Dilihat dari
perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia. Tidak ada suatu
masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama ada pada dasarnya
merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib dan
supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala konsekuensinya.
Atau sebaliknya, agama yang ajaran-ajarannya teratur dan tersusun rapi serta
sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun
sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang
berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram.[1]
Karena
inti pokok dari semua agama adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan, sedangkan
persepsi manusia tentang Tuhan dengan segala konsekuensinya beranekaragam, maka
agama-agama yang dianut manusia di dunia ini pun bermacam-macam pula. Karena
kondisi seperti inilah Mukti Ali mengatakan:
Barangkali tidak ada kata yang paling
sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama. Paling sedikit ada
tiga alasan untuk hal ini. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal
batini dan subyektif, juga sangat individualistik…. Alasan kedua, bahwa
barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional
lebih daripada membicarakan agama… maka dalam membahas tentang arti agama
selalu ada emosi yang kuat sekali hingga sulit memberikan arti kalimat agama
itu…. Alasan ketiga, bahwa konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan
orang yang memberikan pengertian agama itu.[2]
Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan
pendapat, di antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa
sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu: “a” berarti tidak dan
“gama” berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.[3]
Kata
agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin” (dari bahasa Arab) dalam
bahasa Eropa disebut “religi”, religion (bahasa Inggris), la religion
(bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion,
(bahasa Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang
(hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasai,
menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.[4]
Meskipun
terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan agama, namun
umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam pengertian
yang sama dengan “agama”.[5]
Kata agama selain disebut dengan kata diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah.
Terkadang syara itu dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib
dipatuhi, maka disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta
dibukukan, dinamakan millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan,
maka dinamakan syara.[6]
Dari pengertian agama dalam
berbagai bentuknya itu maka terdapat bermacam-macam definisi agama. Harun
Nasution telah mengumpulkan delapan macam definisi agama yaitu:
- Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
- Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
- Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
- Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
- Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
- Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
- Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
- Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.[7]
[1] Abdul
Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universitas
Muhammadiyah, Malang, 1989, hlm. 26.
[2]
Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, bagian 1, Badan Penerbit
IKIP, Bandung, 1971, hlm. 4. Lihat juga Endang Syaefudin Anshari, Ilmu,
Filsafat dan Agama, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2002, hlm. 117-118.
[3]
Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, 1992, hlm. 112. Cf
Nasrudin Razak, Dienul Islam, PT al-Ma’arif, Bandung, 1973, hlm. 76.
[4]
Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan agama, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1994, hlm. 1.
[5] Abdul
Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1997, hlm. 63.
[6]
Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, hlm. 121.
[7]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI
Press, Jakarta, 1985, hlm.10.
0 comments:
Post a Comment