Tuesday 16 February 2016

MANUSIA ADALAH MAKHLUK YANG DAPAT DIDIDIK

Ada perbedaan yang khas antara manusia dengan binatang. Binatang adalah makhluk yang tidak dianugerahi akal pikiran, sedangkan manusia adalah makhluk yang dianugerahi akal pikiran. Manusia, karena memiliki akal pikiran, maka dalam pendidikan manusia dijuluki “Animal Educandum”, artinya manusia adalah makhluk yang dapat dididik. Menurut H. Sunarto dalam buku yang berjudul “Perkembangan Peserta Didik” menerangkan bahwa, “manusia adalah makhluk yang dapat dididik atau “homo educandum[1]. Menurut Achmadi dalam buku yang berjudul “Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan”, menyatakan bahwa, “manusia adalah binatang yang mendidik dan dididik (animal educandum)”[2]. Manusia merupakan makhluk yang memiliki akal pikiran, dan dengan melalui akal itu pula manusia dapat dididik. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang dapat dididik.
Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik, maka manusia perlu dididik. Manusia sejak kelahirannya telah memiliki potensi dasar yang universal. Dalam “Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan” yang disusun oleh TIM Dosen FIP-IKIP Malang menyebutkan bahwa:

“Sejak kelahirannya manusia telah memiliki potensi dasar yang universal, berupa: kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk (moral identity); kemampuan dan kesadaran untuk memperkembangkan diri sendiri sesuai dengan pembawaan dan cita-citanya (individual identity); kemampuan untuk berhubungan dan kerjasama dengan orang lain (social identity) dan adanya ciri-ciri khas yang mampu membedakan dirinya dengan orang lain (individual differences)[3]
Manusia dengan segenap potensi dasar tersebut akan tumbuh menjadi manusia dewasa manakala dikembangkan melalui proses pendidikan.
            Proses pendidikan anak manusia berawal dari pergaulan, pergaulan dengan orang lain pada umumnya dan pergaulan dengan kedua orang tuanya pada khususnya dalam lingkungan budaya yang mengelilinginya. Menurut Singgih D. Gunarsa dalam buku “Psikologi Perkembangan” menyatakan bahwa, “anak membutuhkan orang lain dalam perkembangannya. Dan orang lain yang paling utama dan pertama bertanggung jawab adalah orang tua sendiri[4]. Begitu pula cinta-kasih orang tua dan ketergantungan serta kepercayaan anak kepada mereka pada usia-usia muda merupakan dasar kokoh yang memungkinkan timbulnya pergaulan yang mendidik. Menurut penyelidikan-penyelidikan para ahli sebagaimana dikutip Singgih menyimpulkan bahwa, “sekalipun bayi belum dapat dididik, dalam arti belum dapat menangkap pengertian-pengertian, akan tetapi si bayi seolah-olah menyadari perlakuan-perlakuan mana yang penuh kasih sayang dan perkakuan-perlakuan mana yang tidak disertai kasih sayang”[5]. Keterbatasan dan kelemahan anak manusia dikuatkan oleh kepercayaan dan sikap pasrah kepada kewibawaan orang tua dan nilai-nilai moral yang dijunjungnya dalam tanggung jawab diri sendiri. Anak tidak akan menjadi “manusia” dalam arti yang sesungguhnya (kehilangan hakikat kemanusiaannya) tanpa adanya pergaulan yang mendidik yaitu orang lain, terutama orang tuanya sendiri, lingkungan atau masyarakat serta curahan kasih sayang yang perlu diberikan kepada anak tersebut.
            Pendidikan merupakan upaya yang paling strategis dalam rangka mencerdaskan manusia. Manusia individu, warga masyarakat dan warga negara yang lengkap dan utuh harus dipersiapkan sejak anak masih kecil dengan upaya pendidikan. Melalui pendidikan manusia mampu menjadi sumber daya yang berkualitas sehingga dapat menjadi aset bangsa yang tertinggi. Dalam Undang-undang RI No. 2 Tahun 1989 tantang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa, “pendidikan adalah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa mendatang”[6]. Agar dapat berperan di masa mendatang dengan baik, kegiatan pendidikan sangat penting.
            Ajaran Islam bersifat universal dan berpijak pada landasan kesamaan yang dimiliki oleh manusia. Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan berperan sebagai khalifah Allah di bumi, maka manusia diberi hak oleh Allah untuk memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan. Menurut H. Baharuddin Lopa, dalam “Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia” menyatakan bahwa, “Islam bukan hanya menganggap belajar sebagai hak tetapi adalah pula sebagai kewajiban”[7]. Dengan demikian ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam Islam mempunyai kedudukan yang tinggi. Setiap manusia berhak dan berkewajiban untuk memperoleh pendidikan, sehingga manusia dapat berperan dalam kehidupannya dan beribadah kepada Allah SWT dengan baik.
            Islam memandang bahwa keutamaan makhluk manusia yang lebih dari makhluk lainnya terletak pada kemampuan akal kecerdasannya. Menurut H.M. Arifin, dalam buku yang berjudul “Ilmu Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “… tidak kurang dari 300 kali Tuhan menyebutkan motivasi berfikir dalam kitab suci Al Qur’an[8]. Manusia diperintah oleh Allah SWT agar senantiasa memfungsikan akal pikirannya untuk menganalisa tanda-tanda kekuasaan-Nya yang nampak dalam alam semesta ciptaan-Nya yaitu dengan melalui proses belajar.
            Islam memerintahkan umatnya, laki-laki maupun perempuan untuk belajar. Manusia sesuai dengan harkat kemanusiaannya sebagai makhluk Homo Educandum, dalam arti manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Karena itu proses belajar bersifat manusiawi. Menurut Zuhairini dalam buku yang berjudul “Filsafat Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dapat dipahami dari firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 31 dan QS. Al-Alaq ayat 1-5 :
Dan Tuhan mengajarkan kepada Adam nama-nama segalanya” (QS. Al-Baqarah: 31)
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, yang menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmu yang amat mulia. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-Alaq: 1-5).
Kemampuan membaca dan menulis merupakan hal terpenting bagi manusia guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mendapat kedudukan atau derajat yang tinggi manakala disertai dengan dzikir kepada Allah SWT.
            Rasulullah Muhammad SAW sebagai Uswatun khasanah bagi umat Islam juga memerintahkan kepada umatnya agar senantiasa menuntut ilmu. Beliau telah menyamakan wanita dan pria dalam hal-hal yang bersifat kerohanian serta kewajiban-kewajiban keagamaan tanpa perbedaan dalam bidang ilmu pengetahuan. Rasulullah SAW bersabda:
Dari Anas bin Malik berkata, “Rasulullah SAW bersabda: menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap orang Islam (laki-laki maupun perempuan)” (HR. Ibnu Majjah).

Ilmu adalah sesuatu yang sangat dihargai dalam Islam, mencari dan mempelajarinya merupakan kewajiban atas Muslim dan muslimah. Perintah menuntut ilmu kepada manusia merupakan salah satu bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat dididik.


[1] Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 2.
[2] Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1992, halaman 27.
[3] B. Suparna, Perkembangan dan Pembaharuan Pendidikan, Dalam Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm. 192.
[4] Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1986, hlm. 5.
[5] Ibid, hlm. 10.

[6] Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989, Sistem Pendidikan Nasional, CV. Aneka Ilmu, Semarang, 1992, hlm. 2.
[7] H. Baharuddin Lopa, Al Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, PT Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996, hlm. 82.
[8] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, hlm. 4.
Share:

Monday 15 February 2016

HAKIKAT MANUSIA DICIPTAKAN SEBAGAI MAHLUK YANG SEMPURNA

Seperti yang telah diuraikan disini, bahwa fitrah manusia meliputi segenap aspek jasmani dan rohani serta kemampuan-kemampuan yang ada pada kedua aspek tersebut. Manusia secara fisik mempunyai bentuk yang lebih baik, lebih indah, lebih sempurna. Dalam QS. At-Tiin ayat 4 ditegaskan:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tiin : 4)[1]

Menurut Zuhairini dalam buku yang berjudul “Filsafat Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “kesempurnaan bentuk fisik tersebut, masih dilengkapi oleh Allah dengan ditiupkan kepadanya ruhnya, sehingga manusia mempunyai derajat yang mulia, lebih mulia dari malaikat”[2]. Karunia Allah yang begitu besar yang diberikan kepada manusia tersebut merupakan bukti bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna, memiliki derajat paling tinggi bahkan melebihi derajat malaikat.
Manusia secara kodrati bukanlah malaikat atau setan. Malaikat adalah makhluk yang senantiasa taat kepada semua perintah Allah, sedangkan setan adalah makhluk yang senantiasa mengingkari perintah Allah. Menurut Chairil Anwar dalam buku yang berjudul “Islam dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI” menyatakan bahwa, “manusia adalah makhluk ideal yang posisinya berada diantara kedua ekstrim malaikat dan setan”[3]. Oleh karena itu manusia bisa memiliki sikap patuh dan taat terhadap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun sebaliknya manusia bisa pula mengingkari perintah Allah dan mengerjakan larangan-Nya.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan bentuk jasmani dan rohani, manusia berkewajiban patuh dan taat terhadap semua perintah Allah SWT serta menjauhi semua larangan-Nya. Realisasi kepatuhan dan ketaatan manusia tersebut diwujudkan oleh Allah dalam suatu tugas kekhalifahan. Sebagai khalifah, manusia adalah pelaksana dari kekuasaan dan kehendak (kodrat dan iradat) Allah SWT. Manusia harus meniru contoh yang diberikan para Nabi dan Rasul Allah, karena mereka adalah manusia sempurna (insan kamil). Menurut Ace Partadiredja dalam bukunya “Al-Quran, Mu’jizat, Karomat, Maunat dan Hukum Evolusi Spiritual” menyatakan bahwa, “manusia yang berakhlaq sempurna, seperti contohnya para Nabi, adalah yang dapat mempersatukan kehendaknya dengan kehendak Allah”[4]. Manusia sebagai hamba Allah SWT berkewajiban merealisasi fungsi kekhalifahan dengan meniru contoh akhlaq para Nabi dan Rasul sehingga manusia berfungsi kreatif, mengembangkan diri dan memelihara diri dari kehancuran. Dalam keyakinan umat Islam para Nabi dan Rasulullah adalah contoh cara hidup manusia. Dengan demikian hidup dan kehidupan manusia berkembang dan mengarah kepada kesempurnaan, tidak hanya sempurna akhlaknya, tetapi juga sempurna ketuhanannya, sempurna penguasaannya atas dunia benda, termasuk badannya sendiri yang juga benda.
Konsekuensi dari kesempurnaan manusia dalam merealisasikan fungsi kekhalifahan yang sesuai dengan amanat Allah SWT, maka sangat diperlukan adanya pendidikan serta ilmu pengetahuan yang akan menunjang kesuksesannya. Dengan pandangan yang terpadu, sebagai khalifah (kuasa atau wakil) Allah SWT di muka bumi, manusia tidak boleh berbuat kerusakan yang mencerminkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Allah SWT. Menurut H. Abudin Nata, dalam “Filsafat Pendidikan Islam” menyatakan, “konsep Al Quran tentang kekhalifahan dan ibadah erat kaitannya dengan pendidikan”[5]. Pendidikan, pengajaran, ketrampilan serta pendukung lainnya sangat penting bagi manusia agar dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dan beribadah dengan baik.


[1] R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk, Al Qur’an dan Terjamahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an, hlm. 1076.

[2] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 78.

[3] Chairil Anwar, Islam dan Tantangan Abad XXI, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2000, hlm. 126.
[4] Ace Partadiredja, Al Qur’an, Mu’jizat, Karomat, Maunat dan Hukum Evolusi Spiritual, PT Dana Bhakti Dana Yasa, Yogyakarta, 1997, hlm. 100.
[5] H. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 41.
Share:

Saturday 13 February 2016

HAKIKAT FITRAH MANUSIA


Fitrah adalah kejadian asal atau pembawaan asli yang ada pada diri manusia beserta sifat dan potensinya. Menurut M. Quraish Shihab dalam buku yang berjudul “Wawasan Al Quran” menyatakan bahwa, “kata fitrah terambil dari akar kata fathr yang berarti belahan atau kejadian, fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya”[1]. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan, “manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiyahnya, berfikir untuk menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah akhliahnya, senang dan gembira juga adalah fitrahnya”[2]. Menurut Syahminan Zaini dalam buku yang berjudul “Ciri Khas Manusia” menyatakan bahwa, “fitrah adalah potensi-potensi tertentu yang ada pada diri manusia yang dibawanya semenjak lahir”[3]. Fitrah adalah apa yang ada pada diri manusia sejak dijadikannya/diciptakannya oleh Allah SWT yang berkaitan dengan aspek jasmani dan rohani serta kemampuan-kemampuan yang ada pada kedua aspek tersebut.
Manusia secara fitrah sebagai makhluk ciptaan Allah yang dianugerahi kemampuan akal pikiran. Akal pikiran merupakan potensi sentral manusia. Menurut Hasan Langgulung dalam “Manusia dan Pendidikan” menyatakan bahwa, “akal dalam pandangan Islam adalah substansi rohaniah yang dengannya ruh berfikir dan membedakan yang baik dari yang bathil."[4]. Menurut Abdul Fattah Jalal sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir bahwa, “kata ‘Aqala dalam Al Quran kebanyakan dalam bentuk fi’il (kata kerja); hanya sedikit dalam bentuk ism (kata benda)”[5]. Lebih lanjut Abdul Fattah Jalal mengatakan bahwa, “kata ‘aqal menghasilkan ‘aqaluhu, ta’qilana, na’qilu, ya’qiluha dan ya’qiluna dimuat dalam Al Quran di 49 tempat. Kata albab, jamak kata lubbun yang berari akal terdapat di 16 tempat dalam Al Quran”[6].
Akal merupakan aspek manusia yang terpenting yang digunakan untuk berfikir, menimbang dan membedakan perkara yang baik dari yang buruk.
Al Quran menekankan pentingnya penggunaan akal fikiran. Dalam QS. Al Anfal ayat 22 disebutkan:
Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa”.[7]
Manusia dengan mempergunakan akalnya akan mampu memahami dan mengamalkan wahyu Allah serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak.
Manusia secara fitrah memiliki kalbu. Menurut Ahmad Tafsir bahwa, “kalbu inilah yang merupakan potensi manusia yang mampu beriman secara sungguh-sungguh”[8]. Dalam QS. Al Hujurat ayat 14 disebutkan:
Orang-orang arab badui itu berkata, “kami telah beriman”. Katakan kepada mereka, “kamu belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu[9].
Kekuatan kalbu lebih jauh daripada kekuatan akal. Bahkan kalbu dapat mengetahui objek secara tidak terbatas. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa, “kalbu memang menampung hal-hal yang didasari oleh pemiliknya”[10]. Oleh karena itu Islam amat mengistemewakan kalbu. Kalbu dapat menembus alam ghaib, bahkan menembus Allah, merasakan Allah dengan iman.
Manusia dilengkapi Allah dengan perasaan dan keimanan atau kehendak. Manusia dengan kehendaknya bebas dalam memilih perbuatannya. Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Arbiyah Lubis menyatakan bahwa, “akal dan kebebasan memilih adalah natur manusia …[11]. Lebih lanjut Muhammad Abduh menyatakan bahwa, “kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan tanpa batas atau kebebasan yang bersifat absolut.”[12]. Menurut H. Muhammad Daud Ali dalam buku yang berjudul “Pendidikan Agama Islam” menyatakan bahwa, “dengan kemauan atau kehendaknya yang bebas (free will) manusia dapat memilih jalan yang akan ditempuhnya”[13]. Manusia memiliki kemauan yang bebas dalam menentukan pilihannya. Namun dengan pilihan tersebut manusia wajib mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat, pada hari perhitungan mengenai baik buruknya perbuatan manusia di dunia.
Manusia dengan kemauan dan kebebasannya sebagaimana tersebut di atas, manusia dibebani amanah oleh Allah SWT yaitu tanggung jawab memiliki dan memelihara nilai-nilai keutamaan. Manusia sebagai khalifah (pemegang kekuasaan Allah) di bumi bertugas memakmurkan bumi dan segala isinya. Memakmurkan bumi artinya mensejahterakan kehidupan di dunia ini. Menurut Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani dalam “Falsafah Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “manusia dilantik menjadi khalifah di bumi untuk memakmurkannya.  Untuk itu dibebankan kepada manusia amanah Attaklif “[14]. Dalam QS. Al-Ahzab ayat 72 disebutkan;
Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka takut akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[15].
Menurut Aisyah Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Muhammad Daud Ali bahwa, “perkataan amanah dalam ayat di atas lebih tepat kalau diartikan ujian yang mengiringi suatu tugas kemerdekaan berkehendak dan bertanggung jawab mengenai pilihannya[16]. Oleh karena itu manusia wajib bekerja, beramal shalih (berbuat baik yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungan hidupnya) serta menjaga keseimbangan alam dan bumi yang didiaminya, sesuai dengan tuntutan yang diberikan Allah melalui agama.
Fitrah manusia dengan segenap potensinya sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas pada dasarnya baik dan sempurna, namun masih merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan, kemungkinan untuk menerima kebaikan atau keburukan. Dengan kata lain fitrah tersebut belum berarti apa-apa bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan. Manusia berkewajiban mengembangkan dan menggunakan potensi positifnya dalam kehidupan.
Salah satu upaya dalam rangka mengaktualisasikan dan memberdayakan fitrah dan potensi manusia yaitu dengan melalui pendidikan dan pengajaran. Menurut K. Sukardji dalam buku yang berjudul “Ilmu Pendidikan dan Pengajaran Agama” menyatakan bahwa, “jiwa fitrah anak (manusia) harus dikembangkan melalui pendidikan dan pengajaran dengan sebaik-baiknya”[17].  Menurut H.M. Arifin, dalam buku yang berjudul “Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat” menyatakan bahwa, “untuk mengaktualisasikan dan memfungsikan potensi manusia diperlukan ikhtiar kependidikan yang sistematis berencana berdasarkan pendekatan dan wawasan yang interdisipliner”[18]. Fitrah dan potensi manusia dengan melalui pendidikan yang sistematis dan terarah akan berpengaruh pada perkembangan dan proses realisasi diri manusia, yaitu manusia yang berkualitas bajik (beriman, berilmu dan beramal) sejalan dengan ketetapan Allah SWT.


[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 284.
[2] Ibid, hlm. 285.
[3] Syahminan Zaini, Kusuma Seta, Ciri khas Manusia, Kalam Mulia, Jakarta, 1986, hlm. 37
[4] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Al Husna Zikra, Jakarta, 1995, hlm. 93.
[5] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 39.
[6] Ibid.
[7] R.H.A. Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an, hlm. 263.
[8] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, hlm. 45.
[9]  R.H.A. Soenarjo, dkk. Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 848
[10] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, hlm. 289
[11] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh suatu studi perbandingan, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1993, hlm. 125.
[12] Ibid, hlm. 126
[13] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 18.
[14] Omar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 107.
[15] R.H.A. Soenarjo, dkk. Al-Qur’an dan Terjamahnya, hlm. 680.
[16] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, hlm. 16.
[17] K. Sukardji, Ilmu Pendidikan dan Pengajaran Agama, cv. Indradjaya, Jakarta, 1970, hlm. 11.
[18] H.M. Arifin, Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat, PT Golden Terayon Press, Jakarta, 1988, hlm. 6.
Share:

Friday 12 February 2016

PEMBENTUKAN INSAN KAMIL

Insan kamil itu adalah sebuah konsep istilah yang memang mungkin diwujudkan dalam kehidupan serta diupayakan pencapaiannya, misalnya melalui upaya pendidikan dalam arti luas terhadap ketiga dimensi yang dimiliki manusia tersebut.
Sebagai sebuah konsep yang diupayakan pencapaiannya dalam kehidupan insan kamil bukanlah manusia sempurna yang hanya bisa dikhayal kemunculannya, akan tetapi manusia-manusia tersebut memang dapat diupayakan perwujudannya melalui upaya-upaya konseptual sekaligus merealisasikan dalam kehidupan di dunia.
Pertama, kesempurnaan manusia itu karena fisiknya yang sehat dan kuat hingga mampu menjalani segala aktivitas kehidupan yang perlu dan harus dilakukan.
Dalam Al Qur’an (QS. al-Abiya’:8) dijelaskan bahwa fisik atau jasad manusia memerlukan makanan. Dengan demikian agar manusia mempunyai fisik yang baik, sehat dan kuat ia harus makan. Dengan makan fisik manusia akan mengalami pertumbuhan, walaupun pertumbuhan itu dibatasi oleh usia manusia itu sendiri. Di sisi lain al-Qur’an menjelaskan bahwa makanan itu juga dapat mengakibatkan baik dan buruknya terhadap kesehatan, salah satu ayat yang menerangkan bahwa madu itu merupakan obat dan baik untuk manusia yaitu:
“Dari perut lebah itu keluar minuman yang beraneka warna, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia” (QS. An-Nahl: 69).
Dalam kaitannya untuk membentuk fisik manusia supaya sehat maka manusia mengkonsumsi madu, niscaya fisiknya akan sehat sekaligus dapat menjadi obat bagi penyakitnya. Dan dalam membentuk fisik yang kuat dan memelihara kesehatan agar melakukan olah raga yang teratur makanan yang bergizi serta halal. Muhammad al Ghazali mengatakan bahwa makanan yang sehat adalah makanan yang halal. Mengandung semua zat yang diperlukan oleh tubuh manusia, serta dimakan dalam takaran yang cukup. Tidak terlalu banyak dan tidak kurang. Sabda Rasulullah SAW:
“Kita ini golongan umat yang makan karena sudah lapar dan apa bila kita makan tidak terlalu kenyang”. 
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa untuk membentuk fisik menjadi sehat, baik dan kuat, seseorang harus hidup teratur, makan makanan yang tepat, lingkungan sehat supaya terhindar dari berbagai penyakit yang berakibat melemahkan fisik tentunya makanan tersebut harus halal dan tayyib.
Kedua, manusia dikatakan makhluk yang sempurna karena manusia dikarunia akal.
Akal adalah daya rohani untuk memahami kebenaran yang bersifat mutlak maupun kemampuan yang bersifat relatif. Oleh karena itu akal harus difungsikan apabila tidak, manusia akan sama dengan binatang. Akal yang tidak berfungsi menjadikan qalbu manusia tertutup. Hingga manusia kehilangan kemampuan untuk memahami kebenaran yang datangnya dari Allah SWT.
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang memerintahkan supaya manusia menggunakan akalnya (QS. Al-Baqarah: 75-76) sebab manusia sempurna itu dikatakan sempurna bila ia dapat menggunakan akalnya secara sempurna. Untuk menyempurnakan fungsi akal hendaknya melatih dan belajar secara terus menerus Imam Syafi’i mengatakan bahwa salah satu yang dapat merusak akal yaitu akal akan tertutup karenanya adalah khamer, hal ini dapat dipahami dengan pengertian khamer itu sendiri:
“Suatu yang memabukkan dinamakan khamer karena ada tiga alasan Pertama sesungguhnya ia menutup akal”.
Dari pengertian khamer tersebut dapat dikatakan bahwa dengan meminum khamer akal akan tertutup, bila tertutup akal tidak dapat berfungsi sebagaimana akal sehat. Oleh karena itu untuk mendapatkan akal yang sehat hendaknya menghindari khamer atau barang sejenisnya.
Akal adalah salah satu unsur dari pada ruh, dan merupakan alat tertinggi bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk memanfaatkan alam nyata. Alat itu harus dipergunakan.
Kecerdasan menggambarkan kemampuan seseorang memanfaatkan akalnya, kemampuan itu tumbuh dari pengalaman dan pelajaran, hal ini dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga usaha yakni:

  1. Kesadaran kemampuan pribadi itu sendiri atau ketekunan (kemauan dan usaha pribadi).
  2. Pendidikan pengajaran yang diterimanya (usaha luar).
  3. Campuran: ketekunan dan pengajaran yang tepat.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa dalam membentuk manusia yang sempurna yaitu manusia yang mempunyai fungsi akal yang sempurna.
Menurut Sir Muhammad Iqbal, sebagaimana dikutip Musa Asy’ari mengatakan bahwa akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran bekerja dengan menggunakan pikiran dan qalbu yang keduanya berhubungan secara organis.
Selanjutnya dikatakan bahwa pikiran dan qalbu dalam pandangan tauhid merupakan kesatuan fungsional dan kesatuan mekanisme akal, keduanya merupakan sarana untuk memahami kebenaran. Dari uraian dapat difahami bahwa hati atau qalbu sangat menentukan dalam aktifitas pembuatan manusia, oleh karena itu manusia sempurna dibentuk dengan menjaga diri dari segala penyakit hati, seperti riya, sombong, hasud, dan sebagainya. Hal ini sering dikenal dengan ambisi pribadi.
Dengan manusia menghindari penyakit hati ini akan menjadi jernih dan menyadari kebutuhan hatinya yaitu beribadah kepada Allah, dengan demikian hatinya akan selalu hidup, kekuatan batinnya akan tetap kokoh, sehingga perilaku lahirnya-pun akan ikut memancarkan cahaya keimanan yang bersumber dari qalbunya. Jadi semua aktivitas akal yang dilakukan merupakan kebenaran.
Dalam hubungannya dengan pembentukan insan kamil, ruh berusaha untuk disucikan dari segala kotoran nafsu yang tak terkendali, salah satunya dengan intensitas kegiatan ibadah sehingga ruh mengenal dan tahu tentang siapa sebenarnya zat yang telah menciptakannya. Karena pada hakekatnya manusia itu mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan, dengan kata lain manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di sanubarinya. (QS. Al A’raf: 172)
Dalam kehidupan, agama menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya serta cara-cara beribadah dan berdo’a, melalui pengenalan agama dan berlatih menjalani niscaya ruh manusia akan selalu sadar dan rindu akan Tuhannya. Dan dengan demikian manusia akan berusaha menjadi khalifah di muka bumi sesuai dengan amanat Tuhan padanya penuh tanggung jawab baik di dunia dan di akhirat, bila dia sudah dapat merealisasi hal tersebut dia telah menjadi sempurna, karena untuk menjadi khalifah yang sesungguhnya, manusia beraktivitas tidak dapat dilepaskan dari pikiran alam dan melalui qalbunya memahami tanda-tanda Tuhan dan Sunnah-Nya dalam kehidupan. Dengan manusia perbuat mewujudkan kebenaran di bumi itu, manusia mempersembahkan hidupnya pada Tuhan, dan karenanya manusia dapat dikatakan sempurna sebab telah mengaktualisasikan semua dimensi darinya secara selaras dan seimbang baik bersifat vertikal maupun horisontal.    
Share:

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.