Anak adalah sosok individu unik yang mempunyai eksistensi, yang
memiliki jiwa sendiri, serta memiliki hak untuk tumbuh berkembang secara
optimal sesuai dengan kekhasanan-iramanya masing-masing. Perkembangan tersebut
terjadi secara teratur mengikuti pola atau arah tertentu.
Setiap tahap perkembangan merupakan hasil perkembangan dari tahap perkembangan
selanjutnya. Prinsip tersebut merupakan tahap-tahapan atau fase-fase dalam
perkembangan yang mempunyai arti sebagai penahapan atau pembabakan rentang
perjalanan kehidupan individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola tingkah
laku tertentu.[1]
Dalam tahap perkembangan, selain tumbuh secara fisik,
anak-anak juga berkembang secara kejiwaan. Ada fase-fase perkembangan yang
dilaluinya dan anak menampilkan berbagai prilaku sesuai dengan ciri-ciri
masing-masing fase perkembangan tersebut. Selain itu dalam setiap perkembangan,
potensi anak akan semakin tumbuh dan akan memberikan kontribusi yang berharga
bagi peradaban.[2]
Adapun fase-fase perkembangan yang perlu diketahui
sehubungan dengan masa-masa penting pertumbuhan kepribadian anak, yaitu; masa
bayi dan masa awal kanak-kanak.
1.
Masa Bayi
Masa bayi adalah, dasar periode kehidupan yang sesungguhnya,
pada masa inilah pola prilaku sikap dan ekspresi emosi banyak terbentuk.
Ciri-ciri perkembangan pada masa tersebut, meliputi: perkembangan fisik,
inteligensi, emosi, bahasa, bermain, pengertian kepribadian, moral dan
kesadaran beragama.[3]
Berkaitan dengan ciri-ciri perkembangan tersebut, maka mengapa dasar-dasar yang
diletakkan pada masa bayi itu penting. Secara ilmiah, pentingnya pendidikan
bayi pertama kali muncul dari karya Frecid, yang berpendapat bahwa penyesuaian
diri yang kurang baik dimasa dewasa, berpangkal pada pengalaman pada masa
kanak-kanak yang kurang baik. Ericson juga berpendapat bahwa “masa kanak-kanak
merupakan kancah manusia untuk memulai fungsinya sebagai manusia, tempat dimana
kebaikan dan keburukan kita berkembang dengan lambat tetapi pasti dan tempat
dimana sifat-sifat itu menjadi terasa”. [4]
Sedangkan menurut Elizabeth B. Hurlock, setidaknya, ada
empat alasan yang menyebabkan mengapa dasar-dasar yang diletakkan pada masa
bayi itu penting. Pertama, berlawanan dengan tradisi, sifat-sifat yang
buruk tidak berkurang dengan bertambahnya usia anak, sebaliknya pola-pola yang
terbentuk pada permulaan kehidupan cenderung mapan, apakah itu sifat yang baik
atau buruk, berbahaya atau bermanfaat. Kedua, kalau pola prilaku yang
kurang baik atau kepercayaan dan sifat yang buruk mulai berkembang, maka
semakin cepat hal-hal itu diperbaiki, akan semakin mudah bagi anak. Ketiga,
karena dasar-dasar awal cepat berkembang menjadi kebiasaan melalui pengulangan,
maka dasar-dasar itu akan selamanya mempengaruhi pribadi dan sosial. Keempat,
karena faktor belajar dan pengalaman memainkan peran yang penting dalam
perkembangan, hal itu dapat diarahkan dan dikendalikan sehingga perkembangannya
sejajar dengan jalur yang memungkinkan terjadinya penyesuaian pribadi dan
sosial yang baik.[5]
Sedangkan ciri-ciri yang menonjol dari fase perkembangan
masa bayi yang berlangsung dari minggu kedua sampai tahun kehidupan kedua
adalah, bahwa “periode tersebut merupakan tahun-tahun dasar, masa pertumbuhan
dan perubahan yang pesat dan berkurangnya ketergantungan, masa meningkatnya
individualitas dan permulaan sosialisasi, masa penggolongan peran seks, dan
kreativitas; dan masa yang menarik sekaligus berbahaya”.[6]
2.
Awal Masa Kanak-kanak
Awal masa kanak-kanak yang berlangsung dari 2-6 tahun, dimana pada
masa tersebut anak sudah memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau
wanita dan mampu mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan
diri).[7]
Pada masa tersebut, oleh orang tua disebut sebagai usia yang problematis,
menyulitkan atau mainan. Hal ini disebabkan karena belum cukupnya pengalaman
seorang ibu (terutama pada anak pertama) dalam merawat anak, masa bayi sering
membawa masalah bagi orang tua dan umumnya berkisar pada masalah perawatan
fisik bayi. Dengan datangnya masa kanak-kanak, sering terjadi masalah perilaku
yang lebih menyulitkan dari pada masalah perawatan fisik bayi. Ketergantungan
bayi yang sangat mengundang kasih sayang para orang tua dan hak-haknya. [8]
Sekarang berubah, anak tidak mau ditolong dan cenderung
menolak ungkapan kasih sayang mereka. Disamping itu, diawal masa kanak-kanak
ini, anak cenderung menghabiskan sebagian besar waktunya dengan bermain. Kesanggupan jiwa membentuk tanggapan baru dengan pertolongan
tanggapan yang telah ada, dinamakan fantasi. Anak-anak sangat luas dan leluasa
fantasinya, artinya dapat membuat gambaran khayal yang banyak dan luar biasa
sehingga orang dewasa menganggapnya mustahil, misalnya sapu dan tongkat
diciptakan menjadi kuda-kudaan, kursi dibalikkan menjadi kereta kuda dan
sebagainya. Tetapi mereka belum mampu membedakan antara gambaran pengamatan,
gambaran ingatan, dengan gambaran fantasi, karena akal dan pengertian yang
mereka miliki masih sederhana, sedangkan perasaan dan keinginannya sangat
meluap-luap, cerita dongeng yang luar biasa isinya, berada diluar alam nyata,
sangat menarik perhatian mereka itu dan cerita dongeng itu sangat penting bagi
perkembangan kepribadiannya.[9]
Sebelum anak-anak bersekolah, permainan mempunyai
peranan yang penting dalam kehidupannya, didalam permainan itu anak-anak kita
lihat merdeka dan gembira-ria, fantasi anak yang terutama memberikan
kemungkinan kepada mereka itu untuk dapat mendirikan dunianya yang tersendiri
itu. Dunia pikiran keinginan, kemauan dan perasaan dapat dihayati sepenuhnya
dalam permainan-permainannya. Ia dapat tengelam dalam lubuk fantasinya itu dan
dunia kenyataan tidak menghalanginya sedikit juga. Ciri lain yang paling
menonjol dalam periode ini adalah meniru pembicaraan dan tindakan orang lain.
Namun meskipun kecenderungan ini tampak kuat, tetapi anak lebih menunjukkan
kreativitas dalam bermain.[10]
[1] Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 20.
[3]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, hlm. 151.
[7]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, hlm. 162.
[9]Fuaduddin, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam, Lembaga Kajian
Agama dan Jender, Jakarta, 1999, hlm. 26.
0 comments:
Post a Comment