Masalah
asal mula dan inti dari suatu unsur universal seperti religi atau agama itu,
tegasnya masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu kekuatan yang dianggap
lebih tinggi daripadanya, dan masalah mengapakah manusia melakukan berbagai hal
dengan cara-cara yang beraneka warna untuk mencari hubungan dengan
kekuatan-kekuatan tadi, telah menjadi obyek perhatian para ahli pikir sejak
lama. Adapun mengenai soal itu ada berbagai pendirian dan teori yang
berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah:
- Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa.
- Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan dengan akalnya.
- Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
- Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam sekelilingnya.
- Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakatnya.
- Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia mendapat suatu firman dari Tuhan.
1. Teori Jiwa
“Teori Jiwa”,
pada mulanya berasal dari seorang sarjana antropologi Inggris, E.B.Tylor, dan
diajukan dalam kitabnya yang terkenal berjudul Primitive Cultures (1873). Menurut Tylor, asal mula agama adalah
kesadaran manusia akan faham jiwa. Kesadaran akan faham itu disebabkan karena
dua hal, ialah:
a.
Perbedaan yang tampak kepada manusia
antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Suatu makhluk pada suatu saat
bergerak-gerak, artinya hidup; tetapi tak lama kemudian makhluk tadi tak
bergerak lagi, artinya mati. Demikian manusia lambat laun mulai sadar bahwa
gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan oleh suatu hal yang ada di
samping tubuh-jasmani dan kekuatan itulah yang disebut jiwa.
b.
Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia
melihat dirinya di tempat-tempat lain daripada tempat tidurnya. Demikian
manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan
suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke lain tempat. Bagian lain itulah
yang disebut jiwa.
Sifat abstrak dari jiwa
tadi menimbulkan keyakinan di antara manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung,
lepas dari tubuh jasmani. Pada waktu hidup, jiwa masih tersangkut kepada tubuh
jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur dan waktu manusia
jatuh pingsan. Karena pada suatu saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang,
maka tubuh berada di dalam keadaan yang lemah. Tetapi kata Tylor, walaupun
melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat-saat seperti tidur atau
pingsan, tetap ada. Hanya pada waktu seorang makhluk manusia mati, jiwa
melayang terlepas, dan terputuslah hubungan dengan tubuh jasmani untuk
selama-lamanya. Hal itu tampak dan nyata, kalau tubuh jasmani sudah hancur
berubah debu di dalam tanah atau hilang berganti abu di dalam api upacara
pembakaran mayat; maka jiwa yang telah merdeka terlepas dari jasmaninya itu
dapat berbuat semau-maunya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu,
yang oleh Tylor tidak disebut soul atau jiwa lagi, tetapi disebut spirit atau
mahluk halus. Demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya
akan adanya jiwa menjadi kepercayaan kepada mahluk-mahluk halus.
Pada
tingkat tertua di dalam evolusi religinya manusia percaya bahwa mahluk-mahluk
halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia.
Makhluk-makhluk halus tadi, yang tinggal dekat sekeliling tempat tinggal
manusia, yang bertubuh halus sehingga
tidak dapat tertangkap panca indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal
yang tak dapat diperbuat manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di
dalam kehidupan manusia sehingga menjadi obyek daripada penghormatan dan
penyembahannya, dengan berbagai upacara berupa doa, sajian, atau korban. Agama
serupa itulah yang disebut oleh Tylor animism.
Pada
tingkat kedua di dalam evolusi agama, manusia percaya bahwa gerak alam hidup
itu juga disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala
alam itu. Sungai-sungai yang mengalir dan terjun dari gunung ke laut, gunung
yang meletus, gempa bumi yang merusak, angin taufan yang menderu, jalannya
matahari di angkasa, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan sebagainya, semuanya
disebabkan oleh jiwa alam. Kemudian jiwa alam tadi itu dipersonifikasikan,
dianggap oleh manusia seperti makhluk-makhluk dengan suatu pribadi, dengan
kemauan dan pikiran. Makhluk-makhluk halus yang ada di belakang gerak alam
serupa itu disebut dewa-dewa alam.
Pada
tingkat ketiga di dalam evolusi religi, bersama-sama dengan timbulnya susunan
kenegaraan di dalam masyarakat manusia, timbul pula kepercayaan bahwa alam
dewa-dewa itu juga hidup di dalam suatu susunan kenegaraan, serupa dengan di
dalam dunia makhluk manusia. Demikian ada pula suatu susunan pangkat dewa-dewa
mulai dari raja dewa sebagai yang tertinggi, sampai pada dewa-dewa yang
terendah. Suatu susunan serupa itu lambat laun akan menimbulkan suatu kesadaran
bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan saja dari satu
dewa yang tertinggi itu. Akibat dari kepercayaan itu adalah berkembangnya kepercayaan
kepada satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama monotheisme.[1]
2. Teori Batas
Akal
“Teori Batas
Akal”, berasal dari sarjana besar J.G. Frazer, dan diuraikan olehnya dalam
jilid I dari bukunya yang terdiri dari 12 jilid berjudul The Golden Bough
(1890). Menurut Frazer, manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan
sistem pengetahuannya; tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya.
Makin maju kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu; tetapi dalam banyak
kebudayaan, batas akal manusia masih amat sempit. Soal-soal hidup yang tak
dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan magic, ialah ilmu gaib. Magic
menurut Frazer adalah segala perbuatan manusia (termasuk
abstraksi-abstraksi dari perbuatan) untuk mencapai suatu maksud melalui
kekuatan-kekuatan yang ada dalam alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada
di belakangnya. Pada mulanya kata Frazer, manusia hanya mempergunakan ilmu gaib
untuk memecahkan soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan
akalnya. Agama waktu itu belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun
terbukti bahwa banyak dari perbuatan magicnya itu tidak ada hasilnya juga, maka
mulailah ia percaya bahwa alam itu didiami oleh mahluk-mahluk halus yang lebih
berkuasa daripadanya, maka mulailah ia mencari hubungan dengan makhluk-makhluk
halus yang mendiami alam itu. Demikianlah timbul agama.
Menurut
Frazer memang ada suatu perbedaan yang besar di antara magic dan religion. Magic
adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud
dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada di
dalam alam. Sebaliknya, religion adalah
segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara
menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti
ruh, dewa dsb, yang menempati alam. Kecuali menguraikan pendiriannya tentang
dasar-dasar religi, Frazer juga membuat dalam karangannya The Golden Bough tersebut,
suatu klarifikasi daripada segala macam perbuatan ilmu gaib kepercayaan dalam
beberapa tipe ilmu gaib.[2]
3. Teori
Krisis dalam Hidup Individu
Pandangan ini
berasal antara lain dari sarjana-sarjana seperti M. Crawley dalam bukunya Tree of Life (1905), dan diuraikan
secara luas oleh A. Van Gennep dalam bukunya yang terkenal, Rites de Passages (1909). Menurut sarjana-sarjana tersebut, dalam jangka
waktu hidupnya manusia mengalami banyak krisis yang menjadi obyek perhatiannya,
dan yang sering amat menakutinya. Betapapun bahagianya hidup orang, ia selalu
harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalam hidupnya.
Krisis-krisis itu yang terutama berupa bencana-bencana sakit dan maut, tak
dapat dikuasainya dengan segala kepandaian, kekuasaan, atau kekayaan harta
benda yang mungkin dimilikinya. Dalam jangka waktu hidup manusia, ada berbagai
masa di mana kemungkinan adanya sakit dan maut itu besar sekali, yaitu misalnya
pada masa kanak-kanak, masa peralihan dari usia muda ke dewasa, masa hamil,
masa kelahiran, dan akhirnya maut. Dalam hal menghadapi masa krisis serupa itu
manusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh imannya dan menguatkan
dirinya. Perbuatan-perbuatan serupa itu, yang berupa upacara-upacara pada
masa-masa krisis tadi itulah yang merupakan pangkal dari agama dan
bentuk-bentuk agama yang tertua.[3]
4. Teori
Kekuatan Luar Bisa
Pendirian
ini, yang untuk mudahnya akan kita sebut “Teori Kekuatan Luar Biasa”, terutama
diajukan oleh sarjana antropologi bangsa Inggris, R.R. Marett dalam bukunya The Threshold of Religion (1909).
Sarjana ini mulai menguraikan teorinya dengan suatu kecaman terhadap anggapan-anggapan
Tylor mengenai timbulnya kesadaran manusia terhadap jiwa. Menurut Marett
kesadaran tersebut adalah hal yang bersifat terlampau kompleks bagi pikiran
makhluk manusia yang baru ada pada tingkat-tingkat permulaan dari kehidupannya
di muka bumi ini. Sebagai lanjutan dari kecamannya terhadap teori animisme
Tylor itu, maka Marett mengajukan sebuah anggapan baru. Katanya, pangkal dari
segala kelakuan keagamaan ditimbulkan karena suatu perasaan rendah terhadap
gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai biasa di dalam
kehidupan manusia. Alam tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa itu
berasal, dan yang dianggap oleh manusia dahulu sebagai tempat adanya
kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah dikenal manusia di
dalam alam sekelilingnya, disebut Supernatural. Gejala-gejala, hal-hal, dan
peristiwa-peristiwa yang luar biasa itu dianggap akibat dari suatu kekuatan
supernatural, atau kekuatan luar biasa, atau kekuatan sakti.
Adapun
kepercayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala-gejala, hal-hal
dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa tadi, dianggap oleh Marett suatu kepercayaan
yang ada pada makhluk manusia sebelum ia percaya kepada makhluk halus dan ruh;
dengan kata lain, sebelum ada kepercayaan animisme. Itulah sebabnya bentuk
agama yang diuraikan Marett itu sering disebut pra animisme.[4]
[1]
Romdhon, et. al, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga , Press,
Yogyakarta, 1988, hlm. 18-19.
[2]
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama,
CV Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 40-41.
[3]
Koenjtaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat,
Jakarta 1972, hlm. 222-223.
[4]Hilman
Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran
kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 32-33.
0 comments:
Post a Comment