Bahasan ini merupakan kelanjutan dari bahasan sebelumnya, sejarah agama bagian pertama.
5. Teori
Sentimen Kemasyarakatan
“Teori
Sentimen Kemasyarakatan”, berasal dari seorang sarjana ilmu filsafat dan
sosiologi bangsa Perancis bernama E. Durkheim, dan diuraikan olehnya dalam
bukunya Les Formes Elementaires de la Vie
Religieuse (1912). Durkheim yang juga menjadi amat terkenal dalam kalangan
ilmu antropologi budaya, pada pangkalnya mempunyai suatu celaan terhadap Tylor,
serupa dengan celaan Marett tersebut di atas. Beliau beranggapan bahwa alam
pikiran manusia pada masa permulaan perkembangan kebudayaannya itu belum dapat
menyadari suatu faham abstrak “jiwa”, sebagai suatu substansi yang berbeda dari
jasmani. Kemudian Durkheim juga berpendirian bahwa manusia pada masa itu belum
dapat menyadari faham abstrak yang lain seperti perubahan dari jiwa menjadi ruh
apabila jiwa itu telah terlepas dari jasmani yang mati. Celaan terhadap teori
animisme Tylor itu termaktub dalam permulaan buku Les Formes Elementaires de la
Vie Religieuse, tempat beliau mengumumkan suatu teori yang baru tentang
dasar-dasar agama yang sama sekali berbeda dengan teori-teori yang pernah
dikembangkan oleh para sarjana sebelumnya. Teori itu berpusat kepada beberapa
pengertian dasar, ialah :
a.
Makhluk manusia pada waktu ia pertama
kali timbul di muka bumi, mengembangkan aktivitas religi itu bukan karena ia mempunyai
bayangan-bayangan abstrak tentang jiwa atau roh dalam alam pikirannya, yaitu
suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di dalam alam, melainkan karena
suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan, yang timbul di dalam alam jiwa
manusia dahulu, karena pengaruh suatu rasa sentimen kemasyarakatan.
b.
Sentimen kemasyarakatan itu dalam batin
manusia dahulu berupa suatu kompleks perasaan yang mengandung rasa terikat,
rasa bakti, rasa cinta dan sebagainya terhadap masyarakatnya sendiri, yang merupakan
seluruh alam dunia di mana ia hidup.
c.
Sentimen kemasyarakatan yang menyebabkan
timbulnya emosi keagamaan, yang sebaliknya merupakan pangkal daripada segala
kelakuan keagamaan manusia itu, tentu tidak selalu berkobar-kobar dalam alam
batinnya. Apabila tidak dipelihara, maka sentimen kemasyarakatan itu menjadi
lemah dan latent, sehingga perlu dikobarkan kembali. Salah satu cara untuk mengobarkan
kembali sentimen kemasyarakatan adalah dengan mengadakan suatu kontraksi
masyarakat artinya dengan mengumpulkan seluruh masyarakat dalam
pertemuan-pertemuan raksasa.
d.
Emosi keagamaan yang timbul karena rasa
sentimen kemasyarakatan, membutuhkan suatu obyek tujuan. Sifat apakah yang
menyebabkan barang sesuatu hal itu menjadi obyek daripada emosi keagamaan bukan
terutama sifat luar biasanya, bukan pula sifat anehnya, bukan sifat megahnya,
bukan sifat ajaibnya, melainkan tekanan anggapan umum dalam masyarakat. Obyek
itu ada karena salah satu peristiwa kebetulan dalam sejarah kehidupan sesuatu
masyarakat di masa lampau menarik perhatian banyak orang di dalam masyarakat.
Obyek yang menjadi tujuan emosi keagamaan itu juga mempunyai obyek yang
bersifat keramat, bersifat sacre,
berlawanan dengan obyek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan (ritual value) itu, ialah obyek yang
tak-keramat, yang profane.
e.
Obyek keramat sebenarnya tidak lain
daripada suatu lambang masyarakat. Pada suku-suku bangsa asli benua Australia
misalnya, obyek keramat, pusat tujuan daripada sentimen-sentimen
kemasyarakatan, sering berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan, tetapi sering
juga obyek keramat itu berupa benda. Oleh para sarjana obyek keramat itu
disebut totem. Totem itu (jenis
binatang atau obyek lain) mengkonkritkan prinsip totem yang ada di belakangnya, dan prinsip totem itu adalah suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat,
berupa clan atau lain.
Pendirian-pendirian
tersebut pertama di atas, ialah emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan,
adalah menurut Durkheim, pengertian-pengertian dasar yang merupakan inti atau essence daripada tiap religi, sedangkan
ketiga pengertian lainnya ialah kontraksi masyarakat, kesadaran akan obyek
keramat berlawanan dengan obyek tak-keramat, dan totem sebagai lambang masyarakat, bermaksud memelihara kehidupan
daripada inti. Kontraksi masyarakat, obyek keramat dan totem akan menjelmakan
(a) upacara, (b) kepercayaan dan (c) mitologi. Ketiga unsur tersebut terakhir
ini menentukan bentuk lahir daripada sesuatu religi di dalam sesuatu masyarakat
yang tertentu.
Susunan
tiap masyarakat dari beribu-ribu suku bangsa di muka bumi yang berbeda-beda ini
telah menentukan adanya beribu-ribu bentuk religi yang perbedaan-perbedaannya
tampak lahir pada upacara-upacara, kepercayaan dan mitologinya. [1]
6. Teori Wahyu
Tuhan
“Teori Firman
Tuhan”, pada mulanya berasal dari seorang sarjana antropologi bangsa Austria
bernama W. Schmidt. Sebelum Schmidt sebenarnya ada sarjana lain yang pernah
mengajukan juga pendirian tersebut. Sarjana lain ini adalah seorang ahli
kesusasteraan bangsa Inggris bernama A. Lang.
Sebagai
ahli kesusasteraan, Lang telah banyak membaca tentang kesusasteraan rakyat dari
banyak suku bangsa di dunia. Di dalam dongeng-dongeng itu, Lang sering
mendapatkan adanya seorang tokoh dewa yang oleh suku-suku bangsa bersangkutan
dianggap dewa tertinggi, pencipta seluruh alam semesta serta isinya, dan
penjaga ketertiban alam dan kesusilaan. Kepercayaan kepada seorang tokoh dewa serupa itu menurut
Lang terutama tampak pada suku-suku bangsa yang amat rendah tingkat
kebudayaannya, dan yang hidup dari berburu atau meramu, ialah misalnya
suku-suku bangsa berburu di daerah Gurun Kalahari di Afrika Selatan, yang
biasanya disebut orang Bushman, suku-suku bangsa penduduk asli benua Australia,
suku-suku bangsa Negrito di daerah hutan rimba di Kamerun dan Kongo, Afrika
Tengah, penduduk kepulauan Andaman, penduduk pegunungan Tengah di Irian Timur,
dan juga beberapa suku bangsa penduduk asli benua Amerika Utara. Berbagai hal
membuktikan bahwa kepercayaan itu tidak timbul sebagai akibat pengaruh agama
Nasrani atau Islam, maka kepercayaan tadi malahan tampak seolah-olah terdesak
ke belakang oleh kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, dewa-dewa alam, ruh,
hantu, dan sebagainya. A. Lang berkesimpulan bahwa kepercayaan kepada dewa
tertinggi adalah suatu kepercayaan yang sudah amat tua, dan mungkin merupakan
bentuk religi manusia yang tertua. Adapun pendiriannya itu diumumkannya dalam
beberapa karangan, antara lain dalam buku yang berjudul The Making of Religion (1898).
Anggapan
A. Lang terurai di atas, tak lama kemudian diolah lebih lanjut oleh W. Schmidt.
Tokoh besar dalam kalangan ilmu antropologi ini adalah guru besar pada suatu
perguruan tinggi yang pusatnya mula-mula di Austria, kemudian di Swiss, untuk
mendidik calon-calon pendeta penyiar agama Khatolik dari organisasi Societas Verbi Divini. Di dalam suatu
kedudukan serupa itu maka mudah dapat dimengerti bagaimana anggapan akan adanya
kepercayaan kepada dewa-dewa tertinggi di alam jiwa bangsa-bangsa yang masih
amat rendah tingkat kebudayaannya, adalah suatu anggapan yang amat cocok dengan
dasar-dasar cara berpikir W. Schmidt dan juga dengan filsafatnya sebagai seorang
pendeta agama Khatolik. Di dalam hubungan itu beliau percaya bahwa agama itu
berasal dari titah Tuhan yang diturunkan kepada makhluk manusia pada masa
permulaan ia muncul di muka bumi ini. Karena itulah adanya tanda-tanda daripada
suatu kepercayaan kepada dewa pencipta, justru pada bangsa-bangsa yang paling
rendah tingkat kebudayaanya (artinya yang paling tua menurut Schmidt),
memperkuat anggapannya mengenai adanya titah Tuhan asli, atau Uroffenbarung itu. Demikianlah
kepercayaan yang asli dan bersih kepada Tuhan, atau kepercayaan Urmonotheismus tadi itu malahan ada pada
bangsa-bangsa yang tua yang hidup pada zaman ketika tingkat kebudayaan manusia
masih rendah. Di dalam zaman kemudian, ketika makin maju kebudayaan manusia,
maka makin kaburlah kepercayaan asli terhadap
Tuhan; makin banyak kebutuhan manusia, makin terdesaklah kepercayaan asli itu oleh pemujaan kepada makhluk-mahluk
halus, ruh, dewa, dan sebagainya.
Anggapan
Schmidt sebagaimana diuraikan di atas dianut oleh beberapa orang sarjana yang
untuk sebagian besar bekerja sebagai penyiar agama Nasrani dari organisasi Societas Verbi Divini. Di samping
menjalankan tugas sebagai penyiar agama Nasrani di dalam berbagai daerah di
muka bumi, mereka melakukan penelitian-penelitian antropologi budaya
berdasarkan atas anggapan-anggapan pokok daripada guru mereka. Demikian antara
lain, sarjana-sarjana itu mencari di dalam kebudayaan-kebudayaan di daerah
mereka masing-masing akan adanya tanda-tanda suatu kepercayaan kepada dewa
tertinggi.[2]
Beberapa manusia dalam
menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya memberikan penekan-penekanan khusus
pada aspek-aspek tertentu dari agamanya itu. Sebagian ada yang menekankan pada
penghayatan mistik, ada yang menekankan pada penalaran logika, penekanan pada
aspek pengamalan ritual, dan ada juga yang menekankan pada aspek pelayanan
(amal shalih). Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagaimana berikut ini:
a.
Cara mistik. Dalam menghayati dan
mengamalkan ajaran agamanya, sebagian manusia cenderung lebih menekankan pada
pendekatan mistikal daripada pendekatan yang lain. Cara mistik seperti ini
dilakukan oleh para sufi (pengikut tarekat) dan pengikut kebatinan (kejawen).
Yang dimaksud dengan cara mistik itu sendiri adalah suatu cara beragama
pengikut agama tertentu yang lebih menekankan pada aspek pengamalan batiniah
(esoterisme) dari ajaran agama, dan mengabaikan aspek pengamalan formal,
struktural dan lahiriyah (eksoterisme). Pada setiap pengikut agama apapun
agamanya baik agama besar maupun agama lokal, selalu memiliki kelompok pengikut
yang memberi perhatian besar pada cara beragama mistik ini. Di kalangan
pengikut agama Islam dikenal dengan sufisme, dikalangan umat Katolik dikenal
dengan hidup kebiaraan, begitu pula dikalangan Hindu maupun Budhisme. Beragama
dengan cara mistik sangat digemari oleh masyarakat berkebudayaan tertentu, yang
secara kultur dominan, mereka menekankan pada hal-hal mistikal tersebut,
seperti sebagian masyarakat yang berkebudayaan jawa.[3]
Kebudayaan jawa adalah tipe kebudayaan yang menekankan pada hidup kerohanian
bersifat esoteris dan menjunjung tinggi harmonitas hidup sehingga kadangkala
menyebabkan terjadinya sindritisme.[4]
b.
Cara penalaran, di samping penghayatan
dan pengamalan agama cara mistik, ada pula cara penalaran, yaitu cara beragama
dengan menekankan pada aspek rasionalitas dari ajaran agama. Bagi penganut
aliran ini, bagaimana agama itu harus dapat menjawab masalah yang dihadapi
penganutnya dengan jawaban yang masuk akal. Beragama tidak selamanya harus
menerima begitu saja apa yang didoktrinkan oleh pimpinan agama, mereka
menyenangi interpretasi yang bebas dalam menafsirkan teks dari kitab suci atau
buku-buku agama lainnya. Dari tradisi Islam umpamanya, ada kelompok yang
disebut mutakalimin atau para ahli ilmu kalam, yang banyak membicarakan teologi
Islam dengan memakai dalil tekstual (naqli) dan dalil rasional (aqli).
c.
Cara amal shalih. Cara beragama yang
ketiga ini lebih menekankan penghayatan dan pengamalan agama pada aspek
peribadatan, baik ritual formal maupun aspek pelayanan sosial keagamaan.
Menurut kelompok ini, yang terpenting dalam beragama adalah melaksanakan amal
shalih, karena indikator seseorang beragama atau tidak ialah dalam pelaksanaan
segala amalan lahir dari agama itu sendiri. Tuhan memasukkan seorang manusia ke
dalam surga adalah karena amal shalih orang tersebut yang dilakukan ketika ia
masih hidup. Tidak ada artinya pengakuan dan iman dalam hati kalau tidak
dinyatakan dalam amal perbuatan fisik dan perwujudan materi. Dalam agama Islam,
kelompok ini lebih banyak mengikuti ajaran fiqih dan hukum-hukum agama mengenai
tata cara amal shalih daripada amal yang lainnya.[5]
d.
Cara sinkretisme. Secara etimologis,
sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai,
yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun
pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk
menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan.
Tercatat pada abad ke-2 dan ke-4 aliran Neo Platonisme berusaha menyatukan
agama-agama penyembah berhala. Selanjutnya pada masa renaisans muncul usaha
untuk menyatukan antara gereja Katolik Timur dan Katolik Barat. Pernah juga
muncul gerakan untuk mengawinkan antara aliran Lutheran dengan aliran-aliran
lain dalam Protestan. Sementara itu, dalam bidang filsafat pernah muncul usaha
untuk mengharmoniskan pertentangan antara pemikiran Plato dan Aritoteles.[6]
Cara
sinkretisme adalah cara-cara seseorang dalam menghayati dan mengamalkan agama
dengan memilih-milih ajaran tertentu dari berbagai agama untuk dipraktekkan
dalam kehidupan keagamaan diri sendiri atau untuk diajarkan kepada orang lain.
Dalam prakteknya cara beragama sinkretisme ini dapat terjadi pada bidang
kepercayaan, namun Tuhan umpamanya dikombinasikan “Gustiallah” atau “Allah
Sang Hyang widi”, dapat juga dalam pelaksanaan ritual, dalam berdoa, dalam
peralatan yang dipakai pada upacara keagamaan dan sebagainya.[7]
[3]
Neils Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Gajah Mada
Press, 1980, hlm. 20.
[4]
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama,
Pustaka Setia Bandung, 2000, hlm. 47.
[5]
Ibid.
[6]
Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta,
2000, hlm. 87.
[7]
Dadang Kahmad. Metode Penelitian Agama, hlm. 47-48.
0 comments:
Post a Comment