Ada perbedaan yang khas antara manusia
dengan binatang. Binatang adalah makhluk yang tidak dianugerahi akal pikiran,
sedangkan manusia adalah makhluk yang dianugerahi akal pikiran. Manusia, karena
memiliki akal pikiran, maka dalam pendidikan manusia dijuluki “Animal
Educandum”, artinya manusia adalah makhluk yang dapat dididik. Menurut H.
Sunarto dalam buku yang berjudul “Perkembangan Peserta Didik”
menerangkan bahwa, “manusia adalah makhluk yang dapat dididik atau “homo
educandum”[1].
Menurut Achmadi dalam buku yang berjudul “Islam Sebagai Paradigma Ilmu
Pendidikan”, menyatakan bahwa, “manusia adalah binatang yang mendidik dan
dididik (animal educandum)”[2].
Manusia merupakan makhluk yang memiliki akal pikiran, dan dengan melalui akal
itu pula manusia dapat dididik. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa manusia
merupakan makhluk yang dapat dididik.
Manusia sebagai
makhluk yang dapat dididik, maka manusia perlu dididik. Manusia sejak
kelahirannya telah memiliki potensi dasar yang universal. Dalam “Pengantar
Dasar-Dasar Kependidikan” yang disusun oleh TIM Dosen FIP-IKIP Malang
menyebutkan bahwa:
“Sejak kelahirannya manusia telah memiliki potensi dasar yang universal, berupa: kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk (moral identity); kemampuan dan kesadaran untuk memperkembangkan diri sendiri sesuai dengan pembawaan dan cita-citanya (individual identity); kemampuan untuk berhubungan dan kerjasama dengan orang lain (social identity) dan adanya ciri-ciri khas yang mampu membedakan dirinya dengan orang lain (individual differences)”[3]
Manusia dengan segenap potensi dasar
tersebut akan tumbuh menjadi manusia dewasa manakala dikembangkan melalui
proses pendidikan.
Proses
pendidikan anak manusia berawal dari pergaulan, pergaulan dengan orang lain
pada umumnya dan pergaulan dengan kedua orang tuanya pada khususnya dalam
lingkungan budaya yang mengelilinginya. Menurut Singgih D. Gunarsa dalam buku “Psikologi
Perkembangan” menyatakan bahwa, “anak membutuhkan orang lain dalam
perkembangannya. Dan orang lain yang paling utama dan pertama bertanggung jawab
adalah orang tua sendiri”[4].
Begitu pula cinta-kasih orang tua dan ketergantungan serta kepercayaan anak
kepada mereka pada usia-usia muda merupakan dasar kokoh yang memungkinkan
timbulnya pergaulan yang mendidik. Menurut penyelidikan-penyelidikan para ahli
sebagaimana dikutip Singgih menyimpulkan bahwa, “sekalipun bayi belum dapat
dididik, dalam arti belum dapat menangkap pengertian-pengertian, akan tetapi si
bayi seolah-olah menyadari perlakuan-perlakuan mana yang penuh kasih sayang dan
perkakuan-perlakuan mana yang tidak disertai kasih sayang”[5].
Keterbatasan dan kelemahan anak manusia dikuatkan oleh kepercayaan dan sikap
pasrah kepada kewibawaan orang tua dan nilai-nilai moral yang dijunjungnya
dalam tanggung jawab diri sendiri. Anak tidak akan menjadi “manusia” dalam arti
yang sesungguhnya (kehilangan hakikat kemanusiaannya) tanpa adanya pergaulan
yang mendidik yaitu orang lain, terutama orang tuanya sendiri, lingkungan atau
masyarakat serta curahan kasih sayang yang perlu diberikan kepada anak
tersebut.
Pendidikan
merupakan upaya yang paling strategis dalam rangka mencerdaskan manusia.
Manusia individu, warga masyarakat dan warga negara yang lengkap dan utuh harus
dipersiapkan sejak anak masih kecil dengan upaya pendidikan. Melalui pendidikan
manusia mampu menjadi sumber daya yang berkualitas sehingga dapat menjadi aset
bangsa yang tertinggi. Dalam Undang-undang RI No. 2 Tahun 1989 tantang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan bahwa, “pendidikan adalah usaha sadar untuk
mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau
latihan bagi peranannya di masa mendatang”[6].
Agar dapat berperan di masa mendatang dengan baik, kegiatan pendidikan sangat
penting.
Ajaran
Islam bersifat universal dan berpijak pada landasan kesamaan yang dimiliki oleh
manusia. Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan berperan sebagai
khalifah Allah di bumi, maka manusia diberi hak oleh Allah untuk memperoleh pendidikan
dan ilmu pengetahuan. Menurut H. Baharuddin Lopa, dalam “Al-Qur’an dan Hak-Hak
Asasi Manusia” menyatakan bahwa, “Islam bukan hanya menganggap belajar sebagai
hak tetapi adalah pula sebagai kewajiban”[7].
Dengan demikian ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam Islam mempunyai kedudukan
yang tinggi. Setiap manusia berhak dan berkewajiban untuk memperoleh
pendidikan, sehingga manusia dapat berperan dalam kehidupannya dan beribadah
kepada Allah SWT dengan baik.
Islam
memandang bahwa keutamaan makhluk manusia yang lebih dari makhluk lainnya
terletak pada kemampuan akal kecerdasannya. Menurut H.M. Arifin, dalam buku
yang berjudul “Ilmu Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “… tidak kurang dari
300 kali Tuhan menyebutkan motivasi berfikir dalam kitab suci Al Qur’an”[8].
Manusia diperintah oleh Allah SWT agar senantiasa memfungsikan akal pikirannya
untuk menganalisa tanda-tanda kekuasaan-Nya yang nampak dalam alam semesta
ciptaan-Nya yaitu dengan melalui proses belajar.
Islam
memerintahkan umatnya, laki-laki maupun perempuan untuk belajar. Manusia sesuai
dengan harkat kemanusiaannya sebagai makhluk Homo Educandum, dalam arti manusia
sebagai makhluk yang dapat dididik. Karena itu proses belajar bersifat
manusiawi. Menurut Zuhairini dalam buku yang berjudul “Filsafat Pendidikan
Islam” menyatakan bahwa, “manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dapat
dipahami dari firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 31 dan QS. Al-Alaq ayat 1-5
:
“Dan Tuhan
mengajarkan kepada Adam nama-nama segalanya” (QS. Al-Baqarah: 31)
“Bacalah
dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, yang menciptakan manusia dari segumpal
darah, Bacalah dan Tuhanmu yang amat mulia. Yang mengajarkan manusia dengan
pena. Yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya” (QS.
Al-Alaq: 1-5).
Kemampuan membaca dan menulis merupakan
hal terpenting bagi manusia guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Manusia dengan
ilmu pengetahuan akan mendapat kedudukan atau derajat yang tinggi manakala
disertai dengan dzikir kepada Allah SWT.
Rasulullah
Muhammad SAW sebagai Uswatun khasanah bagi umat Islam juga memerintahkan kepada
umatnya agar senantiasa menuntut ilmu. Beliau telah menyamakan wanita dan pria
dalam hal-hal yang bersifat kerohanian serta kewajiban-kewajiban keagamaan
tanpa perbedaan dalam bidang ilmu pengetahuan. Rasulullah SAW bersabda:
“Dari Anas
bin Malik berkata, “Rasulullah SAW bersabda: menuntut ilmu adalah kewajiban
atas setiap orang Islam (laki-laki maupun perempuan)” (HR. Ibnu Majjah).
Ilmu adalah sesuatu yang sangat dihargai
dalam Islam, mencari dan mempelajarinya merupakan kewajiban atas Muslim dan
muslimah. Perintah menuntut ilmu kepada manusia merupakan salah satu bukti
bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat dididik.
[1] Sunarto, Perkembangan Peserta
Didik, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 2.
[2] Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya
Media, Yogyakarta, 1992, halaman 27.
[3] B. Suparna, Perkembangan dan Pembaharuan Pendidikan, Dalam Tim
Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar
Dasar-Dasar Kependidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm. 192.
[4] Singgih D. Gunarsa, Psikologi
Perkembangan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1986, hlm. 5.
[5] Ibid, hlm. 10.
[6] Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989, Sistem Pendidikan Nasional, CV. Aneka Ilmu, Semarang, 1992, hlm. 2.
[7] H. Baharuddin Lopa, Al Qur’an
dan Hak-Hak Asasi Manusia, PT Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996,
hlm. 82.
[8] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan
Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, hlm. 4.
0 comments:
Post a Comment