Thursday 17 November 2016

MEMELIHARA PERSAUDARAAN

artikel789.com - Salah satu ajaran pokok dalam Islam (dan dalam ajaran agama langit lainnya), bahwa manusia itu berasal dari satu keturunan, yaitu keturunan Nabi Adam. Berbeda bangsa dan bahasa, tidak samanya warna kulit, dan adat-istiadat yang beraneka ragam bukan untuk membeda-bedakan, akan tetapi merupakan salah satu jalan untuk saling membina dan salah satu jalan untuk saling mendekati, saling membina dan saling tukar pengalaman untuk kepentingan mereka sendiri.
Demikian pula halnya dalam perbedaan agama dan kepercayaan, janganlah menyebabkan putus hubungan, hidup rukun dengan sesama manusia harus benar-benar dilaksanakan, sebab Islam telah mengajarkan bahwa hidup di dunia ini harus tenteram, damai, jauh dari permusuhan dengan tetap teguh memegang identitas diri masing-masing. Khusus bagi sesama mukmin dan muslim, Islam telah meletakkan dasar yang kuat untuk memelihara persaudaraan yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari secara langsung, praktis dan edukatif, diikat oleh kesamaan akidah. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Hujurat ayat 10:
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Sikap persaudaraan bukan hanya sekedar doktrin atau ajaran, tetapi perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga keakraban sesama muslim dapat terlihat, saling membantu dan saling memperhatikan.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim ada lima hal yang dapat mengokohkan dan mengeratkan persaudaraan sesama muslim itu, yaitu:
1.      Mengucapkan salam
Apabila bertemu antara seorang muslim dengan muslim lainnya, dianjurkan kepada salah seorang diantara mereka mengucapkan salam, dan wajib bagi yang lainnya untuk menjawabnya. Ucapan salam ini diucapkan apabila mereka bertemu atau akan berpisah. Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 86 menyatakan:
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.
Saking pentingnya salam, Islam menetapkannya menjadi rukun dalam menutup ibadah shalat, sehingga tidak akan sah shalat seseorang apabila tidak ditutup dengan ucapan salam.
Setiap orang muslim yang tidak mengucapkan salam apabila bertemu dengan saudaranya, dapat dianggap belum memenuhi tatacara pergaulan secara Islam. Walaupun hukumnya tidak wajib dan tidak berdosa apabila tidak mengucapkannya, tetapi orang yang mengabaikan ucapan salam itu perlu diingatkan dengan cara yang bijaksana. Demikian pula apabila kita memasuki suatu pertemuan atau keluar dari suatu pertemuan disunahkan mengucapkan salam.
2.      Menjenguk orang sakit
Yang kedua, yang menjadi pengikat persaudaraan sesama muslim ialah menjenguknya apabila sakit, sebab dengan menjenguk yang sakit ada beberapa manfaat yang dapat dipetik:
  • Memperlihatkan turut berduka atas penyakit yang dideritanya
  • Menguatkan dan lebih dapat mempererat persaudaraan
  • Menghibur yang sakit agar bersabar dan berbesar hati.
Sikap seperti itu dapat menyebabkan lebih dekatnya persaudaraan antara yang menjenguk dan yang dijenguk. Hal ini merupakan manfaat nyata yang sifatnya lahiriah, sedangkan kalau dilihat dari segi batiniah, menjenguk orang sakit merupakan ibadah, berupa amal saleh yang dapat dijadikan bekal kita di akhirat, bahkan pahalanya sangat besar sehingga para malaikat turut mendoakan agar orang-orang yang menjenguk orang sakit dosanya diampuni oleh Allah SWT.
3.      Takziah kepada orang yang meninggal
Takziah kepada orang yang meninggal sangat dianjurkan oleh ajaran Islam, bahkan alangkah baiknya apabila turut serta menyalatkan dan terus mengantarkannya ke kuburan, sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang artinya:
Barang siapa yang menyaksikan jenazah kemudian turut serta menyalatkannya maka baginya mendapat satu bagian, dan barang siapa yang menyaksikan jenazah sampai mengantarkannya ke kuburan mereka mendapat dua bagian. Rasulullah ditanya, apakah yang dimaksud dua bagian itu? Rasul menjawab, seperti dua gunung yang besar (pahalanya). (HR. Mutaffaqun ‘alaih)
Pengaruh atau manfaat takziah itu ada dua macam, yaitu:
  • Mengingatkan manusia kepada Tuhannya, sebab bagi orang yang hidup kejadian tersebut bisa menjadi peringatan kepadanya yang dapat menimbulkan keinsafan bahwa umur manusia itu telah ditetapkan oleh Allah, sementara ajal manusia tidak ada yang tahu kapan datangnya.
  • Mempererat hubungan dengan sesamanya, khususnya dengan keluarga yang sedang dilanda duka-cita, dengan adanya takziah kesedihannya akan berkurang.
4.      Memenuhi undangan
Berbagai macam undangan dari sesama muslim yang biasa datang kepada kita, seperti undangan pengajian, undangan syukuran, undangan pertemuan, undangan pernikahan dan sebagainya. Undangan tersebut mungkin harus kita penuhi, sebab dengan menghadiri undangan dapat mempererat persaudaraan sesama muslim. Apabila kita berhalangan dan tidak dapat memenuhi undangan tersebut, usahakanlah memberitahukannya, sehingga ketidakhadiran kita tidak menimbulkan berbagai macam prasangka bagi yang mengundang, dan lebih jauhnya untuk menghindari renggangnya tali persaudaraan.
5.      Mendoakan orang yang bersin
Kelima, yang diharapkan dapat mempererat persaudaraan adalah mendoakan saudara kita apabila ia bersin. Apabila yang bersin mengucapkan alhamdulillah, maka yang mendengar hendaklah mengucapkan yarhamukallah apabila yang bersin laki-laki, yarhamukillah bagi yang bersin perempuan. Kemudian yang bersin menjawabnya dengan yahdikumullah wayuslih baalakum.
Rasulullah bersabda, “Apabila seseorang yang bersin tidak mengucapkan alhamdulillah, janganlah didoakan”. (HR. Muslim). Demikian pula kalau yang bersin bukan orang Islam, tidak boleh kita doakan dengan ucapan yarhamukallah, sebab orang Yahudi pernah sengaja bersin di hadapan Rasulullah dengan harapan ingin didoakan dengan ucapan yarhamukallah, tetapi mendoakannya dengan ucapan yahdikumullah wayuslih baalakum.
Share:

Monday 14 November 2016

MEMELIHARA AGAMA

Kita mengetahui bahwa agama Islam merupakan aturan Allah yang diberikan kepada manusia, sehingga dengan aturan tersebut manusia mengetahui perbedaan antara halal dan haram, manfaat dan mudharat, baik dan jelek dalam arti yang sebenarnya.
Barangsiapa yang berbuat baik sebagaimana yang diajarkan Islam, dia akan mendapat pahala, di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa yang berbuat jahat sebagaimana yang dilarang Islam, dia akan mendapat kehinaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Apabila di dunia tidak ada agama, tentu manusia tidak mengetahui kebaikan dan kejelekan, tidak akan mengetahui halal dan haram, tidak dapat membedakan manfaat dan mudharat, bahkan tidak takut terhadap Allah. Manusia akan berbuat sekehendak hatinya, bahkan mungkin akan lebih banyak permusuhan daripada persahabatan, hubungan silaturahmi putus, jalan kehidupan rusak, sehingga hidup manusia akan menyerupai kehidupan hewan.
Oleh karena itu, agama adalah pemimpin manusia, memberi petunjuk cara mengatur kehidupan, mengatur hak dan kewajiban sesamanya agar manusia selamat di dunia dan bahagia di akhirat.
Islam mendidik dan memberitahu manusia bahwa mereka merupakan makhluk Allah yang paling utama dibandingkan makhluk lain, sehingga apabila mereka mengetahui dan menyadari keadaan dirinya yang dimuliakan Allah, tentu mereka tidak akan mau menghinakan dirinya dengan perbuatan yang menyerupai perbuatan hewan. Selain itu, Islam mendidik agar manusia memiliki kesopanan, jujur, malu berbuat dosa, memelihara amanat, berlaku adil, dan perbuatan lainnya agar manusia tetap mulia. Sebaliknya Islam juga mengajarkan bahwa berlaku curang, dusta, dan zalim merupakan sifat yang harus dijauhi, sebab bisa merusak pergaulan dan bisa memutuskan hubungan.
Dengan demikian jelaslah, agama itu mendidik manusia agar memiliki budi pekerti yang luhur dan mulia, akhlak yang utama, dan menjauhkan manusia dari sifat hina dan aniaya, sifat yang akan membahayakan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat yang akhirnya akan mengganggu ketertiban dan ketentraman umum. 
Aturan agama Islam yang tercantum dalam al-Qur’an yang diturunkan Allah, adalah untuk membongkar dan mengubah adat dan perbuatan jelek yang akan merusak jasmani dan rohani, untuk menghancurkan kebiasaan berbuat jahat yang merendahkan derajat manusia yang telah dimuliakan Allah SWT. Dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat yang menyuruh melakukan suatu perkara dengan dijelaskan manfaatnya, dan terdapat ayat-ayat yang melarang melakukan suatu perkara dengan penjelasan mudharatnya dari perkara itu apabila dikerjakan, seperti larangan berjudi, minum khamr dan sebagainya.
Demikian juga Islam memerintahkan shalat, zakat, atau puasa disertai dengan keterangan hikmah dan manfaatnya.
Ajaran Islam begitu sempurna tentu membutuhkan pemeliharaan dari umatnya, membutuhkan penjagaan agar ajarannya tetap diamalkan oleh umat manusia, baik yang hidup saat ini maupun keturunannya. Allah SWT berpesan kepada manusia agar agama ini tetap dipelihara sebaik-baiknya bahkan jangan mati kecuali dalam keadaan Islam. Allah berwasiat kepada nabi-nabi lainnya agar memelihara agama sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an, yaitu:
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. Asy-Syura: 13)
Karena memelihara agama itu penting, Allah SWT alam memberi balasan berupa siksaan terhadap orang yang murtad (orang yang keluar dari agama Islam) balasan dunia dan balasan akhirat, sehingga semua amal kebaikan yang pernah dikerjakannya hilang sama sekali, sedangkan di akhirat akan mendapat siksa yang sangat pedih dan kekal. Allah SWT berfirman:

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Kadang-kadang seorang manusia murtad beberapa kali, pada mulanya pemeluk Islam, kemudian kufur, sudah kufur kembali masuk Islam, selanjutnya kembali kufur. Imannya maju mundur, sebab selamanya dia ragu terhadap kebenaran Islam.
Share:

Saturday 12 November 2016

KEPEMIMPINAN WANITA

Ada yang beranggapan bahwa ajaran Islam tidak adil, terutama dalam hal kedudukan kaum Hawa. Mereka tidak mengerti apa sebabnya Islam menetapkan waris terhadap laki-laki lebih besar daripada wanita. Dalam menutup aurat, wanita lebih tertutup daripada pria, hal ini dianggap bahwa Islam tidak adil.
Sebelum kita mengetahui bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap kaum wanita, terlebih dahulu kita harus tahu dulu bagaimana kedudukan wanita di daerah luar Islam. Agama Manu di India sama sekali tidak mengenal adanya hak wanita, hak wanita terpisah dari laki-laki, baik ayahnya, suaminya, maupun anaknya. Contoh, apabila suami meninggal, si istri harus bersatu dengan keluarga suaminya, selanjutnya dia tidak memiliki hak untuk mengatur kehidupannya sendiri. Bahkan lebih kejam lagi, mereka tidak mengakui hak wanita untuk bergaul di masyarakat, dan wanita tidak berhak hidup apabila suaminya wafat, dia harus mengikuti suaminya wafat dengan cara dibakar bersama-sama. Adat kebiasaan ini berlangsung semenjak kebudayaan agama Brahmana sampai abad ke-17.
Agama Hammurabi di Babilonia beranggapan bahwa wanita merupakan hewan peliharaan yang menjadi miliki seseorang, pemiliknya bebas berbuat semaunya terhadap dia, sehingga ada hukum yang menetapkan bahwa apabila seorang wanita membunuh wanita lain, hukumannya dia harus memberikan anak perempuannya untuk dibunuh. Di lingkungan masyarakat Yunani kuno wanita sama sekali tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan dalam hak dan undang-undang, tempat tinggal mereka terpisah di tempat-tempat yang jalannya sempit dan dijaga ketat. Bangsa Mongol sama sekali tidak memberi hak waris kepada kaum wanita. Hanya bangsa Mesir Kuno yang pernah memberi hak yang sama antara laki-laki dan wanita, tetapi kebisaan ini hilang begitu saja sebelum Islam lahir.
Ternyata al-Qur’an sudah mengubah keadaan tersebut dengan menetapkan hak-hak wanita sesuai dengan fitrahnya dan mengangkat derajat kaum wanita menjadi sederajat dengan laki-laki, bahkan menurut Islam persamaan hak dan kewajiban antara wanita dan pria sudah digambarkan semenjak adanya Adam dan Hawa. Karena Adam dan Hawa melanggar larangan Allah, keduanya diusir. Hal ini membuktikan bahwa hak dan kewajiban, bahkan sanksi atau hukuman antara wanita dan pria semenjak Adam dan Hawa diciptakan sama. Demikian juga, setelah mereka menyadari akan dosanya, keduanya memohon ampun kepada Allah.
Bahkan Islam menetapkan bahwa dosa seseorang tidak akan bisa ditanggung oleh orang lain, dan anak cucu Adam tidak memiliki dosa turunan, baik dari Adam maupun dari Hawa. Dosa wanita ditanggung dirinya sendiri, demikian juga dosa pria ditanggung dirinya sendiri, demikian juga dosa pria ditanggung dirinya sendiri.
Islam sudah berhasil menyelamatkan kaum wanita dari penguburan hidup-hidup, dan mengangkat derajatnya setinggi-tingginya. Dalam al-Qur’an digambarkan bagaimana nasib kaum wanita pada zaman Jahiliyah, yaitu firman Allah:

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. An-Nahl: 58-59).
Islam mengubah keadaan yang paling hina dengan menetapkan kewajiban bagi setiap muslim agar berbakti terhadap kedua orangtuanya. Sebagaimana firman Allah SWT:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)
Bagaimana sebenarnya hak-hak wanita menurut Islam? Terlebih dahulu perlu diketahui bahwa yang disebut adil itu bukan harus semua sama, tetapi keadilan bisa terwujud apabila sudah bisa membayarkan hak seseorang sesuai dengan kewajiban dan tanggungjawabnya.
Sebagai bukti bahwa Islam sudah mengajarkan hak-hak wanita sesuai dengan kewajiban dan tanggungjawabnya, Islam menetapkan bahwa wanita sama mendapat bagian dan warisan sesuai dengan tanggungjawabnya. Wanita akan mendapat pahala yang sama apabila mau beribadah dan amal shaleh, bahkan Allah menjanjikan bahwa barangsiapa yang beramal shaleh, baik pria maupun wanita disertai iman, tentu akan mendapat kehidupan yang baik dan diberi pahala yang lebih besar daripada yang dikerjakannya. Demikian juga Islam memberi hukuman yang sama terhadap pria dan wanita yang berzina atau mencuri.
Share:

Friday 11 November 2016

ISLAM MEWAJIBKAN BEKERJA DAN ANTI PENGANGGURAN

Marilah kita selalu berusaha meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Yaitu dengan senantiasa berupaya mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh kesadaran, kesabaran, kemauan, kesungguhan hati dan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah. Kita yakin seyakin-yakinnya, bahwa hanya dengan iman dan taqwa kepada Allah inilah kita akan mendapatkan kebahagiaan, keselamatan, dan ridha Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat.
Orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah akan senantiasa mendapatkan pertolongan dari Allah. Ia juga akan mendapatkan al-furqan, petunjuk yang dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, dapat membedakan antara yang bermanfaat dan mudlarat.
Dengan senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Allah pula kita akan senantiasa diselamatkan dan dimenangkan dari segala macam godaan setan, akhlak tercela dan perbuatan jahat sehingga dalam hidup ini senantiasa selamat dan tiada pernah menyentuh azab neraka, tidak akan mengalami kesusahan atau berduka cita.
Dengan bekal keimanan dan ketaqwaan kepada Allah manusia akan senantiasa dapat mempertahankan jadi dirinya sebagai makhluk Allah yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Allah yang lain, menjadi makhluk yang berilmu pengetahuan, berketrampilan dan berkemampuan tinggi. Manusia itu sendiri pada dasarnya diciptakan Allah sebagai makhluk yang terbaik, termulia dan bermanfaat bagi alam sekitarnya. Dan selanjutnya dengan kemampuan dan ketrampilannya akan dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk mewujudkan kemakmuran, kemajuan dan kejayaan dimuka bumi ini dalam naungan rahmat, maunah dan ridha Allah.
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik dibanding dengan makhluk lainnya. Manusia memiliki berbagai macam kelebihan dibanding dengan makhluk Allah lainnya, baik kelebihan dalam bentuk tubuh, pengetahuan maupun kemampuan lainnya. Kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah kepadanya diantaranya adalah diberi akal, yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sah dan mana yang batal, mana yang bermanfaat dan mana yang mudharat.
Dengan kemampuan dan ketrampilan itu manusia dapat menciptakan lapangan kerja dan dapat bekerja secara baik dan bermanfaat untuk hidup dan kehidupannya. Dengan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki ini manusia akan senantiasa bekerja dan bekerja demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan meraih manfaat sebesar-besarnya.
Pekerjaan yang dilakukan bukanlah semata-mata bekerja namun memiliki dasar dan tujuan yang baik dan mulia. Umat Islam senantiasa melaksanakan tugas dan pekerjaan atas dasar melaksanakan perintah Allah, untuk bekal ibadah dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan yang dilaksanakan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan lahir batin di dunia dan akhirat dengan ridha Allah SWT. Karena itulah Islam mewajibkan kepada para pemeluknya, untuk bekerja secara baik, berakhlak mulia dan berprestasi unggul.
Bila manusia dapat bekerja secara baik, berakhlak mulia dan berprestasi unggul, maka dia akan dapat meraih derajat tinggi dan tempat mulia. Ia akan dihormati, dimuliakan dan disegani oleh orang-orang sekelilingnya.
Agama Islam senantiasa mendorong kepada umatnya giat bekerja dan lebih baik lagi kalau bisa menciptakan lapangan kerja. Jangan sampai umat Islam malas bekerja, tidak mau berusaha dan senang menjadi pengangguran. Kerja apa saja boleh asalkan halal dan tidak melanggar aturan agama dan undang-undang negara yang berlaku. Jangan sampai tenaga dipergunakan untuk mencari rizki dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dan masyarakat umumnya.
Allah sangat mencintai orang yang bekerja untuk memenuhi biaya hidup dan kehidupannya, terlebih lagi untuk bekal beribadah kepada-Nya. Sebaliknya Allah sangat membenci orang-orang yang senang menganggur, lemah, lunglai dan tidak mau berusaha sehingga menggantungkan hidupnya pada orang lain.
Orang yang senang menganggur tidak hanya sekedar dibenci oleh Allah, bahkan ia disiksa Allah pada hari kiamat dengan siksaan yang sangat hebat. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya agama Islam sangat anti pengangguran. Islam sangat menekankan kepada pemeluknya untuk bekerja. Karena orang yang bekerja akan dapat menentukan derajat seseorang. Seorang yang bekerja akan ditinggikan Allah derajatnya, sebagaimana firman Allah:
Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan (QS. Al-Ahqaf: 19)
Bekerja bukan sekedar untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup secara material semata, namun bekerja juga dapat mengantarkan seseorang kepada kesuksesan dalam hidup dan kehidupan. Sebaliknya apabila seseorang menganggur akan memejamkan hati, menghayal yang tidak-tidak dan akhirnya bisa menjerumuskan pada perbuatan yang kurang baik.
Hati yang buta akan menjadi sarang segala bentuk kejahatan. Tidak mengetahui halal dan haram, benar dan salah, lurus dan bengkok. Hidupnya menjadi tidak menentu dan salah arah serta mudah terombang-ambing goncangan zaman. Akibatnya adalah hidupnya selalu bergelimang dalam kemaksiatan dan dosa, selalu dirundung resah, gelisah dan susah serta selalu dalam kegagalan dan kegagalan. Maka tidak heran bila Allah menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang beriman dan mau bekerja dengan baik. Sebagaimana firman Allah:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97)
Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mau melakukan aktifitas apapun, dia itu melawan fitrah dirinya sendiri, menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia.
Oleh sebab itu, Islam sangat anti terhadap orang-orang yang senang menganggur, malas dan tidak mau melakukan aktifitas apapun. Sebaliknya Islam mewajibkan bekerja dan mencintai pekerjaan sesuai dengan bidang masing-masing. Islam tidak saja menganjurkan pemeluknya menjadi pekerja ulet, menjadi tenaga kerja yang siap pakai, bahkan dianjurkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan untuk membantu sesamanya demi kesejahteraan umat manusia.
Umat Islam jangan hanya bangga menjadi kuli umat beragama lain namun haruslah dapat menjadi majikan di negeri sendiri. Umat Islam harus berprestasi tinggi baik dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam ketrampilan menerapkan ilmu dalam wujud amal shaleh di tengah-tengah masyarakat.
Kehidupan umat Islam yang saat ini masih berada dalam cengkeraman para kapitalis segera lepas dan bangkit menyongsong kejayaan Islam di masa depan. Umat Islam harus meningkatkan etos kerja. Pengangguran yang semakin hari semakin membludak secara pelan-pelan harus dikurangi dengan menyediakan lapangan kerja. Islam tidak mentolerir pengangguran karena menjadi beban masyarakat, bangsa dan negara. Semoga usaha ini mencapai keberhasilan dengan maunah dan ridha Allah.
Share:

Thursday 10 November 2016

MEMELIHARA JIWA

Salah satu keutamaan hidup adalah apabila kita bisa memelihara jiwa atau diri dengan segala anggotanya, sebab apabila salah satu anggotanya rusak dan menyebabkan tidak sempurnanya diri manusia. Bahkan sudah menjadi tabiat manusia, mereka menyukai kebaikan dirinya, sehingga untuk mencapai keinginan tersebut telah tercapai, tentu sebutan baik akan diperoleh.
Sebaliknya, manusia tidak menginginkan apabila dirinya mendapat sebutan jelek, bahkan tidak mau disebut orang jahat meskipun memang benar dia orang jahat. Ini merupakan satu bukti manusia mencintai dirinya lebih dari mencintai yang lain.
Agama Islam tidak melarang umatnya mencintai dirinya sendiri, bahkan menetapkan berbagai kewajiban yang harus diperbuat yang berhubungan dengan hak pribadinya. Setelah manusia mengetahui hal itu, biasanya mereka baru mencintai dirinya. Bahkan sebenarnya manusia tidak akan mencintai dirinya apabila belum mengetahui bagaimana sebenarnya kedudukan harga dirinya dalam kehidupan.
Selain itu, manusia pun harus mengetahui hak dan kewajiban serta batas-batas dirinya sebagaimana mestinya, tidak boleh berlebihan atau melewati batas, tetapi juga jangan kurang, sebab kemungkinan kena tagih.
Untuk mencapai kesempurnaan diri, ada 3 kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap manusia, yaitu:
1.      Kewajiban manusia terhadap harta benda
Setiap pribadi berhak mendapatkan harta benda untuk bekal hidupnya di dunia, seperti makanan, pakaian, perhiasan, tempat tinggal, alat-alat rumah tangga, sawah, ladang, emas, perak, dan keperluan hidup lainnya. Terhadap semua harta benda ini manusia dituntut agar mengusahakan haknya dengan sungguh-sungguh melalui usaha dan bekerja disertai percaya dan yakin pada kekuatan yang ada pada dirinya sebagaimana yang telah dikaruniakan Allah kepadanya.
Agama Islam sudah menentukan beberapa jalan untuk mencari dan menghasilkan kekayaan yang diperlukan manusia. Barang siapa yang mengusahakan kekayaan atau harta benda dengan jalan halal, sebagaimana yang sudah diatur Islam, maka akan mendapat pahala dari Allah dan pandangan baik dari sesama manusia. Sebaliknya barang siapa yang mengusahakan haknya dengan jalan haram, yang dilarang agama, maka akan mendapat siksa dari Allah dan pandangan jelek dari sesama manusia.
2.      Kewajiban manusia terhadap kesehatan
Ahli kesehatan mengatakan bahwa memelihara kesehatan lebih mudah dan lebih murah daripada mengobati. Oleh karena itu, kita harus menjaga kesehatan tubuh agar jangan terserang penyakit, sebab biaya pengobatannya lebih mahal daripada menjaga. Apabila penyakitnya penyakit orang kaya, penyakit yang susah mencari obatnya. Begitupun menentukan macam-macam penyakit agar tahu obatnya tidak semua orang mengetahui, hal ini tentu saja memerlukan penelitian dokter. Sebab, apabila mengobati penyakit dengan dikira-kira, menurut ilmu pengetahuan dan penelitian, bahayanya akan lebih besar daripada manfaatnya. Mengetahui suatu obat dan menentukan ukurannya bagi seseorang yang terserang penyakit bukan pekerjaan gampang, bukan pekerjaan yang diketahui oleh setiap orang. Tetapi hal itu, khususnya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memang menekuni bidang itu, seperti dokter dan ahli kesehatan lainnya. Sedangkan memelihara kesehatan mungkin semua manusia bisa melakukannya, asal manusia mengetahui aturannya. Bahkan menurut pandangan Islam, memelihara kesehatan merupakan hal yang harus terlebih dahulu dilakukan sebelum melaksanakan kewajiban, sebab seseorang yang tidak sehat tentu tidak akan bisa sempurna dalam melaksanakan kewajiban agamanya. Oleh karena itu, undang-undang tidak membenarkan seseorang melaksanakan kewajiban yang diluar kekuatan dan kemampuan fisiknya, sebab hal itu akan merusak kesehatan. Apabila tubuh sudah tidak sanggup atau kecapaian oleh suatu pekerjaan, maka ia berhak istirahat agar tubuh tetap sehat, tenaga bisa berkumpul kembali sebagaimana biasa.
Apabila tubuh kita memiliki hak dari kita, berarti kita memiliki kewajiban yang harus dikerjakan untuk kepentingan tubuh kita sendiri agar tubuh tetap sehat dan kuat, jauh dari macam-macam penyakit. Apabila sudah demikian, insya Allah, amal shaleh kita akan bertambah, bermanfaat bagi umat, dan Allah akan mencintai kita.
3.      Kewajiban manusia terhadap kesopanan
Kewajiban manusia selanjutnya yaitu kewajiban untuk tetap memelihara kesopanan hidup, terutama adab dan akhlak yang mulia, dan mengisi akalnya dengan macam-macam ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. untuk memenuhi hal ini ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian dari kita, yaitu:
a. Harus mengetahui batas-batas hak diri pribadi
Mengetahui hak-hak pribadi dan batas-batasnya, seperti batas-batas pengetahuan manusia, batas kekuatan anggota badan, batas tingkat derajat dan keunggulan dari yang lain. Gunanya mengetahui batas-batas ini agar kita selaku manusia tidak menjerumuskan diri sendiri ke jurang kehinaan dan kebinasaan. Manusia harus berusaha agar tidak melakukan hal-hal yang di luar kemampuan akalnya, ilmu, dan harta benda.
Orang yang mengetahui batas-batas dirinya, bisa terlihat dalam tutur kata, amal perbuatan, sopan santun, atau budi pekertinya. Dia akan berbicara berdasarkan kemampuan pengetahuannya, tidak pernah bicara sok tahu atau sejenisnya. Dengan cara itu, dia tentu akan mendapat penghargaan dari orang lain. Dia sudah bisa memperlihatkan kelebihan dirinya berdasarkan batas-batas tertentu yang dimilikinya; tidak pernah sombong karena keturunannya. Demikian juga dalam bekerja berdasarkan kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya, tidak pernah memaksakan diri melakukan hal-hal yang diluar kemampuannya.
Sebaliknya orang bodoh tidak mengetahui batas-batas kemampuan dirinya, bisa terlihat dari tutur kata dan tingkah lakunya. Apabila berbicara, yang dikatakan hal-hal yang tidak diketahui dengan sebenarnya.
b. Mencintai dirinya
Mencintai diri sendiri berarti berusaha agar bisa memperoleh kebaikan dan menghindari kejelekan yang akan mencelakakan diri sendiri. Tidak akan ada yang disayangi, dikasihi, dicintai, dan dihormati kecuali diri sendiri. Apabila tidak ada rasa hormat, sayang, dan cinta terhadap diri sendiri, tentu tidak akan ada manusia yang memperoleh keuntungan dan tidak akan bertemu dengan kebahagiaan, sebab mungkin takkan ada yang mau bekerja dan berusaha mencari rezeki, kedudukan dan keutamaan.
c. Menghormati diri sendiri
Menghormati diri sendiri yaitu melakukan pekerjaan yang menyebabkan orang lain menghormati kita, seperti sopan santu, tingkah laku yang sesuai dengan aturan pergaulan, adat kebiasaan, terutama yang sesuai dengan aturan agama. Hormat kepada orang tua, menyayangi sesama, jujur terhadap sahabat dan kerabat, rela ditegur apabila berbuat salah, suka memberi nasehat, lisan tidak pernah mencela, tidak pernah menghina sesama manusia meski bagaimanapun keadaannya.
Orang seperti ini akan mendapat penghormatan dari orang lain yang berarti dia sudah bisa menghormati dirinya sendiri, sebab penghormatan orang lain itu bergantung kepada penghormatan kita kepada orang lain. Sebaliknya apabila kita tidak memperlihatkan akhlak yang mulia, tidak melakukan kebaikan, tidak menghargai orang lain, maka orang lain pun takkan mau menghormati dan menghargai kita.
Share:

CIRI-CIRI MUTTAQIN (ORANG YANG BERTAQWA)

Di dunia ini ada satu golongan umat manusia yang dicintai Allah SWT, golongan yang akan dimudahkan jalan kehidupannya di dunia dan akan diberi kebahagiaan di akhirat, bahkan golongan ini akan diberi jalan keluar dari berbagai macam kesulitan hidup dan diberi rezeki yang tidak disangka-sangka sebelumnya. Golongan ini tiada lain yaitu golongan manusia yang disiplin, taat dan patuh terhadap aturan Allah, golongan yang konsekuen dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Golongan ini dalam Islam disebut muttaqin. Marilah kita perhatikan firman Allah SWT:
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Berbagai macam kesulitan hidup memang akan dialami oleh seorang manusia, kesulitan hidup dalam bidang perusahaan, pekerjaan, rumah tangga, pergaulan, pendidikan, dan sebagainya. Bagi orang yang taqwa akan diberi jalan keluar untuk menyelesaikan kesulitan tersebut, minimal bisa mengurangi kesulitan itu. Oleh sebab itu, setiap Jum’at khatib berwasiat agar tetap bertaqwa, sebagaimana firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Bagaimana yang disebut taqwa itu? Manusia yang memiliki sifat dan ciri yang bagaimana yang akan diselamatkan di dunia dan di akhiratnya?
Banyak sekali ciri-ciri taqwa dalam al-Qur’an, bahkan tidak kurang dari seratus macam kata yang menerangkan ciri dan sifat muttaqin itu. Diantaranya berdasarkan surat Ali Imran ayat 134-135 ada 4 syarat ciri muttaqin, yaitu:
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
1.      (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.
Apabila seorang hartawan menginfakkan hartanya ratusan ribu rupiah kedengarannya tidak aneh. Tetapi apabila ada seseorang yang hidupnya selamanya kekurangan, tetapi dia menyisihkan harta yang sedikit itu untuk infak, maka yang seperti ini baru bisa disebut kejutan. Pantaslah Allah memberi gelar muttaqin terhadap orang yang seperti ini.
2.      Ciri taqwa yang kedua yaitu dan orang-orang yang menahan amarahnya.
Setiap orang memang sering marah, sifat ini biasanya timbul apabila menemukan persoalan yang tidak sesuai dengan keinginan. Amarah ini merupakan pengaruh setan, sedangkan setan itu berasal dari api. Ada api yang cepat menyala dan cepat padam, ada juga api yang susah menyala dan susah padam, ada api yang cepat menyala tetapi susah padam, bahkan ada yang susah menyala tetapi cepat padam; demikian juga manusia ada yang mudah marah dan susah hilang, mudah marah mudah hilang, susah marah tetapi mudah hilang, bahkan ada yang susah marah dan susah hilang.
3.      Ciri taqwa yang ketiga adalah “mema’afkan (kesalahan) orang”.
Tidak akan disebut insan apabila tidak pernah nisyan, tidak akan disebut manusia apabila tidak pernah salah. Yang namanya manusia pasti berbuat salah. Oleh karena itu, setiap muslim harus pemaaf. Allah SWT pun sangat pemaaf terhadap manusia. Manusia yang taqwa yaitu yang mencontoh sifat Allah dalam hal memaafkan kesalahan orang lain.
Apa sebabnya kita harus saling memaafkan dan saling membebaskan dosa? Sebabnya tiada lain dosa yang tidak diminta maafnya di dunia akan menjadi beban di akhirat. Oleh karena itu, masalah saling memaafkan ini tidak bisa disepelekan oleh kita, terutama yang ingin mendapat sebutan muttaqin.
4.      Ciri taqwa yang keempat yaitu:
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu.
Apabila kita akan mencari orang yang tidak pernah salah atau tidak pernah berdosa, rasanya tidak akan menemukan. Oleh karena itu orang yang taqwa bukan orang yang tidak pernah salah, tetapi orang yang apabila dalam satu waktu berbuat dosa dia cepat melakukan perkara tadi, yaitu: 1. Cepat berzikir dan mengingat Allah, 2. Setelah menyadari bahwa perbuatan itu salah, dia cepat istighfar mohon ampun kepada Allah atas perbuatan dosanya, 3. Segala dosa yang pernah dilakukan, dihentikan sama sekali, tidak pernah diulangi lagi.
Share:

Saturday 18 June 2016

POLA ASUH ORANG TUA OTORITER (bagian 3)

Pola asuh otoriter cenderung tidak memikirkan apa yang akan terjadi di masa kemudian hari, fokusnya lebih masa kini. Orang tua atau pengasuh primer mengendalikan anak lebih karena kepentingan orang tua atau pengasuhnya untuk memudahkan pengasuhan.
Mereka menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan sepihak oleh orang tua atau pengasuh, memutlakkan kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun. Orang tua atau pengasuh merasa tidak pernah berbuat salah. (Singgih D. Gunarsa, 1995: 29) Orang tua mau menerima dan menyayangi anak asal anak tunduk mutlak pada perintah-perintah orang tua, dan menjauhi larangan-larangan tertentu. Anak juga harus sanggup menolak atau mengingkari dorongan, impuls, dan keinginan sendiri. perasaan keinginan dan kemampuan sendiri harus ditekan atau dibuang, karena ada larangan dan tekanan-tekanan orang tua.  (Kartini Kartono, 2000: 185)
Orang tua sering tidak menyadari bahwa dikemudian hari anak-anaknya dengan pola pengasuhan otoriter mungkin akan menimbulkan masalah yang lebih rumit, meskipun anak-anak dengan pola pengasuhan otoriter ini memiliki kompetensi dan tanggung jawab cukupan, namun kebanyakan cenderung menarik diri secara sosial, kurang spontan dan tampak kurang percaya diri. Kebanyakan anak-anak dari pola pengasuhan otoriter melakukan tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman.
Jika orang tua atau pendidik telah menggunakan pukulan atau kekerasan dalam mendidik seorang anak, maka sebenarnya dia telah menghilangkan kesempatan dalam mendidik dengan sebuah didikan yang benar, bahkan hal tersebut bukan merupakan bimbingan yang benar, tidak mengajak berfikir, dan tidak mengajak mengoreksi kebiasaan salah yang dilakukan sang anak, sehingga hasilnyapun nihil, walaupun sang anak nurut dikarenakan takut, walaupun sang anak mendengar bukan karena kewibawaannya sebagai pendidik yang benar tetapi karena takut akan pukulan dan kekerasaan, di belakang akan berkelekar dan akan timbul dendam atau ketidak hormatan sang anak terhadap orang tua tersebut. Dan tidak sedikit anak yang mendapatkan kekerasan dari orang tua, ketika berada di luar rumah mereka melampiaskannya dengan mabuk-mabukan atau bergaul dengan kesesatan karena merasa inilah jalan keluar dan yang terbaik bagi mereka. (A. Fulex Bisyri, 2004: 59)
Dalam kondisi yang ekstrim, anak laki-laki dengan pola pengasuhan otoriter sangat mungkin memiliki resiko berperilaku anti sosial, agressif, impulsif dan perilaku-perilaku maladaptif lainnya. Anak perempuan cenderung menjadi tergantung (dependent) pada orang tua atau pengasuh primernya. Terdapat beberapa anak yang kemudian menjadi kriminal atau melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang wajar. Utamanya mereka yang selain terkondisi dalam pola otoriter ditambah dengan siksaan-siksaan atau deraan-deraan fisik (Physical abuse of children). (G. Tembong Prasetya, 2003: 30) Pola pengasuhan seperti ini seringkali berulang-ulang pada generasi berikutnya (sekali lagi Intergeneration Transmission) yang berjalan dalam ketidaksadaran.

REFERENSI:
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000.
Sylvia Rimm, Mendidik dan Menerapkan Disiplin Pada Anak Pra Sekolah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Muhammad Al-Hamd, Kesalahan Mendidik Anak, Cet. IV, Geman Insani Press, Jakarta, 2001.
Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, Pustaka Inti, Jakarta, 2002.
Sarumpaet, Rahasia Mendidik Anak, Indonesia Publishing House, Bandung, 1973.
A. Fulex Bisyri, Ketika Orang Tua Tak Lagi Dihormati, Mujahid, Bandung, 2004.
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Membimbing, Cet. 8, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995.
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Mandor Maju, Bandung, 2000.
G. Tembong Prasetya, Pola Pengasuhan Ideal, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003.
Share:

Friday 17 June 2016

POLA ASUH ORANG TUA OTORITER (bagian 2)

Pada bagian kedua ini melanjutkan pada tulisan terdahulu, di sini melanjutkan tentang Indikator Orang Tua Otoriter.

d. Menuruti segenap kemauan anak
Menuruti segala keinginan anak tidak baik. Mereka itu akan menjadi manja, sesudah dewasa sukar untuk mengontrol diri, karena segenap kemauannya selalu terpenuhi. Anak-anak semacam itu akan gampang kecewa atau putus asa kalau rencananya gagal. Mereka kurang tabah dan kurang sabar dalam mengalami berbagai cobaan hidup. Anak-anak pada umumnya ingin mencoba segala sesuatu, sudah pasti bahwa sebagian besar keinginan mereka itu tidak baik bahkan ada yang membahayakan. Itulah sebabnya orang tua yang bijaksana tidak akan mengabulkan semua keinginan anak. (Sarumpaet, 1973: 169)e. Bersikap tidak adil
Anak-anak mungkin belum tahu bagaimana mengucapkan bahwa orang tuanya tidak adil, tetapi mereka mempunyai perasaan yang sangat halus. Mereka kecewa atas tindakan-tindakan yang tidak adil, kekecewaan kemudian menjelma menjadi keputusasaan. Setelah mereka mengalami putus asa, mereka tidak memperdulikan ancaman-ancaman hukuman lagi bahkan sifat-sifat pemberontak terpupuk dalam jiwanya.
Sebagai contoh, David marah sekali kepada ibunya karena tindakan yang tidak adil. Ia dihukum lebih berat dari adiknya yang sebenarnya membuat kesalahanlebih besar. Ibunya sudah menjatuhkan vonis sebelum lebih jelas duduk persoalannya.

f. Mendidik anak dengan dimanja dan hidup tanpa aturan, membiasakan anak hidup mewah, congkak, royal dan bersuka ria.
Akibatnya anak tumbuh dan terbiasa dengan hidup mewah, egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri. is tidak lagi mempunyai kepedulian terhadap orang lain, tidak pernah menanyakan tentang keadaan saudara-saudaranya sesama kaum muslim, serta tidak ikut merasakan kegembiraan dan kesedihan mereka.
Oleh karena itu, mendidik anak seperti ini akan merusak fitrah (naluri baiknya) melenyapkan keistiqamahan, serta membasmi kewibawaan dan keberaniannya.

g. Menumbuhkan pada diri anak rasa kecil hati, takut, gelisah dan keluh kesah.
Sebagaimana yang kita perhatikan terhadap metode kita dalam mendidik, yaitu selalu menakut-nakuti mereka dengan hantu, penculik, setan, suara angin, dan sebagainya. Lebih buruk lagi bila kita menakut-nakuti mereka dengan gurunya, sekolahnya, atau dengan dokter, sehingga ia selalu dihantui rasa takut dari sesuatu yang semestinya tidak perlu ditakuti.
Mengancam seorang anak supaya mau bekerja juga tidak bijaksana, dia berbuat oleh karena takut, tetapi bukan karena keinginan hendak menurut. Adalah kesalahan besar mengancam seorang anak dengan hukuman kalu tidak menurut. Sebagian anak akan tergoda menimbang berat hukuman dengan berat tugas, lalu mengambil keputusan supaya lebih baik dihukum saja dari pada melakukan tugas berat itu. Anak kecil yang diancam tidak akan diberi kue (roti) kalau menyeberang jalan raya, besar kemungkinan anak tersebut lebih menyeberang jalan walaupun tidak mendapat kue (roti). (Sarumpaet, 1973: 181)

h. Kurangnya kasih sayang
Kadang-kadang tanpa disengaja orang tua kurang memberi kasih sayang. Mungkin juga orang tua sudah merasa memberikan kasih sayang, tetapi ternyata anak tidak merasa memperolehkasih sayang. Memang sulit untuk menentukan apakah sudah cukup kasih sayang yang diberikan atau belum. Perasaan tidak cukup disayangi ini akan menimbulkan akibat pada kepribadiannya. (Singgih D. Gunarsa, 1995: 58)
Hal itulah yang menyebabkan mereka berusaha mencari kasih sayang di luar rumah, dengan harapan agar ada orang yang dapat memberikan kasih sayang kepada mereka.

i. Mendidik mereka atas hal-hal perbuatan yang rendah, kata-kata yang jelek, dan akhlak yang tidak terpuji.
Sebagai contoh, orang tua memberi dorongan kepada mereka untuk gemar datang ke gelanggang olah raga jika di gelanggang itu ada percampuran antara laki-laki dan perempuan serta saling memperlihatkan aurat) mengekor/ meniru-niru orang kafir, membiasakan anak-anak perempuan memakai pakaian pendek, melontarkan kata-kata kasar, jorok, dan kotor yang disebabkan orang tua sering kali bahkan berulang-ulang, menggunakan kata-kata tersebut. Atau melalui panggilan anak-anaknya dengan julukan jorok, sehingga si anak terbiasa dengan panggilan-panggilan semacam itudan tidak lagi mau memperhatikan etika berbicara.

j. Terlalu buruk sangka terhadap anak-anak
Ada sebagian orang tua yang buruk sangka terhadap anak-anaknya bahkania amat berlebihan dalam hal itu sampai keluar dari batas kewajaran. Misalnya menuduh niat anaknya dan sama sekali tidak percaya kepada mereka. Ia memberikan kesan kepada mereka bahwa ia akan memberikan hukuman kepada mereka setiap kali melakukan kesalahan kecil maupun besar tanpa mau memaklumi dan melupakan sedikitpun tentang kekeliruan dan kesalahan mereka.
Dari uraian di atas sebenarnya masih banyak lagi kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Orang tua sering tidak menyadari bahwa kesalahan dalam mendidik anak dapat menimbulkan berbagai reaksi, dan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Anak mungkin akan mudah goyah, tidak stabil emosinya, dan sulit untuk dikontrol. Sebagai orang tua yang baik, maka dalam mendidik anak lebih ditekankan pada pendidikan yang membimbing, mengarahkan meraka kepada hal-hal yang benar, dan sabar dalam mendidik dengan penuh kasih sayang dan perhatian.
Semoga bermanfaat

Referensi:
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000.
Sylvia Rimm, Mendidik dan Menerapkan Disiplin Pada Anak Pra Sekolah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Muhammad Al-Hamd, Kesalahan Mendidik Anak, Cet. IV, Geman Insani Press, Jakarta, 2001.
Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, Pustaka Inti, Jakarta, 2002.
Sarumpaet, Rahasia Mendidik Anak, Indonesia Publishing House, Bandung, 1973.
A. Fulex Bisyri, Ketika Orang Tua Tak Lagi Dihormati, Mujahid, Bandung, 2004.
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Membimbing, Cet. 8, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995.
Share:

POLA ASUH ORANG TUA OTORITER (bagian 1)

 PENGERTIAN
Orang tua yang otoriter adalah sikap orang tua yang suka menghukum secara fisik, bersikap mengomando (mengharuskan atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi), bersikap kaku (keras) dan cenderung emosional dan bersikap menolak. (Syamsu Yusuf LN, 2000: 51)
Zaman seperti sekarang ini masih ada orang tua yang memukul anaknya. Ada kalanya anak begitu menjengkelkan sampai orang tua kehilangan kesabaran dan memukul tangan atau bokongnya. Memang, sesekali memukul tangan tak akan merusak hubungan antara orang tua dengan anak, tapi pukulan tersebut tak meningkatkan disiplin yang ditegakkan atau hubungan dalam keluarga. Pukulan atau tamparan lebih memberi keuntungan dan hukuman kepada pelaku dari pada anak yang mengalaminya. Jika orang tua merasa bahwa memukul anak merupakan tindakan yang tepat, maka ia cenderung akan semakin sering melakukannya dan akan berkembang hubungan yang diwarnai dengan kebencian antara orang tua dan anak. Dan orang tua pun memberi contoh yang tak baik. (Sylvia Rimm, 2003: 85-86)
Orang tua sering menganggap bahwa dirinya sebagai seorang polisi, polisi yang selalu menghukum bila ada yang bersalah. Menjadi polisi bagi anak merupakan tindakan salah tapi kaprah, salah karena tindakan itu sudah terlambat, anak sudah melakukan kesalahan baru diributkan. Kaprah karena tindakan ini paling sering dilakukan oleh kebanyakan orang tua, baik Ibu maupun ayah. Mereka baru bertindak ketika kesalahan telah dilakukan oleh anak, bukan mencegah, mengarahkan dan membimbing sebelum kesalahan terjadi. (Irawati Istadi, 2002: 17)
Pengertian di atas memberi gambaran bahwa orang tua otoriter adalah orang tua yang mempunyai karakter suka menghukum anak secara fisik, bertemperamen keras atau kaku sekehendak hati pada anak. Orang tua yang sewenang-wenang terhadap anak, tidak akan memberi peluang kepada anak, seolah-olah semuanya sudah diatur oleh orang tua. Hal demikian akan lebih menimbulkan banyak kebencian pada diri anak. 

Indikator Orang Tua Otoriter
Medidik anak adalah pekerjaan terpenting yang pernah diamanatkan kepada umat manusia. Tugas mulia, membentuk tabiat sebagian besar terletak di tangan orang tua. Dalam hal mendidik, orang tua harus waspada terhadap berbagai kesalahan yang tanpa sadar sering dilakukan.  (Sarumpaet, 1973: 178) Kendati tanggung jawab dalam mendidik anak itu besar, namun sebagian besar manusia mengabaikan masalah tanggung jawab ini, meremehkannya dan tidak mau memelihara (memperhatikan) masalah tanggung jawab ini secara serius, sehingga mereka menelantarkan anak-anak mereka, membiarkan persoalan pendidikan mereka. (Muhammad Al-Hamd, 2001: 14)
Kesalahan dalam mendidik anak itu bayak bentuk dan variasinya serta fenomenanya yang menyebabkan anak itu menyimpang dan menyeleweng, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Tindakan Diktator
Tindakan-tindakan brutal dan membabi buta tidak pernah membawa berkat. dakan-tindakan diktator lebih banyak merusak dari pada membawa untung. Ayah-ibu yang biasa bertindak terlalu kasar kepada anak-anaknya bukanlah menolong anak itu tetapi merusak. (Sarumpaet, 1973: 172)
Anak-anak yang dibesarkan di bawah disiplin yang terlalu keras akan mengalami susah, didikan kehalusan jiwa perlu bagi anak-anak.
Sebagai contoh, seorang anak bernama Ali akhirnya menjadi seorang yang nakal dan jahat. Ia dididik dengan tongkat besi. Ayahnya bersikap melatih bukan mendidik, segala peraturan yang dibuat ayahnya tidak dimengerti oleh Ali. Ali diperintahkan untuk memberikan hormat kepada ayahnya sebelum pergi sekolah dan sekembalinya. Cara penghormatan militer yang diharuskan itu bukannya menolong Ali tetapi malahan menimbulkan kedongkolan. Setelah dewasa Ali bagaikan seekor kuda lepas dari kandang, cenderung berbuat segala sesuatu menurut sekehendak hatinya
b. Terlalu bersikap keras dan kasar dari yang sewajarnya
Misalnya memukul anak-anaknya dengan berlebihan apabila mereka melakukan kesalahan meskipun itu baru pertama kali ia lakukan, ataupun orang tua sering menegur mereka dengan keras dan memarahi mereka ketika mereka melakukan kesalahan kecil maupun besar, atau bentuk-bentuk kekerasan dan kekasaran yang lainnya. (Muhammad Al-Hamd, 2001: 19)
c. Berdo’a jelek untuk sang anak
Ketika marah kepada sang anak, terkadang spontanitas keluar kata-kata yang tak pantas dari mulut orang tua, baik kutukan, makian atau bahkan keluar seuntai kalimat do’a dari mulut orang tua. (A. Fulex Bisyri, 2004: 64)
Ada diantara orang tua yang mendo’akan buruk atas anak-anaknya hanya karena diantara mereka ada yang durhaka atau menentangnya, yang kedurhakaannya itu mungkin disebabkan oleh orang tuanya sendiri.
Kedua orang tua tidak menyadari bahwa do’a tersebut terkadang diucapkan pada waktu yang mustajab (do’a itu dikabulkan) sehingga do’a itu benar-benar menjadi kenyataan. Dengan demikian mereka menyesali perbuatannya itu selama-lamanya. (Muhammad Al-Hamd, 2001: 31)
Orang tua yang baik dan bijak tak pernah mendo’akan anaknya dengan do’a yang buruk, bahkan ketika anaknya sesat dan tercela, orang tua tersebut selalu mendo’akan dengan do’a kebaikan bagi anaknya di dunia dan di akhirat.(A. Fulex Bisyri, 2004: 64)  Ada orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya do’a itu bagaikan batu yang dilempar, ada kalanya mengenai sasaran dan ada kalanya tidak mengenai sasaran.
Alangkah tindak baik bila orang tua mendoakan sang anak dengan doa yang sesat dan tidak terpuji, karena jika kemudian Allah SWT mengabulkannya, maka keburukan tersebut akan terkena kepada orang tua tersebut, disebabkan sang anak tertimpa keburukan yang didoakan orang tua tadi. Bukankah lebih baik orang tua mendoakan kebaikan untuk sang anak, sehingga jika anaknya baik, maka kebaikan tersebut akan dirasakan oleh orang tua pula. (A. Fulex Bisyri, 2004: 64)

Referensi:
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000.
Sylvia Rimm, Mendidik dan Menerapkan Disiplin Pada Anak Pra Sekolah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Muhammad Al-Hamd, Kesalahan Mendidik Anak, Cet. IV, Geman Insani Press, Jakarta, 2001.
Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, Pustaka Inti, Jakarta, 2002.
Sarumpaet, Rahasia Mendidik Anak, Indonesia Publishing House, Bandung, 1973.
A. Fulex Bisyri, Ketika Orang Tua Tak Lagi Dihormati, Mujahid, Bandung, 2004.
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Membimbing, Cet. 8, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995.
Share:

Tuesday 16 February 2016

MANUSIA ADALAH MAKHLUK YANG DAPAT DIDIDIK

Ada perbedaan yang khas antara manusia dengan binatang. Binatang adalah makhluk yang tidak dianugerahi akal pikiran, sedangkan manusia adalah makhluk yang dianugerahi akal pikiran. Manusia, karena memiliki akal pikiran, maka dalam pendidikan manusia dijuluki “Animal Educandum”, artinya manusia adalah makhluk yang dapat dididik. Menurut H. Sunarto dalam buku yang berjudul “Perkembangan Peserta Didik” menerangkan bahwa, “manusia adalah makhluk yang dapat dididik atau “homo educandum[1]. Menurut Achmadi dalam buku yang berjudul “Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan”, menyatakan bahwa, “manusia adalah binatang yang mendidik dan dididik (animal educandum)”[2]. Manusia merupakan makhluk yang memiliki akal pikiran, dan dengan melalui akal itu pula manusia dapat dididik. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang dapat dididik.
Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik, maka manusia perlu dididik. Manusia sejak kelahirannya telah memiliki potensi dasar yang universal. Dalam “Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan” yang disusun oleh TIM Dosen FIP-IKIP Malang menyebutkan bahwa:

“Sejak kelahirannya manusia telah memiliki potensi dasar yang universal, berupa: kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk (moral identity); kemampuan dan kesadaran untuk memperkembangkan diri sendiri sesuai dengan pembawaan dan cita-citanya (individual identity); kemampuan untuk berhubungan dan kerjasama dengan orang lain (social identity) dan adanya ciri-ciri khas yang mampu membedakan dirinya dengan orang lain (individual differences)[3]
Manusia dengan segenap potensi dasar tersebut akan tumbuh menjadi manusia dewasa manakala dikembangkan melalui proses pendidikan.
            Proses pendidikan anak manusia berawal dari pergaulan, pergaulan dengan orang lain pada umumnya dan pergaulan dengan kedua orang tuanya pada khususnya dalam lingkungan budaya yang mengelilinginya. Menurut Singgih D. Gunarsa dalam buku “Psikologi Perkembangan” menyatakan bahwa, “anak membutuhkan orang lain dalam perkembangannya. Dan orang lain yang paling utama dan pertama bertanggung jawab adalah orang tua sendiri[4]. Begitu pula cinta-kasih orang tua dan ketergantungan serta kepercayaan anak kepada mereka pada usia-usia muda merupakan dasar kokoh yang memungkinkan timbulnya pergaulan yang mendidik. Menurut penyelidikan-penyelidikan para ahli sebagaimana dikutip Singgih menyimpulkan bahwa, “sekalipun bayi belum dapat dididik, dalam arti belum dapat menangkap pengertian-pengertian, akan tetapi si bayi seolah-olah menyadari perlakuan-perlakuan mana yang penuh kasih sayang dan perkakuan-perlakuan mana yang tidak disertai kasih sayang”[5]. Keterbatasan dan kelemahan anak manusia dikuatkan oleh kepercayaan dan sikap pasrah kepada kewibawaan orang tua dan nilai-nilai moral yang dijunjungnya dalam tanggung jawab diri sendiri. Anak tidak akan menjadi “manusia” dalam arti yang sesungguhnya (kehilangan hakikat kemanusiaannya) tanpa adanya pergaulan yang mendidik yaitu orang lain, terutama orang tuanya sendiri, lingkungan atau masyarakat serta curahan kasih sayang yang perlu diberikan kepada anak tersebut.
            Pendidikan merupakan upaya yang paling strategis dalam rangka mencerdaskan manusia. Manusia individu, warga masyarakat dan warga negara yang lengkap dan utuh harus dipersiapkan sejak anak masih kecil dengan upaya pendidikan. Melalui pendidikan manusia mampu menjadi sumber daya yang berkualitas sehingga dapat menjadi aset bangsa yang tertinggi. Dalam Undang-undang RI No. 2 Tahun 1989 tantang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa, “pendidikan adalah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa mendatang”[6]. Agar dapat berperan di masa mendatang dengan baik, kegiatan pendidikan sangat penting.
            Ajaran Islam bersifat universal dan berpijak pada landasan kesamaan yang dimiliki oleh manusia. Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan berperan sebagai khalifah Allah di bumi, maka manusia diberi hak oleh Allah untuk memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan. Menurut H. Baharuddin Lopa, dalam “Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia” menyatakan bahwa, “Islam bukan hanya menganggap belajar sebagai hak tetapi adalah pula sebagai kewajiban”[7]. Dengan demikian ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam Islam mempunyai kedudukan yang tinggi. Setiap manusia berhak dan berkewajiban untuk memperoleh pendidikan, sehingga manusia dapat berperan dalam kehidupannya dan beribadah kepada Allah SWT dengan baik.
            Islam memandang bahwa keutamaan makhluk manusia yang lebih dari makhluk lainnya terletak pada kemampuan akal kecerdasannya. Menurut H.M. Arifin, dalam buku yang berjudul “Ilmu Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “… tidak kurang dari 300 kali Tuhan menyebutkan motivasi berfikir dalam kitab suci Al Qur’an[8]. Manusia diperintah oleh Allah SWT agar senantiasa memfungsikan akal pikirannya untuk menganalisa tanda-tanda kekuasaan-Nya yang nampak dalam alam semesta ciptaan-Nya yaitu dengan melalui proses belajar.
            Islam memerintahkan umatnya, laki-laki maupun perempuan untuk belajar. Manusia sesuai dengan harkat kemanusiaannya sebagai makhluk Homo Educandum, dalam arti manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Karena itu proses belajar bersifat manusiawi. Menurut Zuhairini dalam buku yang berjudul “Filsafat Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dapat dipahami dari firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 31 dan QS. Al-Alaq ayat 1-5 :
Dan Tuhan mengajarkan kepada Adam nama-nama segalanya” (QS. Al-Baqarah: 31)
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, yang menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmu yang amat mulia. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-Alaq: 1-5).
Kemampuan membaca dan menulis merupakan hal terpenting bagi manusia guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mendapat kedudukan atau derajat yang tinggi manakala disertai dengan dzikir kepada Allah SWT.
            Rasulullah Muhammad SAW sebagai Uswatun khasanah bagi umat Islam juga memerintahkan kepada umatnya agar senantiasa menuntut ilmu. Beliau telah menyamakan wanita dan pria dalam hal-hal yang bersifat kerohanian serta kewajiban-kewajiban keagamaan tanpa perbedaan dalam bidang ilmu pengetahuan. Rasulullah SAW bersabda:
Dari Anas bin Malik berkata, “Rasulullah SAW bersabda: menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap orang Islam (laki-laki maupun perempuan)” (HR. Ibnu Majjah).

Ilmu adalah sesuatu yang sangat dihargai dalam Islam, mencari dan mempelajarinya merupakan kewajiban atas Muslim dan muslimah. Perintah menuntut ilmu kepada manusia merupakan salah satu bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat dididik.


[1] Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 2.
[2] Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1992, halaman 27.
[3] B. Suparna, Perkembangan dan Pembaharuan Pendidikan, Dalam Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm. 192.
[4] Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1986, hlm. 5.
[5] Ibid, hlm. 10.

[6] Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989, Sistem Pendidikan Nasional, CV. Aneka Ilmu, Semarang, 1992, hlm. 2.
[7] H. Baharuddin Lopa, Al Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, PT Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996, hlm. 82.
[8] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, hlm. 4.
Share:

Monday 15 February 2016

HAKIKAT MANUSIA DICIPTAKAN SEBAGAI MAHLUK YANG SEMPURNA

Seperti yang telah diuraikan disini, bahwa fitrah manusia meliputi segenap aspek jasmani dan rohani serta kemampuan-kemampuan yang ada pada kedua aspek tersebut. Manusia secara fisik mempunyai bentuk yang lebih baik, lebih indah, lebih sempurna. Dalam QS. At-Tiin ayat 4 ditegaskan:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tiin : 4)[1]

Menurut Zuhairini dalam buku yang berjudul “Filsafat Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “kesempurnaan bentuk fisik tersebut, masih dilengkapi oleh Allah dengan ditiupkan kepadanya ruhnya, sehingga manusia mempunyai derajat yang mulia, lebih mulia dari malaikat”[2]. Karunia Allah yang begitu besar yang diberikan kepada manusia tersebut merupakan bukti bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna, memiliki derajat paling tinggi bahkan melebihi derajat malaikat.
Manusia secara kodrati bukanlah malaikat atau setan. Malaikat adalah makhluk yang senantiasa taat kepada semua perintah Allah, sedangkan setan adalah makhluk yang senantiasa mengingkari perintah Allah. Menurut Chairil Anwar dalam buku yang berjudul “Islam dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI” menyatakan bahwa, “manusia adalah makhluk ideal yang posisinya berada diantara kedua ekstrim malaikat dan setan”[3]. Oleh karena itu manusia bisa memiliki sikap patuh dan taat terhadap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun sebaliknya manusia bisa pula mengingkari perintah Allah dan mengerjakan larangan-Nya.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan bentuk jasmani dan rohani, manusia berkewajiban patuh dan taat terhadap semua perintah Allah SWT serta menjauhi semua larangan-Nya. Realisasi kepatuhan dan ketaatan manusia tersebut diwujudkan oleh Allah dalam suatu tugas kekhalifahan. Sebagai khalifah, manusia adalah pelaksana dari kekuasaan dan kehendak (kodrat dan iradat) Allah SWT. Manusia harus meniru contoh yang diberikan para Nabi dan Rasul Allah, karena mereka adalah manusia sempurna (insan kamil). Menurut Ace Partadiredja dalam bukunya “Al-Quran, Mu’jizat, Karomat, Maunat dan Hukum Evolusi Spiritual” menyatakan bahwa, “manusia yang berakhlaq sempurna, seperti contohnya para Nabi, adalah yang dapat mempersatukan kehendaknya dengan kehendak Allah”[4]. Manusia sebagai hamba Allah SWT berkewajiban merealisasi fungsi kekhalifahan dengan meniru contoh akhlaq para Nabi dan Rasul sehingga manusia berfungsi kreatif, mengembangkan diri dan memelihara diri dari kehancuran. Dalam keyakinan umat Islam para Nabi dan Rasulullah adalah contoh cara hidup manusia. Dengan demikian hidup dan kehidupan manusia berkembang dan mengarah kepada kesempurnaan, tidak hanya sempurna akhlaknya, tetapi juga sempurna ketuhanannya, sempurna penguasaannya atas dunia benda, termasuk badannya sendiri yang juga benda.
Konsekuensi dari kesempurnaan manusia dalam merealisasikan fungsi kekhalifahan yang sesuai dengan amanat Allah SWT, maka sangat diperlukan adanya pendidikan serta ilmu pengetahuan yang akan menunjang kesuksesannya. Dengan pandangan yang terpadu, sebagai khalifah (kuasa atau wakil) Allah SWT di muka bumi, manusia tidak boleh berbuat kerusakan yang mencerminkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Allah SWT. Menurut H. Abudin Nata, dalam “Filsafat Pendidikan Islam” menyatakan, “konsep Al Quran tentang kekhalifahan dan ibadah erat kaitannya dengan pendidikan”[5]. Pendidikan, pengajaran, ketrampilan serta pendukung lainnya sangat penting bagi manusia agar dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dan beribadah dengan baik.


[1] R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk, Al Qur’an dan Terjamahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an, hlm. 1076.

[2] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 78.

[3] Chairil Anwar, Islam dan Tantangan Abad XXI, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2000, hlm. 126.
[4] Ace Partadiredja, Al Qur’an, Mu’jizat, Karomat, Maunat dan Hukum Evolusi Spiritual, PT Dana Bhakti Dana Yasa, Yogyakarta, 1997, hlm. 100.
[5] H. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 41.
Share:

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.