Showing posts with label fitrah manusia. Show all posts
Showing posts with label fitrah manusia. Show all posts

Monday, 15 February 2016

HAKIKAT MANUSIA DICIPTAKAN SEBAGAI MAHLUK YANG SEMPURNA

Seperti yang telah diuraikan disini, bahwa fitrah manusia meliputi segenap aspek jasmani dan rohani serta kemampuan-kemampuan yang ada pada kedua aspek tersebut. Manusia secara fisik mempunyai bentuk yang lebih baik, lebih indah, lebih sempurna. Dalam QS. At-Tiin ayat 4 ditegaskan:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tiin : 4)[1]

Menurut Zuhairini dalam buku yang berjudul “Filsafat Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “kesempurnaan bentuk fisik tersebut, masih dilengkapi oleh Allah dengan ditiupkan kepadanya ruhnya, sehingga manusia mempunyai derajat yang mulia, lebih mulia dari malaikat”[2]. Karunia Allah yang begitu besar yang diberikan kepada manusia tersebut merupakan bukti bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna, memiliki derajat paling tinggi bahkan melebihi derajat malaikat.
Manusia secara kodrati bukanlah malaikat atau setan. Malaikat adalah makhluk yang senantiasa taat kepada semua perintah Allah, sedangkan setan adalah makhluk yang senantiasa mengingkari perintah Allah. Menurut Chairil Anwar dalam buku yang berjudul “Islam dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI” menyatakan bahwa, “manusia adalah makhluk ideal yang posisinya berada diantara kedua ekstrim malaikat dan setan”[3]. Oleh karena itu manusia bisa memiliki sikap patuh dan taat terhadap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun sebaliknya manusia bisa pula mengingkari perintah Allah dan mengerjakan larangan-Nya.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan bentuk jasmani dan rohani, manusia berkewajiban patuh dan taat terhadap semua perintah Allah SWT serta menjauhi semua larangan-Nya. Realisasi kepatuhan dan ketaatan manusia tersebut diwujudkan oleh Allah dalam suatu tugas kekhalifahan. Sebagai khalifah, manusia adalah pelaksana dari kekuasaan dan kehendak (kodrat dan iradat) Allah SWT. Manusia harus meniru contoh yang diberikan para Nabi dan Rasul Allah, karena mereka adalah manusia sempurna (insan kamil). Menurut Ace Partadiredja dalam bukunya “Al-Quran, Mu’jizat, Karomat, Maunat dan Hukum Evolusi Spiritual” menyatakan bahwa, “manusia yang berakhlaq sempurna, seperti contohnya para Nabi, adalah yang dapat mempersatukan kehendaknya dengan kehendak Allah”[4]. Manusia sebagai hamba Allah SWT berkewajiban merealisasi fungsi kekhalifahan dengan meniru contoh akhlaq para Nabi dan Rasul sehingga manusia berfungsi kreatif, mengembangkan diri dan memelihara diri dari kehancuran. Dalam keyakinan umat Islam para Nabi dan Rasulullah adalah contoh cara hidup manusia. Dengan demikian hidup dan kehidupan manusia berkembang dan mengarah kepada kesempurnaan, tidak hanya sempurna akhlaknya, tetapi juga sempurna ketuhanannya, sempurna penguasaannya atas dunia benda, termasuk badannya sendiri yang juga benda.
Konsekuensi dari kesempurnaan manusia dalam merealisasikan fungsi kekhalifahan yang sesuai dengan amanat Allah SWT, maka sangat diperlukan adanya pendidikan serta ilmu pengetahuan yang akan menunjang kesuksesannya. Dengan pandangan yang terpadu, sebagai khalifah (kuasa atau wakil) Allah SWT di muka bumi, manusia tidak boleh berbuat kerusakan yang mencerminkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Allah SWT. Menurut H. Abudin Nata, dalam “Filsafat Pendidikan Islam” menyatakan, “konsep Al Quran tentang kekhalifahan dan ibadah erat kaitannya dengan pendidikan”[5]. Pendidikan, pengajaran, ketrampilan serta pendukung lainnya sangat penting bagi manusia agar dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dan beribadah dengan baik.


[1] R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk, Al Qur’an dan Terjamahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an, hlm. 1076.

[2] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 78.

[3] Chairil Anwar, Islam dan Tantangan Abad XXI, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2000, hlm. 126.
[4] Ace Partadiredja, Al Qur’an, Mu’jizat, Karomat, Maunat dan Hukum Evolusi Spiritual, PT Dana Bhakti Dana Yasa, Yogyakarta, 1997, hlm. 100.
[5] H. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 41.
Share:

Saturday, 13 February 2016

HAKIKAT FITRAH MANUSIA


Fitrah adalah kejadian asal atau pembawaan asli yang ada pada diri manusia beserta sifat dan potensinya. Menurut M. Quraish Shihab dalam buku yang berjudul “Wawasan Al Quran” menyatakan bahwa, “kata fitrah terambil dari akar kata fathr yang berarti belahan atau kejadian, fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya”[1]. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan, “manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiyahnya, berfikir untuk menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah akhliahnya, senang dan gembira juga adalah fitrahnya”[2]. Menurut Syahminan Zaini dalam buku yang berjudul “Ciri Khas Manusia” menyatakan bahwa, “fitrah adalah potensi-potensi tertentu yang ada pada diri manusia yang dibawanya semenjak lahir”[3]. Fitrah adalah apa yang ada pada diri manusia sejak dijadikannya/diciptakannya oleh Allah SWT yang berkaitan dengan aspek jasmani dan rohani serta kemampuan-kemampuan yang ada pada kedua aspek tersebut.
Manusia secara fitrah sebagai makhluk ciptaan Allah yang dianugerahi kemampuan akal pikiran. Akal pikiran merupakan potensi sentral manusia. Menurut Hasan Langgulung dalam “Manusia dan Pendidikan” menyatakan bahwa, “akal dalam pandangan Islam adalah substansi rohaniah yang dengannya ruh berfikir dan membedakan yang baik dari yang bathil."[4]. Menurut Abdul Fattah Jalal sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir bahwa, “kata ‘Aqala dalam Al Quran kebanyakan dalam bentuk fi’il (kata kerja); hanya sedikit dalam bentuk ism (kata benda)”[5]. Lebih lanjut Abdul Fattah Jalal mengatakan bahwa, “kata ‘aqal menghasilkan ‘aqaluhu, ta’qilana, na’qilu, ya’qiluha dan ya’qiluna dimuat dalam Al Quran di 49 tempat. Kata albab, jamak kata lubbun yang berari akal terdapat di 16 tempat dalam Al Quran”[6].
Akal merupakan aspek manusia yang terpenting yang digunakan untuk berfikir, menimbang dan membedakan perkara yang baik dari yang buruk.
Al Quran menekankan pentingnya penggunaan akal fikiran. Dalam QS. Al Anfal ayat 22 disebutkan:
Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa”.[7]
Manusia dengan mempergunakan akalnya akan mampu memahami dan mengamalkan wahyu Allah serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak.
Manusia secara fitrah memiliki kalbu. Menurut Ahmad Tafsir bahwa, “kalbu inilah yang merupakan potensi manusia yang mampu beriman secara sungguh-sungguh”[8]. Dalam QS. Al Hujurat ayat 14 disebutkan:
Orang-orang arab badui itu berkata, “kami telah beriman”. Katakan kepada mereka, “kamu belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu[9].
Kekuatan kalbu lebih jauh daripada kekuatan akal. Bahkan kalbu dapat mengetahui objek secara tidak terbatas. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa, “kalbu memang menampung hal-hal yang didasari oleh pemiliknya”[10]. Oleh karena itu Islam amat mengistemewakan kalbu. Kalbu dapat menembus alam ghaib, bahkan menembus Allah, merasakan Allah dengan iman.
Manusia dilengkapi Allah dengan perasaan dan keimanan atau kehendak. Manusia dengan kehendaknya bebas dalam memilih perbuatannya. Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Arbiyah Lubis menyatakan bahwa, “akal dan kebebasan memilih adalah natur manusia …[11]. Lebih lanjut Muhammad Abduh menyatakan bahwa, “kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan tanpa batas atau kebebasan yang bersifat absolut.”[12]. Menurut H. Muhammad Daud Ali dalam buku yang berjudul “Pendidikan Agama Islam” menyatakan bahwa, “dengan kemauan atau kehendaknya yang bebas (free will) manusia dapat memilih jalan yang akan ditempuhnya”[13]. Manusia memiliki kemauan yang bebas dalam menentukan pilihannya. Namun dengan pilihan tersebut manusia wajib mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat, pada hari perhitungan mengenai baik buruknya perbuatan manusia di dunia.
Manusia dengan kemauan dan kebebasannya sebagaimana tersebut di atas, manusia dibebani amanah oleh Allah SWT yaitu tanggung jawab memiliki dan memelihara nilai-nilai keutamaan. Manusia sebagai khalifah (pemegang kekuasaan Allah) di bumi bertugas memakmurkan bumi dan segala isinya. Memakmurkan bumi artinya mensejahterakan kehidupan di dunia ini. Menurut Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani dalam “Falsafah Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “manusia dilantik menjadi khalifah di bumi untuk memakmurkannya.  Untuk itu dibebankan kepada manusia amanah Attaklif “[14]. Dalam QS. Al-Ahzab ayat 72 disebutkan;
Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka takut akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[15].
Menurut Aisyah Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Muhammad Daud Ali bahwa, “perkataan amanah dalam ayat di atas lebih tepat kalau diartikan ujian yang mengiringi suatu tugas kemerdekaan berkehendak dan bertanggung jawab mengenai pilihannya[16]. Oleh karena itu manusia wajib bekerja, beramal shalih (berbuat baik yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungan hidupnya) serta menjaga keseimbangan alam dan bumi yang didiaminya, sesuai dengan tuntutan yang diberikan Allah melalui agama.
Fitrah manusia dengan segenap potensinya sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas pada dasarnya baik dan sempurna, namun masih merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan, kemungkinan untuk menerima kebaikan atau keburukan. Dengan kata lain fitrah tersebut belum berarti apa-apa bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan. Manusia berkewajiban mengembangkan dan menggunakan potensi positifnya dalam kehidupan.
Salah satu upaya dalam rangka mengaktualisasikan dan memberdayakan fitrah dan potensi manusia yaitu dengan melalui pendidikan dan pengajaran. Menurut K. Sukardji dalam buku yang berjudul “Ilmu Pendidikan dan Pengajaran Agama” menyatakan bahwa, “jiwa fitrah anak (manusia) harus dikembangkan melalui pendidikan dan pengajaran dengan sebaik-baiknya”[17].  Menurut H.M. Arifin, dalam buku yang berjudul “Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat” menyatakan bahwa, “untuk mengaktualisasikan dan memfungsikan potensi manusia diperlukan ikhtiar kependidikan yang sistematis berencana berdasarkan pendekatan dan wawasan yang interdisipliner”[18]. Fitrah dan potensi manusia dengan melalui pendidikan yang sistematis dan terarah akan berpengaruh pada perkembangan dan proses realisasi diri manusia, yaitu manusia yang berkualitas bajik (beriman, berilmu dan beramal) sejalan dengan ketetapan Allah SWT.


[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 284.
[2] Ibid, hlm. 285.
[3] Syahminan Zaini, Kusuma Seta, Ciri khas Manusia, Kalam Mulia, Jakarta, 1986, hlm. 37
[4] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Al Husna Zikra, Jakarta, 1995, hlm. 93.
[5] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 39.
[6] Ibid.
[7] R.H.A. Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an, hlm. 263.
[8] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, hlm. 45.
[9]  R.H.A. Soenarjo, dkk. Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 848
[10] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, hlm. 289
[11] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh suatu studi perbandingan, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1993, hlm. 125.
[12] Ibid, hlm. 126
[13] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 18.
[14] Omar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 107.
[15] R.H.A. Soenarjo, dkk. Al-Qur’an dan Terjamahnya, hlm. 680.
[16] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, hlm. 16.
[17] K. Sukardji, Ilmu Pendidikan dan Pengajaran Agama, cv. Indradjaya, Jakarta, 1970, hlm. 11.
[18] H.M. Arifin, Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat, PT Golden Terayon Press, Jakarta, 1988, hlm. 6.
Share:

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.