Seperti yang telah diuraikan disini, bahwa
fitrah manusia meliputi segenap aspek jasmani dan rohani serta
kemampuan-kemampuan yang ada pada kedua aspek tersebut. Manusia secara fisik
mempunyai bentuk yang lebih baik, lebih indah, lebih sempurna. Dalam QS.
At-Tiin ayat 4 ditegaskan:
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS.
At-Tiin : 4)[1]
Menurut Zuhairini dalam buku yang
berjudul “Filsafat Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “kesempurnaan bentuk
fisik tersebut, masih dilengkapi oleh Allah dengan ditiupkan kepadanya ruhnya,
sehingga manusia mempunyai derajat yang mulia, lebih mulia dari malaikat”[2].
Karunia Allah yang begitu besar yang diberikan kepada manusia tersebut
merupakan bukti bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna, memiliki
derajat paling tinggi bahkan melebihi derajat malaikat.
Manusia secara
kodrati bukanlah malaikat atau setan. Malaikat adalah makhluk yang senantiasa
taat kepada semua perintah Allah, sedangkan setan adalah makhluk yang
senantiasa mengingkari perintah Allah. Menurut Chairil Anwar dalam buku yang
berjudul “Islam dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI” menyatakan bahwa, “manusia
adalah makhluk ideal yang posisinya berada diantara kedua ekstrim malaikat dan
setan”[3].
Oleh karena itu manusia bisa memiliki sikap patuh dan taat terhadap perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun sebaliknya manusia bisa pula mengingkari
perintah Allah dan mengerjakan larangan-Nya.
Manusia sebagai
makhluk yang memiliki kesempurnaan bentuk jasmani dan rohani, manusia
berkewajiban patuh dan taat terhadap semua perintah Allah SWT serta menjauhi
semua larangan-Nya. Realisasi kepatuhan dan ketaatan manusia tersebut
diwujudkan oleh Allah dalam suatu tugas kekhalifahan. Sebagai khalifah, manusia
adalah pelaksana dari kekuasaan dan kehendak (kodrat dan iradat) Allah SWT.
Manusia harus meniru contoh yang diberikan para Nabi dan Rasul Allah, karena
mereka adalah manusia sempurna (insan kamil). Menurut Ace Partadiredja dalam
bukunya “Al-Quran, Mu’jizat, Karomat, Maunat dan Hukum Evolusi Spiritual”
menyatakan bahwa, “manusia yang berakhlaq sempurna, seperti contohnya para
Nabi, adalah yang dapat mempersatukan kehendaknya dengan kehendak Allah”[4].
Manusia sebagai hamba Allah SWT berkewajiban merealisasi fungsi kekhalifahan
dengan meniru contoh akhlaq para Nabi dan Rasul sehingga manusia berfungsi
kreatif, mengembangkan diri dan memelihara diri dari kehancuran. Dalam
keyakinan umat Islam para Nabi dan Rasulullah adalah contoh cara hidup manusia.
Dengan demikian hidup dan kehidupan manusia berkembang dan mengarah kepada
kesempurnaan, tidak hanya sempurna akhlaknya, tetapi juga sempurna
ketuhanannya, sempurna penguasaannya atas dunia benda, termasuk badannya
sendiri yang juga benda.
Konsekuensi dari
kesempurnaan manusia dalam merealisasikan fungsi kekhalifahan yang sesuai
dengan amanat Allah SWT, maka sangat diperlukan adanya pendidikan serta ilmu
pengetahuan yang akan menunjang kesuksesannya. Dengan pandangan yang terpadu,
sebagai khalifah (kuasa atau wakil) Allah SWT di muka bumi, manusia tidak boleh
berbuat kerusakan yang mencerminkan kemungkaran atau bertentangan dengan
kehendak Allah SWT. Menurut H. Abudin Nata, dalam “Filsafat Pendidikan Islam”
menyatakan, “konsep Al Quran tentang kekhalifahan dan ibadah erat kaitannya
dengan pendidikan”[5].
Pendidikan, pengajaran, ketrampilan serta pendukung lainnya sangat penting bagi
manusia agar dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dan beribadah dengan baik.
[1] R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk, Al
Qur’an dan Terjamahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an, hlm.
1076.
[2] Zuhairini dkk, Filsafat
Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 78.
[3] Chairil Anwar, Islam dan
Tantangan Abad XXI, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2000, hlm. 126.
[4] Ace Partadiredja, Al Qur’an,
Mu’jizat, Karomat, Maunat dan Hukum Evolusi Spiritual, PT Dana Bhakti Dana Yasa, Yogyakarta, 1997, hlm. 100.
[5] H. Abudin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 41.
0 comments:
Post a Comment