Franz Magnis
Suseno (1999:82) menegaskan bahwa apa yang dimaksud dengan pandangan dunia Jawa
ialah pandangan secara keseluruhan semua keyakinan deskriptif tentang realita
kehidupan yang dialami oleh manusia sangat bermakna dan diperoleh dari berbagai
pengalaman.
Bahkan Mulder
(1973:36) mengatakan, dalam buku Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional,
bahwa pandangan dunia Jawa terhadap pekerjaan, interaksi dan data tidak
memiliki perbedaan prinsip yang hakiki.
Robert Jay
(1963:4) juga menjelaskan bahwa orang lebih banyak mempunyai perhatian terhadap
dunia demi dunia sini daripada sebaliknya.
Pada orang
Jawa (Suseno, 1999:82), keadaannya berbeda sekali dengan orang Eropa jaman kini,
karena teori dan praktek tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Suseno
(1999:83) lebih lanjut membahas tentang perlunya memperhatikan pandangan dunia
Jawa, sebab pandangan itu bukan merupakan pandangan dunia dengan ciri-ciri dan
bakat-bakat yang pasti, melainkan merupakan suatu penghayatan yang terungkap
dalam berbagai lapisan masyarakat dalam wujud dan nada yang berbeda.
Itulah
sebabnya Suseno perlu menjelaskan bahwa dalam pandangan dunia Jawa ada 4
lingkaran bermakna, yaitu pertama, lingkaran yang lebih bersifat ekstrovert.
Lingkaran
kedua, memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinous
(ukhrawi, adikodrati) yang oleh Clifford kurang diperhatikan, tetapi oleh Anderson (1972:69)
diungkapkan bahwa hal itu sangat berpengaruh.
Lingkaran
ketiga, berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persatuan dengan
yang maha kodrati. Lingkaran keempat adalah penentuan semua lingkaran
pengalaman oleh yang Ilahi, oleh takdir. (Suseno, 1999:84).
Alam Numinus
dan Dunia
Kata Numinus
berasal dari kata bahasa Latin numen yang artinya cahaya, Inggris:
Numinous, dan Arab: Nur. Geertz (1969:118) menjelaskan secara panjang lebar,
tetapi intinya mengandung terjemahan “Yang Ilahi”, “Yang Kodrati”.
Kesatuan
Numinus antara Masyarakat, Alam dan Alam Adi Kodrati
Masyarakat
sebagai perwujudan kumpulan keluarga yang besar, terjadinya mula-mula dari
keluarga kecil (sendiri), keluarga tetangga, baik dekat maupun yang jauh dan
akhirnya seluruh desa.
Petunjuk seperti
itu (Akkeren, 1970:16) memberikan penjelasan bahwa desa mendapatkan kesempatan
untuk mengambil bagian dalam pengalaman dimensi adi kodrati masyarakat,
dihadirkan ketujuan mistik masyarakat dan kosmos yang dalam berbagai konflik tetap
terjaga.
Tempat untuk
Mencapai Keselamatan
Suseno
membahas bahwa apa orang Jawa mengenal 2 tanda yang tidak dapat salah, yaitu
bersifat sosial dan psikologis. Ditingkat psikologis oleh Suseno kutipan dari
Mulder (1970:45) rasa ketenangan batin, ketiadaan rasa kaget dan kebebasan dari
ketegangan emosional merupakan tanda, bahwa semuanya beres.
Raja sebagai
Pemusatan Kekuasaan Kosmis
Willner
(1961:308) mengungkapkan bahwa kekacauan dan kebejatan moral disebut sifat
kasar.
Oleh Jay
(1963:4) diceritakan bahwa raja-raja Majapahit menghabiskan sebagian waktunya
dengan berziarah ke candi-candi untuk beribadat kepada para dewa dan untuk
memperoleh bagian dalam kekuatan gaib para nenek moyang yang dimakamkan.
Keraton
sebagai Pusat Kerajaan Numinus
Heine-Goldern
(1963:7) mengatakan bahwa keraton bukan hanya proses politik dan budaya, tetapi
juga merupakan pusat keramat kerajaan.
Menurut
Anderson (1972:22) pandangan keraton sebagai pusat keramat kerajaan menentukan
paham negara Jawa.
0 comments:
Post a Comment