Friday 13 November 2015

PERKEMBANGAN PADA ANAK USIA DINI

Jika kita mencermati kehidupan manusia, tentu kita akan menyaksikan bahwa perjalanan hidup ini senantiasa melibatkan aspek psikis dan fisik, atau aspek jiwa dan raga. Proses yang berkaitan dengan aspek psikis dan fisik ini sering kita kenal dengan proses tumbuh kembang.
Pengertian pertumbuhan akan berkaitan dengan aspek fisik yakni aspek-aspek yang dapat diukur, dihitung, dilihat atau diamati dengan jelas. Seperti perkembangan secara biologis anak akan selalu mengalami pertumbuhan secara fisik. Sedangkan perkembangan yang berkaitan dengan aspek psikis, yakni sesuatu yang lebih berhubungan dengan unsur internal dalam diri individu. Sebagai contoh perkembangan psikologis, pada anak akan selalu ditandai dengan kebutuhan kasih sayang, perhatian, dari orang sekitarnya. Perkembangan sosial anak, anak membutuhkan hidup bersama dan kemampuan menyesuaikan diri. Perkembangan keagamaan anak di sini mulai dengan kebutuhan pedoman dalam hidupnya.[1] Tahap perkembangan pada anak tersebut adalah sebagai berikut:
Perkembangan Biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Segala gerak dan tanduknyaia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa yang ada di sekelilingnya. Dengan kata lain ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukan makhluk instingtif, keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk di fungsikan secara maksimal.[2]
Pada tahun pertama pertumbuhan fisik sangat cepat sedangkan tahun kedua mulai mengendur, pola perkembangan bayi pria dan wanita sama, tinggi badan secara proporsional lebih lambat daripada pertumbuhan berat badan. Selama tahun pertama  dan lebih cepat pada tahun kedua, dari 20 gigi seri, kira-kira 16 telah tumbuh selama masa bayi berakhir. Gigi pertama muncul kira-kira pada usia 6-8 bulan, gigi seri bawah muncul lebih dahulu kemudian menyusul tumbuhnya gigi seri bagian atas.Pada umur satu tahun, rata-rata bayi mempunyai 4 sampai 6 gigi dan pada umur dua tahun 16 gigi. Pertumbuhan otak tampak dengan bertambah besarnya ukuran tengkorak kepala diperkirakan seperempat dari berat otak orang dewasa dicapai pada usia sembilan bulan dan tiga perempat pada akhir tahun kedua.
Organ keinderaan berkembang dengan cepat selama masa bayi dan sanggup berfungsi dengan memuaskan sejak bulan-bulan pertama dari kehidupan. Dengan berkembangnya koordinasi otot-otot mata pada bulan ketiga maka bayi telah sanggup melihat dengan jelas. Alat indera lainnya yang berkembang ialah pendengaran dan penciuman. Fungsi-fungsi fisiologis, masa bayi merupakan masa di mana dasar pembinaan pola-pola fisiologis, seperti makan, tidur, dan buang air, harus terbentuk, walaupun pembentukan pembiasaan tidak di selesaikan pada masa akhir bayi.
Perkembangan penguasaan otot-otot mengikuti pola yang jelas dan dapat diduga yang ditentukan oleh hukum arah perkembangan. Menurut hukum ini, penguasaan atau pengendalian otot-otot pada bagian kepala lebih dahulu dan selanjutnya pada bagian kaki. Perkembangan motorik yaitu dapat menghambat kemampuan penyesuaian diri sehingga mengakibatkan perasaan rendah diri, gangguan psikis, seperti gangguan emosi, karena mendapat bentakan-bentakan yang sangat mengejutkan anak (bayi).[3]
Pada anak mencapai usia 3-6 tahun ada ciri yang jelas berbeda dengan anak usia bayi, perbedaannya terletak pada penampilan, proporsi tubuh, panjang badan dan ketrampilan yang mereka miliki. Contohnya pada anak pra sekolah telah tampak otot-otot tubuh yang berkembang dan memungkinkan bagi mereka melakukan ketrampilan.[4]
Sedangkan perkembangan biologis pada anak sekitar 2-6 tahun anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air, dan mengenal beberapa hal yang di anggap berbahaya. Dengan meningkatnya pertumbuhan tubuh, baik menyangkut ukuran, berat, dan tinggi, maupun kekuatannya memungkinkan anak untuk lebih dapat mengembangkan ketrampilan fisiknya, dan eksplorasi terhadap lingkungannya dan dengan tanpa bantuan orang lain. Perkembangan sistem syaraf pusat memberikan kesiapan kepada anak untuk lebih dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan terhadap tubuhnya.
Proporsi tubuhnya berubah secara dramatis, seperti pada usia tiga tahun, rata-rata tingginya sekitar 80-90 cm, dan beratnya sekitar 10-13 kg. Sedangkan pada usia lima tahun, tingginya sudah mencapai sekitar 100-110 cm. Tulang kakinya tumbuh dengan cepat, namun pertumbuhan tengkoraknya tidak secepat usia sebelumya. Pertumbuhan tulang-tulangnyasemakin besar dan kuat, pertumbuhan giginya semakin lengkap dan komplit sehingga dia sudah menyenangi makanan padat, seperti daging, sayuran,buah-buahan dan kacang-kacangan. Anak pra sekolah umumnya sangat aktif, karena mereka telah memiliki penguasaan (kontrol) terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan yang dilakukan sendiri.[5]
Pertumbuhan otaknya pada usia lima tahun sudah mencapai 75% dari ukuran dewasa, dan 90% pada usia enam tahun. Pada usia ini juga terjadinya pertumbuhan “myelination” (lapisan urat syaraf dalam otak yang terdiri dari bahan penyekat berwarna putih, yaitu myelin), secara sempurna lapisan urat saraf ini membantu transmisi impuls-impuls syaraf secara cepat, yang memungkinkan pengontrolan terhadap kegiatan motorik lebih seksama dan efisien.[6]
Perkembangan anak pada akhir tahun pertama dan akhir tahun ke empat terjadi kemajuan-kemajuan yang pesat, namun begitu mengenai perkembangan sekitar tahun ke tiga anak sudah dapat berjalan secara otomatis bahkan pada alas yang tidak rata anak sudah dapat berjalan tanpa kesukaran, sekitar empat tahun anak hampir menguasai cara berjalan seperti orang dewasa.[7]
Perkembangan Jiwa Anak
Masa kanak-kanak di kenal sebagai masa egosentris karena pada masa ini anak-anak berada pada masa ketidak seimbangan karena keluar dari fokus dalam arti bahwa anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional. Sehingga sulit di bimbing dan di arahkan.
“Seorang anak tidak mempunyai perasaan bahwa kebutuhannya punya hambatan yang wajar kalau ia menyukai sesuatu ia ingin agar dipuaskan sepenuhnya. Dia tidak mengekang keinginan itu dan juga tidak mau jika seseorang membatasi keinginan tersebut. Dia tidak akan berusaha untuk menyesuaikannya, dengan konsep yang di miliki orang dewasa mengenai keharusan adanya hukum-hukum alam. Dia bahkan tidak mengerti bahwa hal-hal tersebut ada. Ia tidak dapat membedakan apa yang mungkin dan mana yang mustahil, akibatnya ia tidak mengerti bahwa realitas menetapkan berbagai kendala terhadap keinginan-keinginan yang tak mungkin diatasinya. Dalam pandangan anak segala sesuatu harus tunduk padanya ia tidak mau diganggu oleh hambatan-hambatan benda dan juga oleh manusia.[8]
Anak suka meniru segala sesuatu yang dilihatnya oleh karena itu sebagai orang tua hendaknya menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang terjadi di sekitarnya, sehingga kedua orang tua melakukan tindakan-tindakan yang salah dihadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak.
Akibat yang timbul dari kondisi psikologis yang demikian, anak-anak mudah marah dan melakukan tindakan yang kadang tidak rasional. Prilaku-prilaku yang muncul sehubungan dengan masa egosentris yaitu prilaku melawan otoritas orang tua, kasar dan agresif, prilaku berkuasa, memikirkan diri sendiri, merusak dan membentuk prilaku negatif lainnya.[9]
Prilaku melawan otoriter orang tua mencapai puncaknya pada usia tiga dan empat tahun. Perlawanan ini muncul apabila anak-anak dipaksa untuk mentaati sesuatu norma yang tidakdiinginkannya. Selanjutnya anak-anak akan sangat agresif apabila keinginannya tidak tercapai, bahkan anak-anak akan kasar, menyerang, menyalahkan orang lain, dan memaki-maki dengan tujuan agar dia terlihat lebih pandai dan tidak kalah. Ledakan amarah anak sering disertai dengan tindakan merusak benda-benda di sekitarnya. Sehubungan dengan itu perlu juga bicaranya ketika berusia lima dan tujuh tahun, pada waktu imajinasinyamelebihi penalaran, anak cenderung membual dan melebih-lebihkan pembicaraan, bahkan untuk memenuhi egonya anak-anak akan menghina dan mencaci maki terhadap segala bentuk prilaku di lingkungannya yang tidak ia sukai.
Banyak faktor yang mempengaruhi pada emosi anak, Elisabeth B.Hurlock menyebutkan:
“Besarnya keluarga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya emosi anak, pada keluarga yang lebih besar, sikap iri hati akan tumbuh. Dan pada keluarga yang lebih kecil biasanya cemburu akan kasih sayang orang tua akan lebih mendominasi. Selanjutnya lingkungan sosial rumah juga memainkan peran dan menimbulkan sering dan kuatnya rasa marah, jenis disiplin dan metode latihan juga berpengaruh terhadap amarah anak. Semakin orang tua otoriter, semakin besar kemungkinan anak untuk marah.[10]
Dari keadaan yang demikian terlihat betapa orang tua sebagai pendidik pertama dan yang utama. Bertugas membimbing dan mengarahkan anak, menuju prilaku yang baik.
Perkembangan Keberagamaan
Dalam pertumbuhan jiwa agama anak, diperlukan pengalaman-pengalaman keagamaan yang didapat sejak lahir dari orang-orang terdekat dalam hidupnya. Ibu, bapak, saudara dan keluarga, disamping pendidikan yang diberikan secara sengaja oleh guru-guru agama, pengalaman merupakan unsur-unsur yang akan menjadi bagian dari pribadinya di kemudian hari. Menurut perhitungan ilmu kedokteran ternyata bahwa keadaan ibu yang sedang mengandung dan gizi makanannya, akan ikut menentukan kecerdasan dan kemampuan anak dalam bidang kecakapan dan ketrampilan nanti. Karena pada bulan-bulan terakhir dari janin itu, telah mulai terbentuk jaringan –jaringan otaknya. Makanan ibu yang cukup gizinya akan memberikan bahan yang cukup pula bagi janin yang dalam kandungannya itu. Sehingga dapatlah bertumbuh jaringan-jaringan otak secara wajar dan baik. Dengan demikian anak yang akan lahir dapat diharapkan mempunyai kemampuan otak yang wajar,[11]
Anak mulai mengenal tuhan melalui orang tua dan lingkungan keluarganya. Sikap, tindakan, dan perbuatan orang tua sangat mempengaruhi perkembangan keberagamaan pada anak. Sebelum anak dapat bicara ia telah dapat melihat dan mendengar kata-kata yang barang kali belum mempunyai arti sendiri bagi anak. Sesuai dengan pengamatannya terhadap orang tuanya, ketika mengucapkan Allah akan berarti maha kuasa, maha penyayang, atau lainnya yang sesuai dengan orang tua ketika menyebutnya. Kata Allah yang tadinya tidak mempunyai arti apa-apa bagi anak, mulai mempunyai makna dengan apa yang tangkapnya dari orang tuanya.
Perkembangan kepercayaan berarti pola-pola dan struktur-struktur kognitif menjadi semakin komplek dan komprehensif sehingga isi kepercayaan dapat disusun dan dimengerti dengan cara-cara meaning making yang semakin terdiferensiasi. Fowler mendefinisikan tahap kepercayaan sebagai suatu keseluruhan struktural yang menjelma menjadi suatu cara berada dalam kepercayaan tertentu dan memungkinkan gaya kepercayaan yang khas.[12] Tahap kepercayaan adalah keseluruhan operasi pengertian dan pengertian yang terintegrasi kan dan spesifik secara kualitatif yang memungkinkan pribadi menciptakan suatu gambaran tentang lingkungan akhir yang berbeda menurut masing-masing tahap, lewat gambaran tersebut pribadi dapat mewujudkan rasa diri terikatnya. Yaitu rasa percaya dan setia yang transenden atau pusat nilai, kekuasaan dan makanan yang melampuainya.
Fowler memfokuskan penelitiannya pada struktur dan aspek-aspek formal kepercayaan itu, bukan pada isi kongkrit. Fokus formal yang strukturalistis ini mengandaikan suatu pemisahan teoritis antara isi dan struktur sebagaimana dianjurkan oleh Peaget dan Kohlberg. Sebagaimana diketahui secara umum penelitian Peaget tentang pengetahuan anak terutama tidak terpusat pada isi pengetahuan yang dapat dialihkan kepada anak. Misalnya isi pengetahuan konkrit ilmu pengetahuan alam, logika, ilmu matematika dan sebagainya. Struktur operasi formal yang disusun oleh anak untuk mengatur dan mengerti pengalaman akan dunia sekitar, mendasari, menentukan dan mengkonstitusikan cara formal bagaimana mengerti dan mengenal lingkungan sekitar. Pemisahan yang sama antar isi dan struktur juga dilakukan oleh Kohlberg dalam studinya tentang perkembangan moral. Sedangkan Fowler, ia berpendapat bahwa dalam perspektif strukturalisme genetik proses faithing, dapat dipelajari menurut struktur dan aspek-aspek struktural khasnya sendiri.
Mutu kepercayaan seorang anak tidaklah dibandingkan kepercayaan orang dewasa, tetapi polanya memang lain dan secara potensial kurang sempurna. karena alasan ini kita tidak boleh menafsirkan perkembangan kepercayaan sebagai serangkaian peristiwa progresif menurut model linear dalam evolusi yang menganggap tahap terakhir sebagai indeks kematangan yang secara praktis dapat digunakan sebagai tolak ukur seluruh tahap terdahulu yang dari kodratnya bersifat kurang dewasa dan kurang sempurna.
Fowler memperhatikan tujuh aspek operasional atau struktural yang bersama-sama membentuk tahap kepercayaan. Ketujuh teori tersebut adalah: 1. Berkembangnya pemikiran dan penalaran logis. 2. Berkembangnya pengkonstruksian perspektif sosial (pengambilan peranan). 3. Bentuk pertimbangan moral. 4. Berkembangnya pengertian terhadap titik sosial (batas-batas kesadaran sosial). 5. Penafsiran tentang soal tentang apa yang mengesahkan atau komitmen. 6. Berkembangnya keseluruhan arti yang bersifat pemersatu. 7. Berkembangnya pemahaman terhadap simbol.[13]
Tahap kepercayaan awal yang elementer ditandai oleh cita rasa yang bersifat preverbal terhadap kondisi-kondisi eksistensi,  yaitu rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang dan lingkungan yang mengasuh sang bayi, serta pada gambaran kenyataan yang paling akhir selama tahun pertama berkembanglah suatu keseluruhan interaksi timbal balik yang agak komplek dan mantap antara bayi dan pengasuh yang sama.[14]
Fowler menyebut gambaran tersebut sebagai pre images atau pra gambaran. Karena di satu pihak gambaran dibentuk oleh perasan sebelum kemampuan bahasa dan daya pengertian konseptual mulai berfungsi, tetapi di pihak lain telah termuat suatu rasa diri tertentu yang membedakan diri dari seluruh kenyataan lainnya. Pra gambaran Allah dan lingkungan yang paling mendalam dan akhir mempunyai matrik untuk genetknya pada gambaran anak tentang pengasuh utamanya dengan kata lain sangat mungkin simbol kepercayaan pertama diangkat dari seluruh gambaran bayi tentang ibudan bapak atau pengasuh penting lainnya yang saling bergantian.
Sedang anak berumur dua tahun, kedewasaan atau ketuhanan dimengerti secara pra antropomorf artinya anak mencoba menerapkan berbagai ide seperti yang tak kelihatan, roh, udara, dan sebagainya. Untuk menggambarkan Allah yang mempengaruhi dunia yang secara fisik dan substansial. Tetapi biarpun Allah dilukiskan secara antropomorf, misalnya Allah bagaikan udara dimana-mana ia berada. Namun sangat mungkin anak merasakan Allah sebagai sesuatu yang sungguh sebagai sifat pribadi. Misalnya saya mencintai-Nya, Allah berdiam di lubuk hatiku. Maka sering pula Allah dilukiskan menurut pola perbandingan antropomorf, sehingga pribadi Allah digambarkan terutama fisik-Nya.[15]
Sikap anak-anak terhadap agama mengandung kekaguman dan penghargaan, bagi mereka upacara-upacara agama dan dekorasi rumah ibadah, lebih menarik perhatian. Anak-anak dalam kepercayaannya bersifat egosentris, artinya semua sembahyang dan doa-doa adalah untuk mencapai keinginan pribadinya, misalnya dia akan baik karena akan mendapat upah. Dia menggambarkan Tuhan sebagai seorang yang akanmenolongnya dalam mencapai sesuatu karena ia sudah di tolong oleh orang dewasa terutama oleh orang tuanya.
Dengan kondisi psikologis yang sudah tumbuh pikiran logisnya maka orang tua diperintahkan untuk menyuruh anak-anaknya menjalankan kegiatan agama. Faktor pembiasaan, ajakan, dan himbauan sangat positif untuk mendukung perkembangankeberagamaanya. Akar penyebab perlunya pemberian motivasi karena pertimbangan kondisi kejiwaan anak yang masih membutuhkan bimbingan dan arahan orang tua atau belum tumbuh kesadaran dan kemandirian dalam kreatifitas sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept an authority.[16]
Latihan-latihan yang menyangkut ibadah, seperti sembahyang, do’a, membaca al-Qur’an atau menghafal ayat-ayat atau surat-surat pendek, sembahyang berjamaah disekolah, masjid atau mushola, harus dibiasakan sejak kecil. Sehingga lama-kelamaan, dia dibiasakan sedemikian rupa sehingga dengan sendirinya ia akan terdorong untuk melakukannya, tapi dengan dorongan dari dalam.
Dengan kata lain dapat kita sebutkan bahwa pembiasaan dan pendidikan anak sangat penting, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak, dan agama. Karena pembiasaan-pembiasaan agama itu akan menanamkan unsur-unsur positif dan pribadi anak yang sedang tumbuh. Semakin banyak pengalaman agama yang didapatkan melalui pembiasaan itu akan semakin banyaklah unsur agama dalam pribadinya, dan semakin mudahlah memahami ajaran agama yang akan dijelaskan oleh guru dikemudian hari. Jadi agama itu mulai dengan amanah, kemudian ilmiah atau penjelasan sesuai dengan perkembangan jiwanya dan datang pada waktu yang tepat.
Perkembangan Sosial
Anak semenjak dilahirkan telah masuk dalam kelompok manusia. Dilahirkan ke dunia sebagai anak dari Ibu-Bapak yang mengasuh dan membesarkan, kemudian kadangkala dan mempunyai saudara lagi dalam keluarga manusia telah mempunyai naluri untuk bergaul dengan sesamanya semenjak dia dilahirkan di dunia. Itu hubungan dengan sesamanya merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia.
Kemudian anak sebagai pribadi yang tumbuh dan berkembang di dalam proses perkembangannya memerlukan relasi dan komunikasi dengan orang lain terutama dalam relasinya dengan ibu, ayah, kakak, keluarga dekat dan lingkungan tetangga. Namun dalam prosesnya anak berhubungan dengan manusia lainnya, itulah terjadi pengaruh timbal balik terhadap prilaku sosial anak.
Sejak anak berumur satu tahun, ia hanya dapat berhubungan dengan ibu, ayah, atau dengan orang dewasa lainnya yang tinggal bersama sama dirumah itu. Semua anggota keluarga mempunyai tugas tertentu untuk kepentingan si anak. Dalam perkembangan selanjutnya, kesanggupan berhubungan batin dengan orang lain makin lama tampaknya makin nyata perkembangan sosial barulah agak nyata bila ia memasuki masa kanak-kanak. Sekitar usia dua atau tiga tahun anak sudah mulai membentuk masyarakat kecil yang anggotanya terdiri dari dua atau tiga orang anak. Mereka bermain bersama walaupun sekelompok itu dapat bertahan dalam waktu yang relatif singkat. Dalam kegiatan semacam itu anak sudah menghubungkan dirinya dengan suatu masyarakat yang baru di dalamnya mulai terjadi perkembangan baru yaitu perkembangan sosial.[17]
Prilaku sosial anak mencerminkan adanya proses sosialisasi yang pada gilirannya bisa menimbulkan kerjasama diantara mereka di dalam interaksi sosial anak, kerjasama ini bisa mulai terlihat ketika anak-anak dalam kehidupan keluarga atau sesama anak tetangga. Dengan dasar itu pula anak tersebut akan menggambarkan bentuk hubungan prilaku sosialnya dengan orang lain dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, bentuk kerjasama tersebut berkembang sesuai dengan tujuan yang akan dicapainya dan mereka sadar bahwa tujuan tersebut akan bermanfaat bagi semuanya.
Masa kanak-kanak merupakan masa bergaul bagi anak-anak dari umur dua sampai enam tahun anak belajar melakukan hubungan sosial dengan orang diluar keluarganya, mereka belajar menyesuaikan diri dan bersikap sesuai dengan kelompoknya. Orang dewasa yang ada di lingkungannya, keluarga sering berperan sebagai teman bermain. Antara usia dua sampai empat tahun, anak akan menemukan kenyataan bahwa anggota keluarga tidak dapat atau tidak mau menyediakan waktu yang cukup untuk bermain dengannya. Akibatnya anak sangat mengharapkan hubungan dengan teman sebayanya. Namun bila tidak mendapat kesempatan bermain dengan temannya anak akan lebih menyendiri dan putus asa.
Dalam perkembangan selanjutnya dapat dilihat sikap-sikap yang dominan muncul sehubungan dengan perkembangan sosialnya. Prilaku-prilaku tersebut terangkum dalam pola-pola tertentu, Elisabeth Hurlock menyebutkan beberapa prilaku yang muncul pada masa sosialisasi diantaranya “kerjasama yang muncul pada anak yang berusia empat tahun dimana, anak-anak suka melakukan kegiatan bersama dengan teman-temannya. Pada saat ini muncul pola persaingan yang merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berpacu mencapai kebaikan, munculnya sikap-sikap simpatik terhadap teman sebaya, juga mewarnai proses sosialisasi.[18]
Dalam proses sosialisasi tidak setiap anak dapat mencapai target seperti yang dialami teman-temannya. Apabila ada diantara kelompok yang tidak bisa menyesuaikan diri maka hal ini akan menjadi problem yang sangat mengganggu perkembangan mentalnya. Selanjutnya sikap-sikap negativistic itu muncul pada anak berusia tiga dan enam tahun. Ekspresi fisiknya, mirip dengan ledakan kemarahan, sikap-sikap yang muncul itu diantaranya, sikap agresif, dimana biasanya anak mengadakan permusuhan yang nyata, hal itu bisa berwujud serangan fisik. Maupun lisan terhadap pihak lain, yang biasanya terhadap anak kecil. Pertengkaran antar kelompok, mengejek kepada teman, membalasi dendam, prilaku sok kuasa, egosentrisme, bahkan antagonisme terhadap lain jenis, merupakan sikap-sikap negatif yang muncul sehubungan dengan proses sosialisasi.
Anak dan proses interaksinya mempunyai bentuk prilaku sosial yang bermacam-macam. Ada yang bersifat aktif maupun yang bersikap pasif dan tingkah laku lainnya yang terdapat dalam diri masing-masing anak. Meskipun demikian pada dasarnya yang terpenting adalah bagaimana proses interaksi itu berlangsung dengan kondisi dan situasi yang melengkapinya termasuk lawan interaksi dalam perkembangan kehidupan prilaku sosial anak terutama di awal pertumbuhan dan perkembangan mereka.


[1]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 19.
[2]Jamaluddin, Psikologi agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 64.
[3]SyamsuYusuf,Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, hlm. 150.
[4]Sumantri Patmono Dewo, Pendidikan Anak Pra Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 25.
[5]Ibid, hlm. 32.
[6]SyamsuYusuf,Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, hlm. 163.
[7]Siti Rahayu Hadi Tomo, Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1985,hlm. 91.
[8]Emile Durkem, Pendidikan Moral, Erlangga, Jakarta, 1990.
[9] Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta, 1999, hlm. 118.
[10]Ibid, hlm. 119.
[11]Zakiah Darajat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Bulan Bintang, Jakarta,1998, hlm. 10-111.
[12]Agus Creamers, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W Fowler, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 72.
[13]Ibid, hlm. 85.
[14]Ibid, hlm. 96
[15]Ibid, hlm. 95.
[16]Jalaluddin, Psikologi Agama, PT, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm.  68.  
[17]Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001, hlm. 45.
[18]Elisabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid I Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1978, hlm. 262.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.