Definisi dan Dasar Gadai
Ar-Rahnudalam
etimologi artinya: “tetap dan kekal”. Menurut sebagian ulama: dalam bahasa Ar-Rahnuberarti; penahanan.[1]
Sebagaimana didasarkan pada firman Allah SWT:
“Tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. 74: 38)[2]
Yakni tiap-tiap diri ditahan karena apa yang sudah ia perbuat.
Adapun
menurut syara’ Ar-Rahnu berarti: “menjadikan
barang yang ada harganya menurut pandangan syara’ sebagai jaminan kepercayaan
hutang-piutang”. Dalam arti seluruh hutang atau sebagainya dapat diambil
sebab sudah ada barang jaminan tersebut.
Dikecualikan
dari barang yang ada harganya, menurut syara’, barang najis dan yang kena najis
yang tak dapat dibersihkan; maka tidak patut dijadikan sebagai barang jaminan
kepercayaan hutang. Termasuk yang tidak ada nilainya menurut syara’, barang
suci tetapi tidak dinilai harta menurut qiyas sebagaimana keterangan dalam
babbai’.[3]
Sejalan dengan keterangan di atas Sayid Sabiq memaparkan:
menurut bahasanya (dalam bahasa Arab) rahn
adalah: tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-Habsu, artinya; penahanan.
Seperti dikatakan: ni’matunrahinah,
artinya: karunia yang tetap dan lestari.
Adapun dalam pengertian syara’, gadai
berarti: menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’
sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang
atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu. Demikian menurut yang
didefinisikan para ulama.
Apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia
menjadikan barang miliknya baik berupa barang tak bergerak atau berupa ternak
berada di bawah kekuasaannya (pemberi pinjaman) sampai ia melunasi hutangnya.
Demikian yang dimaksudkan gadai menurut syara’.
Pemilik barang yang berhutang disebut Rahin (yang menggadaikan) dan orang yang menghutangkan, yang
mengambil barang tersebut serta mengikatnya di bawah kekuasaannya disebut Murtahin. Serta untuk sebutan barang
yang digadaikan itu sendiri adalah Rahn
(gadaian).[4]
Berkaitan
dengan pendapat di atas, Taqi al-Din Abu Bakr Muhammad al-Husaini merumuskan,
menurut syara’ kalimat rahn itu
artinya menjadikan harta sebagai pengukuh/penguat
sebab adanya hutang.[5]
Sementara Syaikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi berpandangan, gadai adalah
menjadikan barang yang sebangsa uang sebagai kepercayaan hutang dimana akan
terbayar dari padanya jika terpaksa tidak dapat melunasi (hutang tersebut).[6]
Sedangkan al-Ustad H. Idris Ahmad dengan singkat menyatakan gadai adalah
menjadikan harta benda sebagai jaminan atas utang.[7] TM. Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan Rahn ialah akad yang obyeknya menahan
harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna
darinya.[8]
Bertitik tolak pada rumusan-rumusan di atas dapat penulis
simpulkan bahwa gadai adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan hutang,
yang dapat dijadikan pembayar hutang apabila orang yang berhutang tidak bisa
membayar hutangnya.
Adapun
dasar hukum gadai sebagai berikut:
a.
Di dalam al-Qur’an Allah berfirman
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). (Q.S: al-Baqarah: 283)[9]
b.
Sabda Rasulullah SAW :[10]
Dari Abu hurairah r.a, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda:
punggung binatang yang ditunggangi itu dengan nafakah (pembayaran kepada
pemiliknya, jika binatang itu di gadai, susu yang diminum itu dengan nafkah
(pembayaran bagi pemiliknya). Jika susu itu menjadi jaminan gadai dan wajib
atas orang yang menungganginya dan yang meminum susunya pembayaran biayanya. (HR. al-Bukhari)
c.
Sabda Rasulullah SAW :[11]
Dari Annas, ia berkata, Nabi SAW pernah menggadaikan sebuah baju
besi kepada seorang Yahudi di Madinah dan nabi mengambil gandum dari si Yahudi
itu untuk keluarganya (HR.
Ahmad, Bukhary, Nasai an Ibn Majjah)
d.
Sabda Rasulullah SAW :[12]
Dan dari Aisah ra, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah membeli
makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedang nabi SAW menggadaikan
sebuah baju besi kepada Yahudi itu dan dalam satu lafal (dikatakan): Nabi SAW
wafat sedang baju besinya masih tergadai pada seorang Yahudi dengan
tigapuluhsha’ gandum. (HR.
Bukhary dan Muslim)
Dengan merujuk pada hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa hukumnya
gadai itu boleh, sebagaimana dikatakan TM. Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa menggadai
barang boleh hukumnya, baik di dalam hadlar(kampung)
maupun di dalam safar(perjalanan), hukum ini
disepakati oleh umum mujtahidin.[13]
Adapun landasan ijma dapat dikemukakan paparan Sayid Sabiq yang
mengatakan: para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh. Mereka tidak pernah
mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur
berpendapat: disyariatkan pada waktu tidak bepergian dan bepergian,
berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap orang Yahudi di
Madinah. Adapun dalam masa perjalanan, seperti dikaitkan dalam ayat sebagaimana
tersebut dalam Qur’an surat al-Baqarah ayat 283, dengan melihat kebiasaannya,
dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu
bepergian.[14]
Syarat dan Rukun Gadai
Menurut al-Ustadz H. Idris Ahmad, syarat gadai menggadai yaitu:
a.
Ijab kabul yaitu: “aku
gadaikan barangku ini dengan harga Rp. 100” umpamanya. Dijawabnya: aku
terima gadai engkau seharga Rp. 100. Untuk itu cukuplah dilakukan dengan cara
surat-menyurat saja.
b.
Jangan menyusahkan dan
merugikan kepada orang yang menerima gadai itu umpamanya oleh orang yang
menggadai, tidak dibolehkan menjual barang yang digadaikan itu setelah datang
waktunya, sedang uang bagi yang menerima gadai sangat perlu.
c.
Jangan pula merugikan kepada
orang yang menggadai itu, umpamanya dengan mensyaratkan bahwa barang yang
digadaikan itu boleh dipakai, dan diambil keuntungannya oleh orang yang
menerima gadai.
d.
Ada rahin (yang menggadai) dan murtahin
(orang yang menerima gadai itu) ahli, maka tidaklah boleh wali menggadaikan
harta anak kecil (umpamanya anak yatim) dan harta orang gila dan lain-lain,
atau harta orang lain yang ada di tangannya.
e.
Barang yang digadaikan itu
berupa benda, maka tidak boleh menggadaikan utang, umpamanya kata si rahin: “berilah saya uang dahulu
sebanyak Rp. 100. Dan saya gadaikan piutang saya kepada tuan sebanyak Rp. 1.500
yang sekarang ada di tangan si Badu”. Sebab piutang itu belum tentu
dapatdiserahkannya pada waktu yang tertentu.[15]
Abd Rahman al-Jaziri dalam kitabnya yang merupakan komparasi empat
madzhab mengetengahkan, agar akad gadai itu sah ditetapkan beberapa syarat,
antara lain:
a.
Kedua belah pihak; rahindan murtahinbenar-benar sudah patut (ahli) melakukan akad bai. Karenanya tidak sah akad rahnun dari orang gila, anak kecil yang
belum tamyiz.
b.
Dan lain-lain sebagaimana yang
telah dirinci dalam berbagai madzhab.[16]
Sedangkan menurut Syaikh
Muhammad Ibn Qasim al-Ghazi, penggadaian adalah sah dengan adanya ijab dan
qabul. Sementara syarat masing-masing dari orang yang menggadaikan dan yang
menerima gadai adalah orang yang statusnya sah (berhak) melaksanakan.[17]
Bagi orang yang menggadaikan barang dan orang yang menerima
gadai masing-masing disyaratkan harus orang yang mempunyai status sah atau
berhak memerintahkannya, yakni sudah dewasa (baligh), berakal dan sehat.
Penggadaian sah jika dilakukan orang si wali baik itu ayah atau kakek atau
pemegang wasiat atau pula hakim. Tidak boleh menggadaikan harta anak kecil atau
orang gila, sebagaimana tidak boleh menerima gadai atas nama mereka berdua,
kecuali bila ada hal-hal yang sifatnya darurat (terpaksa) atau ada keuntungan
yang jelas.
Madzhab Syafi’i berpandangan bahwa syarat gadai terbagi
menjadi dua yaitu:[18]
a.
Syarat tetapnya gadai; yaitu
diterimanya barang gadai. Apabila seseorang menggadaikan sebuah rumah, tetapi
belum diterima oleh penerima gadai, maka belum tetap (mengikat) akad gadai
tadi. Karenanya orang yang menggadaikan boleh menarik barang gadai kembali.
Apabila barang yang digadaikan sebelum akad sudah di bawah kekuasaan penerima
gadai, baik karena barang itu disewa, dipinjam, atau digashab ataupun lainnya,
maka barang itu dinyatakan telah diterima murtahin
sesudah akad, bila sudah lewat waktu yang memungkinkan barang diterima. Untuk
sahnya serah terima disyaratkan adanya izin dari orang yang menggadaikan.
b.
Syarat sahnya gadai sebagai
berikut:
- Syarat yang berkaitan dengan akad, yaitu hendaknya tidak dikaitkan dengan syarat yang tidak dikehendaki oleh akad ketika sudah tiba jatuh tempo. Karena yang demikian ini dapat membatalkan gadai. Adapun bila menetapkan suatu syarat yang dikehendaki orang akad seperti syarat mendahulukan penerima gadai atas lainnya yakni para kreditur dalam menerima barang yang digadaikan, maka tidak merugikan.
- Syarat yang berkaitan dengan kedua belah pihak: rahin (yang menggadaikan) dan murtahin (penerima gadai). Yaitu keahlian (kecakapan) kedua belah pihak yang berakad. Misalnya masing-masing dari mereka sudah baligh (dewasa), berakal dan tidak mahjur ‘alaih. Karenanya tidak sah gadainya anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara mutlak walaupun mendapat izin dari walinya. Atas pertimbangan, wali boleh membelanjakan harta mahjur ‘alaih dengan digadaikan dalam dua keadaan; a) dalam keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan gadai. Seperti mahjuralaih dalam keadaan sangat membutuhkan pakaian, makanan, pendidikan dan lain sebagainya. Tetapi dengan syarat si wali tidak mendapatkan biaya untuk itu selain menggadaikan harta mahjur ‘alaih. b)gadai itu mengandung kemaslahatan terhadap mahjur ‘alaih. Misalnya bila wali mendapatkan barang yang dijual dan dalam membelinya mendapat keuntungan bagi mahjur ‘alaih, namun tidak mendapat uang untuk membelinya, maka wali boleh menggadaikan barang milik mahjur ‘alaihuntuk dibelikan barang tersebut karena sangat mengharap adanya keuntungan bagi mahjur ‘aliah.
- Syarat yang berkaitan dengan marhun (barang yang digadaikan) ada beberapa perkara yaitu: a) penggadai punya hak kuasa atas barang yang digadaikan. b)marhunberupa barang. c)barang gadai (marhun) bukan barang yang cepat rusak, sedang hutangnya untuk jangka waktu yang cukup lama dalam arti barang itu sudah rusak sebelum jatuh tempo. d)barang gadai itu barang yang suci. e)barang gadai dapat diambil manfaatnya menurut syara’, meskipun pada saat yang akan datang.
- Syarat yang berkaitan dengan marhunbih/ penyebab penggadaian (hutang yang karenanya diadakan penggadai). Hal ini ada empat perkara: a) penyebab penggadaian adalah hutang b) hutang itu sudah tetap c) hutang itu tetap seketika atau yang akan datang d) hutang itu telah diketahui benda, jumlah dan sifatnya. Oleh karena itu tidak sah menggadaikan sesuatu barang atas hutang yang belum diketahui benda, jumlah, dan sifatnya.[19]
Adapun rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada
tiga yaitu:
1)
Aqid
(orang yang melakukan akad). Ini meliputi dua arah yakni: a) Rahin, adalah orang yang mengadaikan
barang (debitur). b) murtahin adalah
orang yang berpiutang yang menerima barang gadai sebagai imbalan uang yang
dipinjamkan (kreditur).
2)
Ma’qud
‘alaih (yang diakadkan), yakni meliputi dua hal: a) marhun (barang yang digadaikan/barang
gadai). b) dainmarhunbiih (hutang
yang karenanya diadakan gadai).
3)
Shighat
(akad gadai).
Berkaitan dengan pendapat di atas, Sulaiman Rasjid dalam bukunya
yang sangat sederhana mengatakan rukun rungguhan ada empat yaitu:
1)
Lafadz (kalimat akad) seperti “saya
rungguhkan ini kepada engkau untuk utangku yang sekian kepada engkau”.
Jawab dari yang berpiutang: “saya terima runguhan ini”.
2)
Yang merungguhkan dan yang menerima
rungguhan (yang berhutang dan yang berpiutang); disyaratkan keadaan keduanya
ahli tasarruf (berhak membelanjakan
hartanya).
3)
Barang yang dirungguhkan; tiap-tiap
zat yang boleh dijual boleh dirungguhkan dengan syarat keadaan barang itu tidak
rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar.
Apabila barang yang dirungguhkan diterima
oleh yang berpiutang, tetaplah rungguhan; dan apabila telah tetap rungguhan,
yang punya barang tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang itu, baik
dengan jalan dijual atau diberikan, dan sebagainya, kecuali dengan ijin yang
berpiutang. Apabila rusak atau hilang barang yang dirungguhkan ditangan yang
memegangnya, ia tidak mengganti karena barang rungguhan itu adalah barang
amanat (percaya mempercayai), kecuali jika rusak atau hilangnya disebabkan
lalainya.
Hak dan Kewajiban Gadai
Hak penerima gadai adalah menahan barang gadai sampai orang
yang menggadaikan melunasi kewajibannya. Jika penggadai tidak melaksanakan
kewajiban tersebut ketika jatuh tempo, maka penerima gadai bisa melaporkan
kepada penguasa. Kemudian penguasa menjual barang gadai kepadanya. Jika ia
tidak menanggapi penerimaan gadai untuk dijual, maka penguasa menasehatinya.
Demikian pula jika penggadai bepergian. Jika orang yang menggadaikan itu
menguasakan kepada penerima gadai untuk menjual barang gadaian pada saat jatuh
tempo, maka hal itu dibolehkan. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa gadai itu berkaitan
dengan keseluruhan hak pada barang yang digadaikan itu dan dengan sebagiannya.
Yakni, jika seseorang menggadaikan sejumlah barang tertentu, kemudian ia
melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai masih tetap berada di
tangan penerima gadai hingga ia menerima haknya keseluruhan. Sebagian fuqaha
berpendapat, barang yang masih tetap berada di tangan penerima gadai hanya
sebagiannya saja. Yakni sebesar hak yang belum di lunasi. Jumhur fuqaha
beralasan bahwa barang tersebut tertahan oleh sesuatu hak, karena itu setiap
bagian dari hak tersebut harus tertahan juga. Ini serupa dengan tertahannya
harta warisan (tirkah) pada ahli
waris, hingga mereka melunasi utang si mayit. Sedang golongan kedua
mengemukakan alasan bahwa keseluruhan barang gadai itu tertahan oleh
keseluruhan hak, karena itu sebagian barang tersebut tertahan oleh sebagian hak
itu. Dan ini serupa dengan tanggungan (kafalah).[21]
Barang yang Dapat Digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat
dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan, kecuali
jual beli mata uang (sharf) itu harus
tunai. Karena itu, sharftidak bisa
menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal
salam meskipun menurut Malik lebih ringan dibanding sharf. Sekelompok fuqaha
jaziry berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang pesanan (musallamfih). Demikian itu karena ayat
yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang barang
dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan (salam).[22]
Seolah-olah mereka menjadikan yang demikian itu sebagai salah satu syarat
sahnya gadai, karena pada awal ayat tersebut, Allah berfirman:
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan maka hendaklah kamu menuiskannya. Jika kamu dengan
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapat
seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). (Q.S: 3 : 282-283)[23]
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang
digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, tidak berupa utang, karena
barang utangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena
sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai
dengan imbalan sesuatu yang dipinjamnya. Ketiga,
barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi,
baik wajib atau tidak, seperti gadai dalam kitabah.[24]
[1]
Abdul al-Rahman al-Jaziry, Kitabal-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah,
Juz 2, Maktabah al-Tijariyah, al-Qubra, tt, hlm. 286
[3]Ibid.
[5]Taqi
al-Din abu Bakr Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi hall Ghayah al-Khtishar, MaktabahAlawiyyah, Semarang, tt, hlm. 263.
[6]Syeikh
Muhammad ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Dar al-Ihya
al-Kitab, al-Arabiah, Indonesia, tt, hlm. 32.
[10]Abi
Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhary, al-Jamiu Shahih al-Bukhary,
Juz 2, Dar al-Fiqr, Beirut, 1410H/1990M, hlm. 78. Cf. al-San’ani, Subul al-Salam SarhBulugh
al-Maram Min Jami Adillati al-Ahkam, Juz 3, Dar
Ikhya’ al-Turas al-Islami, Kairo, 1960 hlm. 51.
Al-Hafidz Ibn, Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Marram, Daar
al-Kutub al-Ijtimaiyah, Bairut Libanon, tt, 175.
[11]
Al-Imam Abu AbdirrahmanAhmad Ibn Syuaib Ibn ‘Ali Ibn Sinan Ibn Bahr an-Nasa’i, as-Sunanu as-Sughra Wa Hiya
al-MusammatuBilMujtaba, Tijariah Kubra, Beirut, tt,
hlm. 83. lihat juga al-Imam alamah Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad as-Syaukani,
Nail al-Autar Min AsrariMuntaqa al-Akhbar, Mustafa al-Babi al-Halabi, tt, hlm.
618.
[12]
Al-Imam Abul Husain Muslim Ibn al-Hajjaz al-kusairi an-Naisaburi, al-Jami’u al-Sahihu Muslim, Dar Ihya, al-Kutub al-Arabiyah, tt, hlm. 87. Lihat juga, al-Imam
Alamah IbnAli Ibn Muhammad Asy-Syaukani.
[13]
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Cet. 2, PT.
Rosda Karya Yogyakarta, 1990, hlm. 419.
[16]
Abdul al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah,
Juz 2, Maktabah al-Tijariyah, al-Qubra, tt, hlm. 287.
[17]Syeikh
Muhammad Ibn Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib, DaarIhya
al-Qutub al-Arabiyah, Indonesia, tt, hlm. 32.
[19] Ibid.
[21]
Ibnu Rusyd, Bidayat
al-Mujtahid WaNihayat al-Muqtasid, Dar al- Jiil,
Beirut, 1409H/1989M, hlm. 241.
0 comments:
Post a Comment