Fitrah adalah
kejadian asal atau pembawaan asli yang ada pada diri manusia beserta sifat dan
potensinya. Menurut M. Quraish Shihab dalam buku yang berjudul “Wawasan Al
Quran” menyatakan bahwa, “kata fitrah terambil dari akar kata fathr
yang berarti belahan atau kejadian, fitrah manusia adalah kejadiannya sejak
semula atau bawaan sejak lahirnya”[1].
Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan, “manusia berjalan dengan
kakinya adalah fitrah jasadiyahnya, berfikir untuk menarik kesimpulan melalui
premis-premis adalah fitrah akhliahnya, senang dan gembira juga adalah
fitrahnya”[2].
Menurut Syahminan Zaini dalam buku yang berjudul “Ciri Khas Manusia”
menyatakan bahwa, “fitrah adalah potensi-potensi tertentu yang ada pada diri
manusia yang dibawanya semenjak lahir”[3].
Fitrah adalah apa yang ada pada diri manusia sejak dijadikannya/diciptakannya
oleh Allah SWT yang berkaitan dengan aspek jasmani dan rohani serta
kemampuan-kemampuan yang ada pada kedua aspek tersebut.
Manusia
secara fitrah sebagai makhluk ciptaan Allah yang dianugerahi kemampuan akal
pikiran. Akal pikiran merupakan potensi sentral manusia. Menurut Hasan
Langgulung dalam “Manusia dan Pendidikan” menyatakan bahwa, “akal dalam
pandangan Islam adalah substansi rohaniah yang dengannya ruh berfikir dan
membedakan yang baik dari yang bathil."[4].
Menurut Abdul Fattah Jalal sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir bahwa, “kata ‘Aqala dalam Al Quran kebanyakan dalam
bentuk fi’il (kata kerja); hanya sedikit dalam bentuk ism (kata benda)”[5].
Lebih lanjut Abdul Fattah Jalal mengatakan bahwa, “kata ‘aqal menghasilkan ‘aqaluhu,
ta’qilana, na’qilu, ya’qiluha dan
ya’qiluna dimuat dalam Al Quran di 49
tempat. Kata albab, jamak kata lubbun yang berari akal terdapat di 16
tempat dalam Al Quran”[6].
Akal merupakan
aspek manusia yang terpenting yang digunakan untuk berfikir, menimbang dan
membedakan perkara yang baik dari yang buruk.
Al
Quran menekankan pentingnya penggunaan akal fikiran. Dalam QS. Al Anfal ayat 22
disebutkan:
“Sesungguhnya binatang yang
paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak
mengerti apa-apa”.[7]
Manusia dengan mempergunakan akalnya akan
mampu memahami dan mengamalkan wahyu Allah serta mengamati gejala-gejala alam,
bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak.
Manusia
secara fitrah memiliki kalbu. Menurut Ahmad Tafsir bahwa, “kalbu inilah yang
merupakan potensi manusia yang mampu beriman secara sungguh-sungguh”[8].
Dalam QS. Al Hujurat ayat 14 disebutkan:
“Orang-orang arab badui itu berkata,
“kami telah beriman”. Katakan kepada mereka, “kamu belum beriman, tetapi
katakanlah kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”[9].
Kekuatan kalbu lebih jauh daripada
kekuatan akal. Bahkan kalbu dapat mengetahui objek secara tidak terbatas. M.
Quraish Shihab menyatakan bahwa, “kalbu memang menampung hal-hal yang didasari
oleh pemiliknya”[10].
Oleh karena itu Islam amat mengistemewakan kalbu. Kalbu dapat menembus alam
ghaib, bahkan menembus Allah, merasakan Allah dengan iman.
Manusia dilengkapi
Allah dengan perasaan dan keimanan atau kehendak. Manusia dengan kehendaknya
bebas dalam memilih perbuatannya. Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip
Arbiyah Lubis menyatakan bahwa, “akal dan kebebasan memilih adalah natur
manusia …”[11].
Lebih lanjut Muhammad Abduh menyatakan bahwa, “kebebasan yang dimaksud bukanlah
kebebasan tanpa batas atau kebebasan yang bersifat absolut.”[12].
Menurut H. Muhammad Daud Ali dalam buku yang berjudul “Pendidikan Agama Islam”
menyatakan bahwa, “dengan kemauan atau kehendaknya yang bebas (free will)
manusia dapat memilih jalan yang akan ditempuhnya”[13].
Manusia memiliki kemauan yang bebas dalam menentukan pilihannya. Namun dengan
pilihan tersebut manusia wajib mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat, pada
hari perhitungan mengenai baik buruknya perbuatan manusia di dunia.
Manusia dengan
kemauan dan kebebasannya sebagaimana tersebut di atas, manusia dibebani amanah
oleh Allah SWT yaitu tanggung jawab memiliki dan memelihara nilai-nilai
keutamaan. Manusia sebagai khalifah (pemegang kekuasaan Allah) di bumi bertugas
memakmurkan bumi dan segala isinya. Memakmurkan bumi artinya mensejahterakan
kehidupan di dunia ini. Menurut Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani dalam “Falsafah
Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “manusia dilantik menjadi khalifah di
bumi untuk memakmurkannya. Untuk itu
dibebankan kepada manusia amanah Attaklif “[14].
Dalam QS. Al-Ahzab ayat 72 disebutkan;
“Sesungguhnya
kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya
enggan untuk memikulnya dan mereka takut akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[15].
Menurut Aisyah Abdurrahman sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Daud Ali bahwa, “perkataan amanah dalam ayat di atas
lebih tepat kalau diartikan ujian yang mengiringi suatu tugas kemerdekaan
berkehendak dan bertanggung jawab mengenai pilihannya[16].
Oleh karena itu manusia wajib bekerja, beramal shalih (berbuat baik yang
bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungan hidupnya) serta menjaga
keseimbangan alam dan bumi yang didiaminya, sesuai dengan tuntutan yang
diberikan Allah melalui agama.
Fitrah manusia
dengan segenap potensinya sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas pada
dasarnya baik dan sempurna, namun masih merupakan potensi yang mengandung
berbagai kemungkinan, kemungkinan untuk menerima kebaikan atau keburukan.
Dengan kata lain fitrah tersebut belum berarti apa-apa bagi kehidupan manusia
sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan. Manusia berkewajiban
mengembangkan dan menggunakan potensi positifnya dalam kehidupan.
Salah satu upaya
dalam rangka mengaktualisasikan dan memberdayakan fitrah dan potensi manusia
yaitu dengan melalui pendidikan dan pengajaran. Menurut K. Sukardji dalam buku
yang berjudul “Ilmu Pendidikan dan Pengajaran Agama” menyatakan bahwa, “jiwa
fitrah anak (manusia) harus dikembangkan melalui pendidikan dan pengajaran
dengan sebaik-baiknya”[17]. Menurut H.M. Arifin, dalam buku yang berjudul
“Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat” menyatakan bahwa, “untuk
mengaktualisasikan dan memfungsikan potensi manusia diperlukan ikhtiar
kependidikan yang sistematis berencana berdasarkan pendekatan dan wawasan yang
interdisipliner”[18].
Fitrah dan potensi manusia dengan melalui pendidikan yang sistematis dan
terarah akan berpengaruh pada perkembangan dan proses realisasi diri manusia,
yaitu manusia yang berkualitas bajik (beriman, berilmu dan beramal) sejalan
dengan ketetapan Allah SWT.
[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung, 1998,
hlm. 284.
[2] Ibid, hlm. 285.
[3] Syahminan Zaini, Kusuma Seta, Ciri
khas Manusia, Kalam Mulia, Jakarta, 1986, hlm. 37
[4] Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidikan, Al Husna Zikra, Jakarta, 1995, hlm. 93.
[5] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 39.
[6] Ibid.
[7] R.H.A. Soenarjo, dkk., Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an, hlm. 263.
[8] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan,
hlm. 45.
[9] R.H.A. Soenarjo, dkk. Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 848
[10] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, hlm. 289
[11] Arbiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyah dan Muhammad Abduh suatu studi perbandingan, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1993, hlm. 125.
[12] Ibid, hlm. 126
[13] Muhammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 18.
[14] Omar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 107.
[15] R.H.A. Soenarjo, dkk. Al-Qur’an
dan Terjamahnya, hlm. 680.
[16] Muhammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, hlm. 16.
[17] K. Sukardji, Ilmu Pendidikan
dan Pengajaran Agama, cv. Indradjaya, Jakarta, 1970, hlm. 11.
[18] H.M. Arifin, Pendidikan Islam
dalam Arus Dinamika Masyarakat, PT Golden Terayon Press, Jakarta, 1988,
hlm. 6.
0 comments:
Post a Comment