Pendidikan
sebagai langkah awal bagi pendewasaan seseorang telah mengalami pergeseran
paradigma, ini disebabkan karena hakekat, substansi serta tujuan dari
pendidikan telah tercabut dari akarnya. Pendidikan sebagai proses awal bagi
manusia untuk dapat mengetahui realita kehidupan dunia ternyata hanyalah teori
belaka. Salah satunya sekolah yang merupakan lembaga penyelenggara pendidikan
telah membuat pendidikan itu sendiri kehilangan substansi.
Masyarakat merupakan salah satu pendukung terhadap keberhasilan
pendidikan. Oleh karena itu masyarakat dan lingkungan sekolah perlu
dibudidayakan secara optimal. Masyarakat memerlukan jasa sekolah untuk
mendapatkan program-program pendidikan sesuai dengan yang diinginkan. Hubungan
sekolah dengan masyarakat sangat besar manfaat dan artinya bagi kepentingan
pembinaan dukungan moral, material, dan pemanfaatan masyarakat sebagai sumber
belajar. Sebuah peradaban tak bisa hanya dinilai dari kemajuan teknologi saja,
karena tanpa diimbangi dengan membangun moral spiritual hanya akan melahirkan
generasi-generasi tiran, amoral, bahkan paranoid.[1]
PERMASALAHAN
Dewasa ini
pendidikan yang ada di sekolah formal tidak menjamin semua lulusannya menjadi “orang
sesungguhnya”. Justru pendidikan di sekolah non-formallah banyak melahirkan
generasi yang siap menjalani kehidupan nyata. Karena lewat pendidikan di
sekolah non formal mereka bisa menyatu dengan alam sehingga tahu bagaimana cara
membangun kehidupan yang nyata. Sehingga dalam makalah saya ini sedikit akan
membahas mengenai Pendidikan di Alam Bebas “Masyarakat”.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan adalah proses mendewasakan manusia, transfer and transmitter
of knowledge and value. Pendidikan merupakan proses awal kehidupan manusia,
wilayahnya menjadi titik awal bagaimana mencari tujuan menentukan arah.
Pendidikan tak hanya terkungkung dalam ruang kelas yang kecil, dan teralienasi
dari realitas sosial. Maka disini saya berusaha menghadirkan bahwa alam semesta
ini adalah sebuah ruang kelas raksasa.
Pendidikan merupakan pengalaman yang tak terbatas dalam waktu dan bentuk
adalah sifat random. Yakni terjadi kapanpun sepanjang kurun waktu, usia hidup
dimanapun, kapanpun dalam perjalanan hidup seseorang dan siapapun dari umat
manusia adalah pelajaran dengan pengalaman hidup sebagai guru dan lingkungan
adalah tempat belajar umat manusia.[2]
Tugas utama sebuah pendidikan adalah mengalihkan informasi, aturan dan
nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya untuk mempertahankan substansi
dan melindungi pencapaian generasi berikutnya.
Pendidikan yang berbasis pada masyarakat pendidikan yang diselenggarakan dari,
oleh dan untuk masyarakat (aturan, prosedur, pembiayaan) diselenggarakan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Sedang perintah secara langsung atau tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Sedang pemerintah secara langsung atau tidak hanya
berperan dalam meningkatkan sumber daya manusianya melalui dukungan pada
aspek-aspek yang tidak mampu dipecahkan oleh masyarakat.[3]
Ciri pendidikan kemandirian karena segala bentuk urusan diserahkan pada
masyarakat sendiri. Pada bentuk ini pendidikan dan pengajaran didasari
kesadaran akan adanya daya yang kuat dalam masyarakat untuk menentukan,
merencanakan, mengembangkan, membiayai, melaksanakan dan menggerakkan segala bentuk
pembelajaran yang mereka perlukan.
Pendidikan yang membebaskan merupakan pendidikan yang menyempurnakan
proses pemecahan masalah secara ilmiah, mengedepankan penyelidikan tertentu
yang bisa memberi hasil pengetahuan obyektif (yang lebih efektif dan lebih bisa
dipercaya). Semua upaya adalah demi menuntaskan masalah-masalah praktis dan
bukan membuat keabstrakan. Pendidikan di alam bebas ini menanamkan budi pekerti
yang menentukan beradab atau tidaknya manusia.
Kebebasan itu terwujud atau terlihat ketika individu-individu bersatu
dengan cara tertentu, ketika mereka hadir secara otentik (tanpa kedok
kepura-puraan atau pangkat) ketika mereka mempunyai kegiatan yang dapat mereka
jalankan bersama.
B.
Hakekat Alam Semesta
(Masyarakat)
Dengan adanya pendidikan di alam bebas (masyarakat) ini manusia akan
terdorong untuk mencari pemecahan masalah yang dihadapinya. Dalam pendidikan
ini setiap individu manusia menjadi buah pikiran, pendirian, contoh, dan tujuan
untuk mencapai kebahagiaan.
Masyarakat merupakan sarana yang sangat berperan dalam
membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Maka
hubungan sekolah dan masyarakat harus berjalan dengan baik, juga rasa
tanggungjawab dan partisipasi masyarakat untuk memajukan sekolah sehingga akan
menghasilkan lulusan yang berkualitas terhadap ilmu pengetahuan ketrampilan dan
sikap yang dapat dijadikan bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang
berikutnya atau hidup dimasyarakat sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup.[4]
Dalam sekolah alam tidak hanya dijadikan sebagai obyek pembelajaran namun
juga dijadikan sebagai partner, sehingga tidak ada lagi yang namanya
eksploitasi alam secara membabi-buta. Dalam sekolah alam peserta didik bebas
berekspresi karena pada hakekatnya belajar dalam sekolah alam adalah penumbuhan
jatidiri, gagasan, kreatifitas yang sesungguhnya.[5]
Maksudnya para siswa kelas alam tidak hanya belajar pengetahuan diatas
menara gading intelektual. Namun juga secara aktif terlibat langsung proses
transformasi sosial. Peserta didiknya “berpenampilan” orisinal tanpa
kepalsuan sebab ia tidak diikat oleh peraturan “penjara” sekolah konvensional.
Materi pelajaran bersifat sukarela, disesuaikan dengan kebutuhan, potensi
masing-masing. Sekolah alam benar-benar bebas secara jasmani dan rohani sehingga
potensi manusia dapat digali secara optimal.
Jadi lupakanlah “guru berpidato diatas panggung dan siswa mendengarkan
dengan baik, akan tetapi rubahlah dengan siswa aktif berkreasi diatas panggung
dan guru mengarahkan dari jauh”.
Sekolah sampai bisa dikatakan penjara karena peserta didik hanya
diumpamakan sebagai gelas kosong yang siap diisi air oleh guru-gurunya dimana
setiap apa yang dikatakan dilakukan dan dikerjakan oleh seorang pengajar mutlak
kebenarannya jadi siswa diwajibkan untuk mengikutinya. Tidak ada sama sekali
kebebasan siswa. Mereka sangat terikat dengan adanya peraturan-peraturan
tertulis, padahal yang terjadi pada pendidikan formal Indonesia. Para
pengajar tidak sedikit yang mencontoh hal-hal yang terkadang menyimpang dan
tidak sesuai dengan etika yang ada tapi mereka tak mau disalahkan, bisa jadi
kalau ada siswa yang berani menyalahkan maka ancamannya adalah nilai. Bisa-bisa
dikasih nilai merah dalam raportnya. Misal perbuatannya adalah: guru dengan
anak duduk diatas meja, padahal perbuatan itu termasuk dhalim dan masih banyak
lagi contoh lainnya.
Jadi apalah daya siswa di sekolah formal. Hal ini akan berbeda dengan
sekolah di alam bebas dimana siswa bisa mengungkapkan apa saja “Unek-unek” yang
ada dalam pikirannya tanpa harus tertekan dengan aturan-aturan tertulis, mereka
justru lebih bebas, lebih mudah berkreasi dan berekspresi.
C. Kurikulum
Kemandirian merupakan kata kunci keberhasilan dalam sekolah alam. Manusia
tidak hanya sebagai pelaksana lapangan tapi lebih menekankan pada individu itu
sendiri sebagai manager terhadap dirinya. (Jadi selain manusia sebagai
perencana, pelaksana, juga sebagai evaluator). Sebab dialah yang tahu
tentang dirinya sendiri bukan orang lain.
Inti kurikulumnya adalah kehidupan manusia meskipun itu berbeda, namun
pada dasarnya sama terbentuk oleh sebuah kecakapan. Kehidupan berusaha
mempersiapkan kecakapan-kecakapan tersebut dengan teliti, dan sempurna.
Kecakapan itu bermacam-macam tergantung pada tingkatan maupun jenis lingkungan.
Disetiap tingkatan dan lingkungan menuntut penguasaan pengetahuan, ketrampilan,
sikap, kebebasan dan apresiasi tertentu.[6]
Sekolah yang hanya memberikan sebagian kecil pengetahuan dan pendidikan
bagi seseorang, baik itu bagi kehidupan sekarang atau yang akan datang karena
diluar sekolahan adalah tempat sesungguhnya manusia dapat belajar dan mengenyam
hakekat pendidikan.
Sangat menyedihkan sekali memang karena banyak masyarakat yang masih
menganggap sekolah sebagai tempat pemujaan dan dipercaya bagi sebagian orang
untuk dapat merubah hidup seseorang menjadi baik. Tapi pada kenyataannya justru
dengan bersekolah malah membuat nasib seseorang semakin tidak jelas.
Dalam tinjauan Freise, tokoh pendidikan dari Brasil berpendapat bahwa
sekolah-sekolah yang bersifat formal merupakan tempat bagi para peserta didik.
Hal itu diakibatkan karena kewajiban yang sangat memberatkan harus dijalankan
oleh para peserta didik. Salah satunya menurut Freise adalah sistem
pembelajaran yang bergaya bank dan lebih bersifat vertikal.[7]
Analisis
Belajar untuk
tahu menjadi basis bagi pelajar untuk dapat melakukan belajar untuk dapat
melakukan merupakan basis bagi pelajar untuk mandiri. Belajar untuk mandiri merupakan
basis belajar untuk bekerja sama. Tahu, dapat, mandiri, dan kemampuan bekerja
sama merupakan kesatuan dan persyaratan bagi individu untuk meningkatkan
kualitas kehidupannya. Bahwa tidak semua siswa yang tahu dapat melakukan dalam
arti memiliki ketrampilan, tetapi yang dapat melakukan pasti memiliki
pengetahuan. Sebagai dasar teoritik tidak semua yang dapat melakukan dapat
memiliki kemandirian karena untuk menjadi mandiri memerlukan syarat lain, tapi
yang memiliki kemandirian pasti memiliki ketrampilan khusus sebagai basisnya.
Lewat pendidikan ini merupakan langkah tepat untuk membuat sebuah
keberhasilan suatu pendidikan. Karena dalam pendidikan ini siswa bisa mengalami
dan mempraktikkan secara langsung materi pelajaran yang telah diberikannya
sehingga daya ingat siswa akan menjadi kuat. Seorang guru akan mudah memberikan
materi karena siswa terkait langsung dengan lingkungan alam terbuka dimana
masyarakat terlibat langsung dalam pembelajaran itu. Masyarakat tidak hanya
sebagai penonton pendidikan tapi sebagai pendukung dan pelaksana.
Kesimpulan
Ada anggapan
bahwa daripada mengenyam pendidikan lewat sekolah formal yang pada akhirnya tak
menentu mau kemana arah tujuannya, belum tentu lewat sekolah formal orang bisa
langsung bekerja dibanding dengan orang yang punya pengalaman banyak tentang
dunia nyata maka banyak orang yang enggan untuk seolah di formal.
Pendidikan dalam arti luas adalah masyarakat dan segala bentuk
kesosialannya. Pendidikan merupakan sebuah pengalaman yang tak terbatas dalam
waktu dan bentuk adalah bersifat random. Yakni terjadi kapanpun sepanjang kurun
waktu usia hidup dimanapun kapanpun dalam kehidupan manusia. Pendidikan diarahkan
untuk membangun masyarakat. Pembangunan masyarakat adalah proses pendidikan
masyarakat yang menginginkan perbaikan, perkembangan, perubahan, dan tantangan
dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.
DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Mudyhardjo, Redja, Filsafat Ilmu Pendidikan, Rosda Karya,
Bandung, 2001.
Mulyasa, E., MBS, Rosda, Bandung, 2003.
O’neil, William F., Ideologi Pendidikan, alih bahasa, Omi Intan
Naomi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Partanto, Pius A., dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,
Arloka, Surabaya,
1994.
Sukmadinata, Syaudih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,
Rosda Karya, Bandung, 1999.
Umberto, Sihombing, Pendidikan Berbasis Masyarakat, CV. Multi
Guna, Jakarta,
2002.
[1]
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arloka, Surabaya, 1994, hal. 752
[2] Redja
Mudyhardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, Rosda Karya, Bandung, 2001, hal.
146
[3] Sihombing
Umberto, Pendidikan Berbasis Masyarakat, CV. Multi Guna, Jakarta, 2002, hal. 1
[4] E.
Mulyasa, MBS, Rosda, Bandung, 2003, hal. 152
[5]
William F. O’neil, Ideologi Pendidikan, alih bahasa, Omi Intan Naomi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal. XVII
[6] Syaudih
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Rosda Karya,
Bandung, 1999, hal. 28
[7]
Paulo Freire, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan and Pembebasan,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
0 comments:
Post a Comment