Indonesia
sebagai sebuah negara hukum sangat menjunjung tinggi akan pelaksanaan hukum
secara universal. Hukum mengenai kewarisan (hak kebandaan) mendapat porsi dalam
hukum di Indonesia.
Dalam hal ini terdapat kajian yang agak berbeda mengenai suatu ketentuan hukum
yang diatur dalam hukum Islam (hukum agama) dan hukum Perdata (hukum Nasional).
Kalau dilihat dari sumber hukum mengenai warisan, untuk hukum perdata mengacu
pada KUH Perdata buku ke-II mengenai benda. Sedangkan dari hukum Islam mengacu
pada al-Qur’an surat
an-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176. Dari kedua sumber yang berbeda tersebut,
tentulah pelaksanaannyapun berbeda pula. Disini akan kita coba untuk melihat
sejauhmana perbedaan yang ada, terkait dengan masalah penyebab dan penghalang
mewarisi.
A.
Penyebab dan Penghalang
Mewarisi dalam Perspektif Hukum Islam
Salah satu yang terpenting dalam mempelajari hukum waris Islam adalah
menyangkut waris yang secara gramatikal berarti “yang ditinggal atau yang kekal”,
berarti orang-orang yang berhak untuk menerima pusaka dari harta yang
ditinggalkan oleh si mati dan diistilahkan dengan “Ahli Waris”.
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam sebab seseorang itu mendapat
warisan dari si mayit dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.
Hubungan perkawinan
b.
Hubungan kekerabatan
c.
Hubungan memerdekakan budak
d.
Hubungan agama (sesama Islam)[1]
Ketika penyebab kewarisan ini dikemukakan Ahmad Azhar, sementara Fatchurrahman
dan Mahmud Yunus hanya mencakup pada tiga penyebab, Ali Hasan mengemukakan dua
penyebab.[2]
Memang pada prinsipnya sebab-sebab mewarisi ada empat macam, tetapi dalam kasus
tertentu dan waktu serta geografis tertentu bisa dicukupkan pada dua macam
saja.
a.
Hubungan kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris
dengan ahli waris yang disebabkan oleh faktor kelahiran. Dalam kedudukan hukum
Jahiliyah, kekerabatan menjadi sebab mewarisi adalah terbatas pada laki-laki
yang telah dewasa, kaum perempuan dan anak-anak tidak mendapat bagian. Setelah
Islam datang merevisi tatanan Jahiliyah, sehingga kedudukan laki-laki dan
perempuan sama dalam mewarisi, tak terkecuali pula anak yang masih dalam
kandungan.
Adapun dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan bahwa
laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama :
لِلرِّجَا لِ
نَصِيْبٌ مِّمَا تَرَكَ اْلوَالِدَ ا تِ وَاْلاَ قْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَإِ نَصِيْبٌ
مِّمَا تَرَكَ
اْلوَالِدَ تِ وَاْلاَ قْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَ وْكَثُرَ نَصِيْباُ مَفْرُوْضًا
(النسإ : 7)
“Bagi anak
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut yang telah ditentukan”.
وَاُ وْلُوْاْلاَرْحَا مِ يَعِضُهُمْ اَ
ْو لى بِبَعْضٍ فِى كِتَا بِ الله (الاتفار: 78)
“Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
di dalam kitab Allah”.
b.
Hubungan perkawinan
(al-Mushaharah)
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum
saling mewarisi antara suami dan istri. Kriteria suami istri tetap saling
mewarisi disamping keduanya telah melakukan akad nikah secara syah menurut
syariat, juga antara suami istri belum terjadi perceraian ketika salah seorang
dari keduanya meninggal dunia.[3]
Adapun kedudukan istri-istri yang dicerai raj’i
dan suami lebih berhak untuk merujuknya (perceraian pertama dan kedua) selama
masa iddah, maka iapun berhak menerima warisan.[4]
Selain salah seorang dari suami istri menerima pusaka
dari yang lain, walaupun belum terjadi percampuran.[5]
c.
Hubungan memerdekakan
budak (wala’)
Al-Wala’ adalah hubungan kewarisan akibat
seseorang memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong,
namun sepertinya sebab hubungan memerdekakan budak ini jarang dilakukan atau
malah tidak ada sama sekali.
Adapun para fuqaha membagi hubungan wala’ menjadi
2 bagian:
1.
Walaaul ‘Itqi atau hubungan
antara yang memerdekakan (mu’tiq) dengan yang dimerdekakan (‘atieq)
Menurut jumhur fuqaha menetapkan bahwa walaaul ‘itqi merupakan
sebab menerima pusaka, hanya golongan Khawarij yang tidak membenarkan hal itu.
2.
Walaaul Muwalah, yaitu
hubungan yang disebabkan oleh sumpah setia. Menurut golongan Hanafiyah dan
Syi’ah Imamiyah dipandang sebagai sebab mewarisi, sedang menurut jumhur ulama
tidak termasuk.[6]
Adapun bagian orang yang memerdekakan budak (hamba
sahaya) adalah 1/6 harta peninggalan. Namun kondisi modern ini, dengan tidak
adanya hamba sahaya, maka secara otomatis hubungan al-Wala’ pun hapus dari hal
ini merupakan keberhasilan misi Islam.
Selain hal-hal yang menyebabkan adanya hak untuk
mewarisi, maka sebaliknya pula ada beberapa yang menghalangi seseorang untuk
menerima warisan. Adapun hal-hal yang menghalangi seseorang mendapatkan warisan
dalam hukum Islam adalah sebagai berikut: 1) Karena halangan kewarisan dan 2) Karena
adanya kelompok keutamaan dan hijab[7]
Karena halangan kewarisan
a.
Pembunuhan
Islam adalah agama yang sangat menjunjung prinsip
kemanusiaan sehingga secara tegas melarang adanya pembunuhan. Dalam kaitannya
dengan hak waris mewarisi, maka orang yang membunuh pewaris ia tidak mendapat
hak mewarisi dari pewaris tersebut. Hal ini terdapat dalam hadits Rasul:
لَيْسَ لِقَا تِلٍ مِرَا ثٌ (
رواه ملك وا حمد عن عمر)
“Tak ada pusaka bagi si pembunuh”.
Adapun mengenai jenis pembunuhan yang menjadi
penghalang kewarisan, diantara fuqaha terjadi perbedaan pendapat. Jenis-jenis
pembunuhan disini ada lima,
yaitu pembunuhan secara hak dan tidak berlawanan hukum, pembunuhan dengan
sengaja dan terencana (tanpa adanya hak), mirip disengaja (seperti sengaja),
dan pembunuhan khilaf.
Dari jenis-jenis pembunuhan tersebut ada perbedaan pendapat diantara
fuqaha:
Ø
Syafi’i : Ke-5 pembunuhan tersebut menjadi
penghalang kewarisan.
Ø
Malikiyah : Jenis yang menghalangi kewarisan hanya
terbatas pada pembunuhan yang disengaja, pembunuhan mirip sengaja, dan
pembunuhan tak langsung.
Ø
Hanafiyah : Yang menghalangi yaitu: pembunuhan dengan
sengaja, mirip sengaja, karena khilaf, dan pembunuhan dengan khilaf.
Ø
Hanabilah : Pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan mirip
sengaja, karena khilaf, dianggap khilaf, pembunuhan langsung, dan pembunuhan
yang dilakukan oleh orang yang belum mukalaf.[8]
b.
Beda agama
Berlainan agama menjadi penghalang mewarisi yaitu
apabila ahli waris atau muwaris salah satunya non muslim.
Dasar hukumnya:
لا َيَرِثُ اْلمُسْلِمُ اْلكَا فِرَوَالاَاْلكَا
فِرُ اْلمُسْلِمُ (متفق عليه)
“Orang
Islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta
orang Islam”.
Nabi pun telah mempraktekkan pembagian warisan dimana
perbedaan agama menjadi penghalang mewarisi, yaitu pembagian waris dari Abu
Thalib. Adapun yang menjadi pertimbangan apakah antara ahli waris dan muwaris
beda agama atau tidak adalah pada saat muwaris meninggal.
c.
Pembudakan (al-‘Abd)
Bukan karena status kemanusiaannya sehingga perbudakan
menjadi penghalang mewarisi, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai
hamba sahaya. Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk
menerima warisan karena dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Firman
Allah:
ضَرَبَ الله مَثَلاً عَبْدًا مَمْلُوْكًالاَيَقْدِ
رُعَلَى شَيْئٍ (النحل : 75)
“Allah
telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya) yang dimiliki yang
tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun (an-Nahl 75, misi Islam kenapa
perbudakan menghalangi hak) mewarisi, karena Islam sangat menganjurkan setiap
budak untuk dimerdekakan”.
d.
Berlainan negara
Berlainan negara yang menjadi penghalang mewarisi
adalah apabila antara ahli waris dan muwarrisnya berdomisili di negara yang
berbeda kriterianya. Apabila kedua negara tersebut muslim, maka tidak menjadi
penghalang mewarisi.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa meskipun negaranya berbeda tapi apabila
sama-sama negara muslim, maka tidak menjadi masalah.
Karena adanya kelompok keutamaan dan hijab
Waris Islam mengenai pengelompokan ahli waris kepada
beberapa kelompok keutamaan, misal:
-
Anak lebih utama daripada cucu
-
Ayah lebih dekat kepada si anak
daripada kakek. Kelompok keutamaan ini juga dapat disebabkan kuatnya hubungan
kekerabatan, misal:
-
Saudara kandung lebih utama dari
saudara seayah atau seibu
-
Saudara seayah dan seibu hanya
dihubungkan oleh satu garis penghubung, yaitu ayah atau ibu saja.
B.
Penyebab dan Penghalang
Mewarisi dalam Perspektif Hukum Perdata
Hukum waris perdata diatur dalam buku kedua yaitu tentang kebendaan
dalam pasal 830, yakni “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Menurut
pasal ini rumusan atau definisi hukum waris mencakup masalah yang begitu luas.
Pengertian yang dapat dipahami yaitu bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka
seluruh hak dan kewajibannya beralih atau berpindah kepada ahli warisnya.[9]
Berdasarkan pasal 830 KUH Perdata, terdapat beberapa definisi
hukum waris dari para ahli hukum:
1.
Prof. Ali Afandi, SH
“Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan dimana berhubungan
dengan meninggalnya seseorang akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan di
atas, yaitu: akibat dari peralihannya harta peninggalan dari seorang yang
meninggal kepada ahli waris”.
2.
Menurut Geillu Steerde Encylopaedy
“Hukum waris ialah seluruh peraturan yang mengatur pewarisan, menentukan sejauhmana
dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan hukum dari seseorang yang telah meninggal
dunia pindah kepada orang lain dan itu bisa diteruskan oleh keturunannya.
·
Penyebab Mewarisi
Adapun mengenai
pembagian waris perdata, maka menurut UU ada dua cara:
a.
Sebagai ahli waris menurut
ketentuan UU.
b.
Karena ditunjuk dalam surat wasiat.[10]
Untuk cara yang pertama disebut mewarisi menurut UU (ab
intestato) sedang cara yang kedua dinamakan mewarisi secara
testamensair.
Pada pewarisan menurut UU terdapat pengisian tempat (plaatsveruulling)
artinya apabila ahli waris yang berhak langsung menerima warisan telah
mendahului meninggal atau karena sesuatu hal tidak patut menjadi ahli waris,
maka anak-anaknya berhak menggantikannya menjadi ahli waris.
Menurut UU pembagian waris, menetapkan adanya keluarga
sedarah yang berhak mewaris dan keberadaan suami atau istri (yang hidup paling
lama) dengan pewaris. Mereka yang berhak menjadi pewaris ada empat golongan:[11]
a.
Golongan pertama
Terdiri dari anak atau keturunannya dan janda atau duda yang jumlah
bagiannya ditetapkan dalam pasal 852 (a, b) dan 515 KUH Perdata.
b.
Golongan kedua
Terdiri dari orang tua (bapak atau ibu), saudara-saudara atau
keturunannya. Sedang jumlah bagiannya ditetapkan dalam pasal 854, 855, 856, 856
KUH Perdata.
c.
Golongan ketiga
Terdiri dari kakek dan nenek atau leluhur dalam garis lurus ke atas yang
jumlah bagiannya ditetapkan dalam pasal 853, 858 (1) KUH Perdata.
d.
Golongan keempat
Ahli warisnya sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat
ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan dalam pasal 856 (2), 861, 832 (2),
862-866 KUH Perdata.
Karena adanya sistem plaatsvervulling, maka
secara otomatis apabila ahli waris golongan ke-1 sudah meninggal, maka hak
kewarisan jatuh pada golongan ke-2 dan seterusnya. Dan hal inilah yang
membedakan sistem pembagian waris Islam.
Sedangkan mengenai pembagian waris menurut hukum
Perdata, karena disebabkan oleh penunjukan dalam wasiat. Pewarisan berwasiat
yaitu pembagian warisan kepada orang-orang yang berhak menerima warisan atas
kehendak terakhir (wasiat) si pewaris.[12]
Wasiat ini harus dinyatakan dalam bentuk tulisan misalnya dalam akte notaris
(warisan testamenter).
Jadi pewarisan perdata disini juga memberikan
kebebasan kepada pewaris untuk menunjuk seseorang (berwasiat) baik itu keluarga
sendiri atau bukan untuk dijadikan pewaris, dan pembagian warisan seperti ini
pula tidak terdapat dalam pewarisan Islam, karena dalam pewarisan Islam wasiat
berdiri sendiri di luar ahli waris.
·
Halangan Mewarisi
Dalam hukum perdata terdapat orang-orang yang tidak
pahit (tidak pantas) menerima warisan. Orang-orang ini adalah orang-orang
mempunyai pertalian darah dengan pewaris, tetapi karena perbuatannya tidak
patut menjadi waris. Adapun orang-orang yang terhalang untuk mewarisi dimuat
dalam pasal 838 dan pasal 912 KUH Perdata.
Menurut pasal 838 orang yang terhalang mewarisi adalah:
1)
Mereka yang telah dihukum (telah
ada keputusan hakim) karena mencoba membunuh pewaris.
2)
Mereka yang dengan keputusan hakim
dipersalahkan dengan fitnah mengajukan pengaduan terhadap pewaris tentang
sesuatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun lamanya.
3)
Mereka yang dengan kekerasan telah
mencegah pewaris membuat atau mencabut testament.
4)
Mereka yang telah menggelapkan
merusak atau memalsu testament pewaris.[13]
Disamping itu Undang-Undang juga mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan anak dan pergantian mawaris bagi seseorang yang tidak patut
(tidak pantas) menjadi ahli waris (pasal 840-848) KUH Perdata.
Misal: pasal 840, anak dari seseorang yang telah dinyatakan tak patut
menjadi waris atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka
tidaklah mereka karena kesalahan orang tuanyalah yang tidak boleh ikut
menikmati.
PENUTUP
Dari uraian panjang tersebut, maka kita dapat melihat antara dua sisi
hukum yang berbeda yang dianut oleh negara Indonesia. Dimana orang Islam tunduk
pada hukum kewarisan Islam sedang orang non Muslim tunduk pada hukum perdata
(KUH Perdata).
Adapun hal-hal secara garis besar dalam kewarisan Islam dengan perdata
adalah sebagai berikut:
|
Kewarisan Islam
|
Kewarisan Perdata
|
Penyebab
|
-
Hubungan perkawinan
-
Hubungan kekerabatan
-
Hubungan memerdekakan budak
-
Hubungan agama
|
-
Ditentukan dalam UU (4 golongan)
-
Karena ditunjuk dalam surat wasiat
|
Penghalang
|
-
Membunuh pewaris
-
Beda agama
-
Perbudakan
-
Berlainan negara
-
Karena adanya kelompok keutamaan dan hijab
|
-
Membunuh/mencoba membunuh pewaris
-
Dengan putusan hakim dipersalahkan (pengaduan pewaris)
-
Orang yang mencegah dalam perbuatan surat wasiat
-
Orang yang menggelapkan / merusak surat wasiat
|
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta,
1997
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, Fiqh
Mawaris, Semarang:
Pustaka Rizqi Putra, 1997
Ghofur Anshori, Abdul, Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Ekonisia, 2002
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Balai
Pustaka, 1989
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Simanjuntak, Komis, Suhrawardi K.
Lubis, Hukum Waris Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 1999
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Internusa, 1995
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak,
Hukum Waris Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 1992
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem
Bilateral, Jakarta:
Rineka Cipta, 1991.
[1]
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
1999, hlm. 53.
[2]
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia, 2002, hlm. 25.
[3] Ibid,
hlm. 29.
[4]
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 1997, hlm. 30.
[5]
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 45.
[6]
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, hlm. 33.
[7]
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
1992, hlm. 53.
[8]
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: 2002, hlm. 33
[9]
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hlm. 12
[10]
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Internusa, 1995, hlm. 95
[11]
Sudarsono, Op.cit, hlm. 66
[12]
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1989, hlm. 255.
[13]
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta,
1997, hlm. 52.
0 comments:
Post a Comment