Tiap rencana harus mempunyai tujuan agar diketahui apa yang harus
dicapai. Tujuan juga memberi pengajaran apa yang harus dilakukan, bagaimana
cara melakukannya. Tujuan juga merupakan patokan untuk mengetahui hingga mana
tujuan itu telah dicapai.
Apalagi dalam pengembangan kurikulum mengenai nasib jutaan anak, tujuan
itu sangat penting yang harus di tanggapi secara serius. Dalam perencanaan
kurikulum dewasa ini, perumusan terhadap perumusan tujuan merupakan ciri yang
paling menonjol. Kita ketahui bahwa kurikulum 1997 dinyatakan berorientasi pada
tujuan. Ini tidak berarti bahwa sebelumnya tujuan itu tidak dipertimbangkan
dalam pendidikan dan pengajaran.
Masalah tujuan dalam kurikulum bahkan dalam tiap penerimaan pelajaran
sejak dulu sesuatu yang lazim. Namun aspek tujuan dalam pengembangan kurikulum
menonjol, karena usaha untuk mengkhususkan tujuan itu, sehingga jelas. Dalam
hal ini tokoh-tokoh seperti Ralph Tyler (1949) dan Benyamin Bloom (1956) mempunyai
pengaruh yang besar sekali.[1]
Tujuan kurikulum tiap satuan pendidikan harus mengacu kearah pencapaian
tujuan pendidikan nasional, sebagaimana telah dititipkan dalam UU No. 2 tahun
1989 tentang Sisdiknas.
Dalam skala yang lebih luas, kurikulum merupakan alat pendidikan dalam
rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Kurikulum memberikan
kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk mengalami proses pendidikan dan
pembelajaran untuk mencapai tingkat tujuan pendidikan nasional khususnya, dan
sumber daya manusia yang berkualitas umumnya.[2]
PEMBAHASAN
Dalam menentukan kurikulum dan membuat perumusan kurikulum haruslah
melihat kebutuhan masyarakat dan pangsa pasar yang ada. Dalam bukunya Peter F. Olivia,
dijelaskan mengenai penentuan kategori kebutuhan diklasifikasikan menjadi
empat, dilihat dari:
1.
Tingkat Kebutuhan Siswa
Pada klasifikasi ini dibedakan dalam beberapa tingkat, yaitu:
-
Tingkat kebutuhan individu (Human
– manusia umumnya)
-
Tingkat kebutuhan negara atau
nasional
-
Tingkat propinsi atau kabupaten
atau kota
-
Tingkat masyarakat (lingkungan
sekitar)
-
Tingkat sekolah
-
Tingkat individual atau personal
(pribadi)
2.
Tipe Kebutuhan Siswa
Penentuan kategori kebutuhan siswa dilihat dari tipe atau bentuknya,
dibedakan menjadi:
-
Fisik (Hal-hal yang berkaitan
dengan biologis manusia, seperti makan, minum, dan lain-lain)
-
Sosio psikologi (Hal-hal yang
berkaitan dengan hubungan interaksi sosial dan kebutuhan psikologis atau
kejiwaan)
-
Pendidikan (Fokus pada pertumbuhan
dan perkembangan siswa, terutama pada aspek physic dan sosio-psikologi)
-
Developmental Tasks (maksudnya
individu seharusnya menjadi independent dan responsible terhadap perkembangan
lokal terkait dengan peningkatan status sosial atau job social)
3.
Tingkat Kebutuhan Masyarakat
Dalam level ini Need Assessment, dibedakan dalam beberapa tingkat,
yaitu:
a.
Human
b.
Internasional
c.
Nasional
d.
Negara
e.
Masyarakat atau komunitas
f.
Lingkungan tempat tinggal
4.
Tipe-Tipe Kebutuhan
Beberapa tipe kebutuhan sosial (masyarakat) yang mempunyai indikasi
terhadap kurikulum, yaitu:
a. Politik e. Lingkungan
b. Sosial f. Pertahanan dan keamanan
c. Ekonomi g. Kesehatan
d. Pendidikan h. Moral dan spiritual
Conducting A Needs Assessment
Definisi simple (sederhana) dan sebuah penetapan kebutuhan kurikulum
adalah sebuah proses untuk mengidentifikasi kebutuhan yang bersifat progresif
yang harus diarahkan oleh perancang kurikulum.[3]
Needs assessment
is a process of defining the desired end (or discome product or result) of a
giver sequence of curriculum development.
Dijelaskan pula oleh Prof, Dr. S. Nasution, bahwa dalam penentuan
kategori kebutuhan dibagi menjadi dua, yakni kebutuhan siswa atau anak dan
masyarakat. Kurikulum yang sehat tidak mungkin direncanakan tanpa
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan anak. Ada kurikulum yang semata-mata didasarkan
pada kebutuhan anak yang disebut “child – centered curriculum”. Ditinjau
dari sudut-sudut psikologis didaktis kurikulum serupa ini mempunyai segi-segi
yang baik, sebab apa yang diajarkan sesuai dengan keinginan dan minat anak.
Anak-anak diikutsertakan dalam menentukan apa yang ingin mereka pelajari.
Bermacam-macam caranya untuk membagi kebutuhan anak, salah satu cara yang sederhana
ialah membaginya atas:
a.
Kebutuhan jasmaniah
Setiap anak ingin bergerak dan menggunakan bidangnya. Anak-anak suka
berlari-lari, melompat-lompat, memanjat-manjat, dan melakukan
aktifitas-aktifitas jasmaniah lain. Kebutuhan ini dipenuhi dengan memberikan
pendidikan jasmaniah. Dalam arti modern, pendidikan jasmani bertujuan mendidik
manusia, yakni mewujudkan tujuan pendidikan dengan menggunakan kejasmanian
sebagai titik bertolak, akan tetapi tujuan khusus yaitu membentuk manusia yang
sehat dan kuta merupakan aspek yang penting pula.
b.
Kebutuhan pribadi
Anak-anak mempunyai dorongan untuk memuaskan keinginan untuk mengetahui
sesuatu untuk menyatukan pikiran dan perasaannya dengan jalan bahasa,
pekerjaan, lukisan, seni suara atau gerak gerik. Setiap anak ingin diakui dan
dihormati sebagai individu yang mempunyai tempat dan hak dalam masyarakat
sekolah, rumah tangga, dan dunia sekitarnya. Dorongan ini mudah kita lihat pada
setiap anak, di sekolah dorongan ini sering didukung dan ditekan agar
murid-murid tidak melanggar disiplin. Kebebasannya dibatasi oleh hak-hak orang
lain yang juga merupakan haknya, yakni: kelas itu dijadikan semacam
laboratorium atau ruang kerja dimana anak-anak belajar dalam suasana yang lebih
leluasa.
c.
Kebutuhan sosial
Membimbing anak agar ia menjadi makhluk sosial ialah suatu fungsi sekolah
yang amat penting. Bila ini kita ketahui, maka kita memfungsikan manfaat cara
yang dipakai sekolah yang memaksakan murid-murid duduk diam, melarang mereka
memberikan pelajaran serta membantu dalam memecahkan suatu soal. Di sekolah
lebih diutamakan persaingan daripada gotong royong. Sekolah harusnya dijadikan
suatu masyarakat tempat murid-murid mempraktekkan hak dan kewajiban
anggota-anggota manusia yang demokratis. Human relationship atau
hubungan antar manusia mendukungnya harus lebih dipentingkan di sekolah.[4]
Kebutuhan yang kedua adalah kebutuhan masyarakat. Masyarakat manusia
berubah dan terus menerus akan berubah. Masyarakat kita sekarang jauh berlainan
daripada masyarakat nenek moyang kita dan berlainan pula dengan masyarakat yang
akan dihadapi oleh anak cucu kita pada masa depan, segala perubahan itu sedikit
banyak mempengaruhi cara hidup dan cara berfikir manusia. Karena kemajuan dalam
lapangan pengangkutan dan perhubungan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknik
dapat juga mengandung bahaya, apabila disalahgunakan. Sekolah tidak dapat
menetapkan materi untuk masalah-masalah internasional yang juga mengenai diri
setiap orang. Sekolah hendaknya turut serta memberi sumbangan kearah
terciptanya dunia yang bahagia bagi seluruh umat manusia. Masyarakat dinamis
dan senantiasa akan berubah. Oleh karena itu, sekolah harus mempersiapkan
anak-anak untuk masyarakat, maka kurikulum seharusnya disesuaikan dengan
gerak-gerik perubahan masyarakat. Ini kurikulum harus senantiasa dapat berubah
sesuai dengan perubahan masyarakat. Karena kurikulum harus dinamis dan ini
hanya mungkin dengan bentuk kurikulum. Dengan demikian, kurikulum itu cukup
elastis, sehingga senantiasa terbuka kesempatan untuk memberikan bahan
pelajaran yang penting dan perlu bagi murid-murid pada saat dan tempat
tertentu, karena itu, kurikulum tidak dapat ditentukan secara mutlak dan uniform
untuk semua sekolah dalam bentuk suatu rencana pelajaran disukai yang harus
diikuti oleh guru hingga detail yang sekecil-kecilnya.[5]
Sifat sekolah masyarakat tidak ditentukan oleh tempatnya di kampung atau
di Kota atau oleh bentuk atau besarnya. Menurut Olson, ciri-cirinya community
school ialah sebagai berikut:
1.
Sekolah itu memperbaiki umur
kehidupan setempat pada saat ini.
2.
Sekolah itu menggunakan masyarakat
sebagai laboratorium tempat belajar.
3.
Gedung sekolahan itu menjadi pusat
kegiatan masyarakat.
4.
Sekolah itu mendasarkan kurikulum
pada proses dan problem kehidupan dalam masyarakat.
5.
Sekolah itu mengikutsertakan orang
tua dalam urusan-urusan sekolah.
6.
Sekolah itu ikut turut serta
mengkoordinasikan masyarakat.
7.
Sekolah itu dapat melaksanakan dan
menyebarkan filsafat negara. [6]
Dalam menentukan dan merumuskan tujuan kurikulum ada sejumlah sumber yang
dapat digunakan, yakni:
1.
Falsafah bangsa
Falsafah bangsa Indonesia adalah Pancasila. Oleh
karena itu, rumusan tugas kurikulum harus mencerminkan dan mengupayakan adanya
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Nilai-nilai tersebut harus
menjiwai dalam setiap rumusan tujuan kurikulum, yakni tujuan kelembagaan
pendidikan, tujuan mata pelajaran dan tujuan pengajaran / instruksional.
2.
Strategi pembangunan
Pendidikan selalu di pandang sebagai “human investment”,
yakni sumber daya manusia yang akan menentukan keberhasilan
pembangunan-pembangunan pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan seluruh masyarakat untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang
merata material dan spiritual. Makna dan hakekat tersebut hanya tercermin dalam
tujuan kurikulum, sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki
potensi untuk melaksanakan pembangunan.
3.
Hakekat anak didik
Tujuan pendidikan dan tujuan kurikulum pada dasarnya
untuk anak didik. Oleh karena itu memperhatikan kepentingan anak didik dalam
merumuskan dan menetapkan tujuan pendidikan sangat diperlukan. Kemampuan, minat
dan perhatian, sikap dan perilaku serta ciri kepribadian anak didik merupakan
dimensi-dimensi untuk diperhatikan.
4.
Ilmu pengetahuan dan teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi menentukan kehidupan
manusia yang serba modern ini. Dengan ilmu dan teknologi memudahkan manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengingat pesatnya kemajuan ilmu dan
teknologi, pendidikan harus sanggup mengadaptasinya sehingga manusia / anak didik
dapat menguasainya sebagai modal dasar kehidupannya sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat tempat ia hidup.[7]
Sedangkan menurut Hilda Taba sebagaimana yang dikutip oleh Nasution,
sumber-sumber tujuan ada tiga, yaitu:
1.
Kebudayaan masyarakat
2.
Individu
3.
Mata pelajaran disiplin ilmu.[8]
Perumusan Tujuan
Agar suatu tujuan dapat diwujudkan, diinginkan agar perumusannya
spesifik. Tiap mata pelajaran mempunyai sejumlah tujuan, seperti menghargai
keindahan karya sastra. Namun tujuan serupa itu masih dianggap umum dan harus
lagi dirinci, dispesifikkan, sehingga berupa bentuk kelakuan yang dapat diamati
dan dengan demikian dapat pula diukur taraf ketercapaiannya.[9]
Perumusan tujuan menurut Hilda Taba
Hilda Taba dalam Curriculum Development memberikan petunjuk-petunjuk
yang berikut dalam merumuskan tujuan, sebagai berikut:
1.
Proses mental, yaitu metode untuk
melakukan sesuatu produk, bahan yang bertalian dengan itu.
2.
Tujuan yang kompleks harus lebih
dispesifikkan, sehingga lebih jelas bentuk kelakuan yang diharapkan
3.
Dalam merumuskan tujuan harus
dinyatakan bentuk kelakuan yang diharapkan dan kegiatan belajar itu.
4.
Tujuan lebih bersifat development,
yaitu tidak dapat dicapai sekaligus, akan tetapi harus dikembangkan secara
kontinu
5.
Tujuan hendaknya realistis, dalam
arti bahwa tujuan itu benar-benar dapat dicapai anak pada tingkat dan usia
tertentu, atau selama jam pelajaran, atau selama belajar di sekolah itu.
6.
Tujuan harus meliputi segala aspek
perkembangan anak yang menjadi tanggung jawab sekolah.
Sedangkan menurut Benyamin Bloom, bahwa tujuan itu di bagi dalam tiga
ranah, yaitu:
1.
Tujuan-Tujuan Kognitif
Meliputi segi intelektual dan proses kognitif, yakni:
mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, menyintesis dan mengevaluasi.
2.
Tujuan-Tujuan Afektif
Berkenaan dengan kesadaran akan sesuatu, perasaan dan
penilaian tentang perasaan, yang meliputi: memperhatikan, merespons,
menghargai, mengorganisasi nilai, dan mengkarakterisasi nilai-nilai.
3.
Tujuan-Tujuan Psikomotorik
Meliputi tingkat kegiatan sebagai berikut:
a.
Melakukan gerakan fisik
b.
Menunjukkan kemampuan perseptual
tentang visual, auditif, taktikal, kinestetik, serta mengkoordinasi seluruhnya.
c.
Memperlihatkan kemampuan fisik
d.
Melakukan gerakan yang terampil
serta terkoordinasi dalam permainan, olahraga dan kesenian
e.
Mengadakan komunikasi non-verbal.[10]
Ketiga ranah belajar harus diperhatikan dengan cermat dalam perumusan
tujuan umum, TIU, TIK. Tujuan mata pelajaran atau mata kuliah menentukan tujuan
umum mata pelajaran itu. TIU dan TIK kemudian dirumuskan sesuai atau konsisten
ini. Tujuan umum sering menunjukkan tingkat kognitif dan afektif tingkat
tinggi. Akan tetapi bila tidak ada TIU dan TIK yang dirumuskan dengan jelas
serta konsisten dengan tujuan umum, maka hasilnya tidak akan tercapai dan
karena itu tidak memuaskan.[11]
Secara hierarki, tujuan pendidikan dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Tujuan pendidikan nasional
b.
Tujuan institusional
c.
Tujuan kurikuler
d.
Tujuan Instruksional yang terdiri
dari :
1.
Tujuan instruksional umum (TIU)
2.
Tujuan instruksional khusus (TIK)[12]
Dalam merumuskan TIK, ada beberapa kriteria, menurut Mager (1975: 21),
rumusan tujuan instruksional yang baik harus memenuhi 3 syarat, yaitu :
1.
Performance, tujuan instruksional
selalu menyatakan apa yang diharapkan dilakukan oleh siswa, jadi harus
berbentuk tingkah laku siswa yang dapat diamati dan diukur.
2.
Conditions, tujuan instruksional
menyatukan pula dalam kondisi yang bagaimana tingkah laku tersebut diharapkan
akan terjadi.
3.
Criterion, dalam rumusan
instruksional secara gambar suatu kriteria, sampai seberapa jauh penampilan
tingkah laku siswa di harapkan.
Secara lebih terperinci, syarat-syarat perumusan TIK yang dikemukakan
Mager dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Harus menggunakan kata kerja
operasional, seperti :
Murid dapat menyebutkan……………
Menuliskan……………..
Memilih……………….
Membedakan…………………..
Membandingkan………………
2.
Harus dalam bentuk hasil (produk)
3.
Harus berbentuk tingkah laku siswa
Tujuan
Instruksional
|
Proses Mengajar
|
1. Siswa dapat menyebutkan dengan tepat seperti fungsi termometer
2. Siswa dapat menghitung luas bujur sangkar yang diketahui
panjang salah satu sisinya
|
1.
Mengajarkan kepada siswa fungsi
termometer
2.
Mengajarkan kepada siswa cara
menghitung bujur sangkar
|
4.
Sebaiknya hanya meliputi satu
jenis tingkah laku
5.
Harus jelas batas atau tingkah
laku yang dituntut terhadap siswa
Disini Bloom juga mengaitkan perumusan tujuan dengan ketiga ranah menuju enam
tegak kemampuan.
1.
Kemampuan ingatan (Knowledge)
2.
Kemampuan pemahaman (comprehension)
3.
Kemampuan penerapan (application)
4.
Kemampuan penguraian (analysis)
5.
Kemampuan penyatuan (synthesis)
6.
Kemampuan penilaian (evaluation)[13]
Kemudian penyusunan TIK perlulah memperhatikan pedoman / ketentuan atau
kriteria, sebagai berikut :
a.
Merumuskan tujuan tersebut pada
perubahan tingkah laku murid
b.
Memper khusus tujuan tersebut
dalam bentuk yang lebih konkrit dan terbatas
c.
Memperhatikan kondisi selama
tingkah laku itu berlangsung
d.
Menentukan standard minimal yang
diharapkan dari tingkah laku tersebut.[14]
Mengingat rumusan tujuan pengajaran dibuat oleh guru, maka guru harus
memahami tiga hal pokok, yakni:
a.
Ia harus mempelajari kurikulum,
sebab bahan yang harus diajarkan dan tujuan umum bahan tersebut ada dalam
kurikulum khususnya GBPP.
b.
Memahami tipe-tipe hasil belajar
sebab tujuan pengajaran pada hakekatnya adalah hasil belajar yang diharapkan
dikuasai siswa.
c.
Cara merumuskan tujuan pengajaran,
sehingga tujuan tersebut jelas isinya dan dapat dicapai oleh siswa setelah
siswa menerima pengajaran tersebut.[15]
KESIMPULAN
Ketika kebutuhan masyarakat mulai berkembang. Maka pendidikan yang ada
juga harus dapat mengikuti perkembangan tersebut. Dan oleh karena itu yang jadi
awal dari perubahan perkembangan ini adalah kurikulum. Bagaimana kurikulum yang
baik itu? Tentu saja yang mempunyai landasan dan dasar yang jelas. Dan harus
mempunyai pula rumusan yang jelas. Selain itu juga ada kriteria, yang akan
menjadikan kurikulum itu baik.
Menurut Hilda Taba dalam merumuskan tujuan, harus menyangkut beberapa hal
yaitu proses mental, tujuan yang kompleks, tujuan yang bersifat “development”,
realistis dan meliputi segala aspek perkembangan anak. Sedang menurut Benyamin
Bloom, membagi rumusan itu dalam tiga ranah yang kesemuanya harus saling
terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. S. Nasution, MA., Asas-Asas Kurikulum, Bandung: CV. Jemmars,
1980.
________, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta : Rineka Cipta,
1989.
________, Asas-Asas Kurikulum, Jakarta : Gema Insani, 1995.
________, Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2003.
Dr. Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Petter F. Olivia, Developing The Curriculum, New York: Harper Collins Publisher, 1992.
Dr. Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung : CV. Sinar Baru,
1991.
________, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung
: Sinar Baru Algensindo, 2002.
Dra. Subandiyah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1993.
Drs. M. Ngalim Purwanto, MP., Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,
Bandung :
Remaja Rosdakarya, 1995.
Team Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik
Kurikulum PBM, Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 1993.
[1]
Prof. Dr. S. Nasution, M.A, Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hlm.
39-40
[2]
Dr. Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2001, hlm. 24
[3]
Petter F. Olivia, Developing the Curriculum, New York: Harper Collins Publisher, 1992,
hlm. 218
[4]
Prof. DR. S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Bandung: CV. Jemmars, 1980, hlm. 55-58
[5] Ibid,
hlm. 68-69
[6] Ibid,
hlm. 71-73
[7] Dr.
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung : Sinar Baru
Algensindo, 2002, hlm. 22-23
[8] Prof.
Dr. S. Nasution, MA., op.cit., hlm. 40
[9] Ibid.,
hlm. 43
[10] Prof.
Dr. S. Nasution, MA., Asas-Asas Kurikulum, Jakarta : Gema Insani, 1995, hlm. 47-51
[11] Prof.
Dr. S. Nasution, MA., Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta : Rineka Cipta, 1989, hlm. 74
[12] Dra.
Subandiyah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 5
[13] Drs.
M. Ngalim Purwanto, MP., Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1995, hlm. 43-47
[14] Team
Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik
Kurikulum PBM, Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 141-142
[15] Dr.
Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung : CV. Sinar Baru, 1991, hlm. 61
0 comments:
Post a Comment