begitu
pula jika ayahnya mengawinkan gadisnya dengan laki-laki yang penghasilan haram
atau dengan laki-laki yang suka menjalani untuk perceraian, maka bagi perempuan
tersebut berhak untuk membatalkan. Alasan golongan Maliki ini adalah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu” (al-Hujurat: 13)
4.
Siapa yang Menentukan
Ukuran ke-Kufu’an
Yang menentukan ukuran kufu’ itu adalah laki-laki dan bukan perempuan, laki-laki
yang dikenai persyaratan itu hendaknya ia kufu’ dan setaraf dengan
perempuannya, dan bukan sebaliknya, yaitu perempuannya yang harus kufu’ dengan
laki-laki.
5.
Kufu’ kah bagi Perempuan
dan Walinya
Kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwa kufu adalah hak bagi perempuan dan
walinya. Jadi seorang wali tidak boleh mengawinkan perempuan dengan laki-laki
yang tak kufu’ dengannya, kecuali dengan ridhanya dan ridha segenap walinya.
Sebab mengawinkan perempuan dengan laki-laki yang tidak kufu’ berarti memberi
aib kepada keluarganya. Karena itulah hukumnya tidak boleh kecuali para walinya
ridha.
6.
Waktu Mengukur Kufu’
Kufu’ diukur ketika berlangsungnya akad nikah. Jika selesai akad nikah
terjadi kekurangan-kekurangan, maka hal itu tidaklah mengganggu dan tidak dapat
pula membatalkan apa yang sudah terjadi itu sedikitpun, serta tidak
mempengaruhi hukum akad nikah. Karena syarat-syarat perkawinan hanya diukur
ketika berlakunya akad nikah, jika pada waktu berlakunya akad nikah, suami
pekerjaannya mulia dan mampu memberi nafkah istrinya atau orang yang shaleh,
kemudian dibelakang hari terjadi perubahan, umpamanya pekerjaannya kasar atau
tidak mampu lagi memberi nafkah, atau setelah kawin berbuat durhaka kepada
Allah, maka akad nikahnya tetap sah seperti sebelumnya.[4]
7.
Pembagian Waktu
Masing-masing istri “bagi orang yang berbilang istri” hendaklah
dipisah-pisahkan tempat kediaman mereka itu, masing-masing menempati sebuah
rumah, rumah itu pun harus sama, kecuali kalau mereka sama-sama ridha dan
ikhlas ditempatkan dalam sebuah rumah saja.
Pembagian waktu diantara istri-istri itu hendaklah sama dan betul
dilakukan; baik yang mempunyai kediaman di dalam sebuah rumah maupun
masing-masing berumah sendiri-sendiri.
Kalau kiranya seorang suami diam dalam sebuah rumah terpisah dari
istrinya, hendaklah pertemuan suami dengan istri itu pun dilakukan dengan seadil-adilnya.
Umpamanya bila seorang istri dipanggil ke rumahnya, maka yang lain pun
hendaklah didatangi pula ke rumahnya.
Maka diam suami dengan istrinya hendaklah sama lamanya; sekurang-kurangnya
masa pembagian itu semalam, dan sebanyak-banyaknya tiga malam. Pendek kata,
wajib atas suami bersifat seadil-adilnya terhadap istri-istrinya kecuali kalau
dengan ridha yang sungguh-sungguh dari pihak istri.
Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلىالله عليه وسلم قال : مَنْ كَانَتْ لَهُ مَرَاتَانِ
فَمَالَ اِلَى اَحَدِهُمَا دُوْنَ اْلاُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ
مَائِلٌ {رواه احمد والاربعة}
“Barang siapa beristri 2
sedangkan dia lebih mementingkan salah seorang dari keduanya, dia akan datang
nanti di hari kiamat sedang pinggangnya (rusuknya) cenderung (bungkuk)”.
(HR. Ahmad dan empat orang ahli hadits).[5]
KESIMPULAN
Kafa’ah dalam
perkawinan itu ada yang membolehkan dan ada yang tidak setuju, menurut Ibnu
Hazm pemuka madzhab zhahiriyah yang dikenal sebagai mujtahid mutlak tidak
mengakui adanya kafa’ah dalam perkawinan, dan ulama Malikiyah mengakui adanya
kafa’ah, tetapi menurut mereka kafa’ah hanya sifat istiqamah dan budi pekerti
saja, kafa’ah bukan hanya nasab atau keturunan, bukan perusahaan atau
kekayaannya.
[1]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, PT. al-Ma’arif, Bandung, 1997, hal. 36
[2] H.
Idris Ahmad, Fiqih Menurut Madhab Syafi’i, Widjaya Djakarta, 1969, hal.
173-177.
[3]
Agus Salim, Risalah Nikah, Pustaka Amani, Jakarta, 1989, hal. 98-99.
[4]
Sayyid Sabiq, op.cit., hal. 37-50
[5]
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, CV. Sinar Baru, Bandung, cet. 22, 1989, hal. 364
0 comments:
Post a Comment