Tuesday 10 November 2015

GADAI MENURUT ISLAM

Definisi dan Dasar Gadai
Ar-Rahnudalam etimologi artinya: “tetap dan kekal”. Menurut sebagian ulama: dalam bahasa Ar-Rahnuberarti; penahanan.[1] Sebagaimana didasarkan pada firman Allah SWT:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. 74: 38)[2]
Yakni tiap-tiap diri ditahan karena apa yang sudah ia perbuat.
Adapun menurut syara’ Ar-Rahnu berarti: “menjadikan barang yang ada harganya menurut pandangan syara’ sebagai jaminan kepercayaan hutang-piutang”. Dalam arti seluruh hutang atau sebagainya dapat diambil sebab sudah ada barang jaminan tersebut.
Dikecualikan dari barang yang ada harganya, menurut syara’, barang najis dan yang kena najis yang tak dapat dibersihkan; maka tidak patut dijadikan sebagai barang jaminan kepercayaan hutang. Termasuk yang tidak ada nilainya menurut syara’, barang suci tetapi tidak dinilai harta menurut qiyas sebagaimana keterangan dalam babbai’.[3]
Sejalan dengan keterangan di atas Sayid Sabiq memaparkan: menurut bahasanya (dalam bahasa Arab) rahn adalah: tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-Habsu, artinya; penahanan. Seperti dikatakan: ni’matunrahinah, artinya: karunia yang tetap dan lestari.
Adapun dalam pengertian syara’, gadai berarti: menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu. Demikian menurut yang didefinisikan para ulama.
Apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang tak bergerak atau berupa ternak berada di bawah kekuasaannya (pemberi pinjaman) sampai ia melunasi hutangnya. Demikian yang dimaksudkan gadai menurut syara’.
Pemilik barang yang berhutang disebut Rahin (yang menggadaikan) dan orang yang menghutangkan, yang mengambil barang tersebut serta mengikatnya di bawah kekuasaannya disebut Murtahin. Serta untuk sebutan barang yang digadaikan itu sendiri adalah Rahn (gadaian).[4]
Berkaitan dengan pendapat di atas, Taqi al-Din Abu Bakr Muhammad al-Husaini merumuskan, menurut syara’ kalimat rahn itu artinya menjadikan harta sebagai pengukuh/penguat sebab adanya hutang.[5] Sementara Syaikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi berpandangan, gadai adalah menjadikan barang yang sebangsa uang sebagai kepercayaan hutang dimana akan terbayar dari padanya jika terpaksa tidak dapat melunasi (hutang tersebut).[6] Sedangkan al-Ustad H. Idris Ahmad dengan singkat menyatakan gadai adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas utang.[7]  TM. Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan Rahn ialah akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[8]
Bertitik tolak pada rumusan-rumusan di atas dapat penulis simpulkan bahwa gadai adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan hutang, yang dapat dijadikan pembayar hutang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.
Adapun dasar hukum gadai sebagai berikut:
a.     Di dalam al-Qur’an Allah berfirman
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). (Q.S: al-Baqarah: 283)[9]
b.     Sabda Rasulullah SAW :[10]
Dari Abu hurairah r.a, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: punggung binatang yang ditunggangi itu dengan nafakah (pembayaran kepada pemiliknya, jika binatang itu di gadai, susu yang diminum itu dengan nafkah (pembayaran bagi pemiliknya). Jika susu itu menjadi jaminan gadai dan wajib atas orang yang menungganginya dan yang meminum susunya pembayaran biayanya. (HR. al-Bukhari)
c.     Sabda Rasulullah SAW :[11]
Dari Annas, ia berkata, Nabi SAW pernah menggadaikan sebuah baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah dan nabi mengambil gandum dari si Yahudi itu untuk keluarganya (HR. Ahmad, Bukhary, Nasai an Ibn Majjah)
d.    Sabda Rasulullah SAW :[12]
Dan dari Aisah ra, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedang nabi SAW menggadaikan sebuah baju besi kepada Yahudi itu dan dalam satu lafal (dikatakan): Nabi SAW wafat sedang baju besinya masih tergadai pada seorang Yahudi dengan tigapuluhsha’ gandum. (HR. Bukhary dan Muslim)
Dengan merujuk pada hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa hukumnya gadai itu boleh, sebagaimana dikatakan TM. Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa menggadai barang boleh hukumnya, baik di dalam hadlar(kampung) maupun di dalam safar(perjalanan), hukum ini disepakati oleh umum mujtahidin.[13]
Adapun landasan ijma dapat dikemukakan paparan Sayid Sabiq yang mengatakan: para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh. Mereka tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur berpendapat: disyariatkan pada waktu tidak bepergian dan bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap orang Yahudi di Madinah. Adapun dalam masa perjalanan, seperti dikaitkan dalam ayat sebagaimana tersebut dalam Qur’an surat al-Baqarah ayat 283, dengan melihat kebiasaannya, dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian.[14]
Syarat dan Rukun Gadai
Menurut al-Ustadz H. Idris Ahmad, syarat gadai menggadai yaitu:
a.       Ijab kabul yaitu: “aku gadaikan barangku ini dengan harga Rp. 100” umpamanya. Dijawabnya: aku terima gadai engkau seharga Rp. 100. Untuk itu cukuplah dilakukan dengan cara surat-menyurat saja.
b.      Jangan menyusahkan dan merugikan kepada orang yang menerima gadai itu umpamanya oleh orang yang menggadai, tidak dibolehkan menjual barang yang digadaikan itu setelah datang waktunya, sedang uang bagi yang menerima gadai sangat perlu.
c.       Jangan pula merugikan kepada orang yang menggadai itu, umpamanya dengan mensyaratkan bahwa barang yang digadaikan itu boleh dipakai, dan diambil keuntungannya oleh orang yang menerima gadai.
d.      Ada rahin (yang menggadai) dan murtahin (orang yang menerima gadai itu) ahli, maka tidaklah boleh wali menggadaikan harta anak kecil (umpamanya anak yatim) dan harta orang gila dan lain-lain, atau harta orang lain yang ada di tangannya.
e.       Barang yang digadaikan itu berupa benda, maka tidak boleh menggadaikan utang, umpamanya kata si rahin: “berilah saya uang dahulu sebanyak Rp. 100. Dan saya gadaikan piutang saya kepada tuan sebanyak Rp. 1.500 yang sekarang ada di tangan si Badu”. Sebab piutang itu belum tentu dapatdiserahkannya pada waktu yang tertentu.[15]
Abd Rahman al-Jaziri dalam kitabnya yang merupakan komparasi empat madzhab mengetengahkan, agar akad gadai itu sah ditetapkan beberapa syarat, antara lain:
a.     Kedua belah pihak; rahindan murtahinbenar-benar sudah patut (ahli) melakukan akad bai. Karenanya tidak sah akad rahnun dari orang gila, anak kecil yang belum tamyiz.
b.     Dan lain-lain sebagaimana yang telah dirinci dalam berbagai madzhab.[16]
Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazi, penggadaian adalah sah dengan adanya ijab dan qabul. Sementara syarat masing-masing dari orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai adalah orang yang statusnya sah (berhak) melaksanakan.[17]
Bagi orang yang menggadaikan barang dan orang yang menerima gadai masing-masing disyaratkan harus orang yang mempunyai status sah atau berhak memerintahkannya, yakni sudah dewasa (baligh), berakal dan sehat. Penggadaian sah jika dilakukan orang si wali baik itu ayah atau kakek atau pemegang wasiat atau pula hakim. Tidak boleh menggadaikan harta anak kecil atau orang gila, sebagaimana tidak boleh menerima gadai atas nama mereka berdua, kecuali bila ada hal-hal yang sifatnya darurat (terpaksa) atau ada keuntungan yang jelas.
Madzhab Syafi’i berpandangan bahwa syarat gadai terbagi menjadi dua yaitu:[18]
a.       Syarat tetapnya gadai; yaitu diterimanya barang gadai. Apabila seseorang menggadaikan sebuah rumah, tetapi belum diterima oleh penerima gadai, maka belum tetap (mengikat) akad gadai tadi. Karenanya orang yang menggadaikan boleh menarik barang gadai kembali. Apabila barang yang digadaikan sebelum akad sudah di bawah kekuasaan penerima gadai, baik karena barang itu disewa, dipinjam, atau digashab ataupun lainnya, maka barang itu dinyatakan telah diterima murtahin sesudah akad, bila sudah lewat waktu yang memungkinkan barang diterima. Untuk sahnya serah terima disyaratkan adanya izin dari orang yang menggadaikan.
b.      Syarat sahnya gadai sebagai berikut:

  1. Syarat yang berkaitan dengan akad, yaitu hendaknya tidak dikaitkan dengan syarat yang tidak dikehendaki oleh akad ketika sudah tiba jatuh tempo. Karena yang demikian ini dapat membatalkan gadai. Adapun bila menetapkan suatu syarat yang dikehendaki orang akad seperti syarat mendahulukan penerima gadai atas lainnya yakni para kreditur dalam menerima barang yang digadaikan, maka tidak merugikan.
  2. Syarat yang berkaitan dengan kedua belah pihak: rahin (yang menggadaikan) dan murtahin (penerima gadai). Yaitu keahlian (kecakapan) kedua belah pihak yang berakad. Misalnya masing-masing dari mereka sudah baligh (dewasa), berakal dan tidak mahjur ‘alaih. Karenanya tidak sah gadainya anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara mutlak walaupun mendapat izin dari walinya. Atas pertimbangan, wali boleh membelanjakan harta mahjur ‘alaih dengan digadaikan dalam dua keadaan; a) dalam keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan gadai. Seperti mahjuralaih dalam keadaan sangat membutuhkan pakaian, makanan, pendidikan dan lain sebagainya. Tetapi dengan syarat si wali tidak mendapatkan biaya untuk itu selain menggadaikan harta mahjur ‘alaih. b)gadai itu mengandung kemaslahatan terhadap mahjur ‘alaih. Misalnya bila wali mendapatkan barang yang dijual dan dalam membelinya mendapat keuntungan bagi mahjur ‘alaih, namun tidak mendapat uang untuk membelinya, maka wali boleh menggadaikan barang milik mahjur ‘alaihuntuk dibelikan barang tersebut karena sangat mengharap adanya keuntungan bagi mahjur ‘aliah.
  3. Syarat yang berkaitan dengan marhun (barang yang digadaikan) ada beberapa perkara yaitu: a) penggadai punya hak kuasa atas barang yang digadaikan. b)marhunberupa barang. c)barang gadai (marhun) bukan barang yang cepat rusak, sedang hutangnya untuk jangka waktu yang cukup lama dalam arti barang itu sudah rusak sebelum jatuh tempo. d)barang gadai itu barang yang suci. e)barang gadai dapat diambil manfaatnya menurut syara’, meskipun pada saat yang akan datang.
  4. Syarat yang berkaitan dengan marhunbih/ penyebab penggadaian (hutang yang karenanya diadakan penggadai). Hal ini ada empat perkara: a) penyebab penggadaian adalah hutang b) hutang itu sudah tetap c) hutang itu tetap seketika atau yang akan datang d) hutang itu telah diketahui benda, jumlah dan sifatnya. Oleh karena itu tidak sah menggadaikan sesuatu barang atas hutang yang belum diketahui benda, jumlah, dan sifatnya.[19]

Adapun rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu:
1)       Aqid (orang yang melakukan akad). Ini meliputi dua arah yakni: a) Rahin, adalah orang yang mengadaikan barang (debitur). b) murtahin adalah orang yang berpiutang yang menerima barang gadai sebagai imbalan uang yang dipinjamkan (kreditur).
2)       Ma’qud ‘alaih (yang diakadkan), yakni meliputi dua hal: a) marhun (barang yang digadaikan/barang gadai). b) dainmarhunbiih (hutang yang karenanya diadakan gadai).
3)       Shighat (akad gadai).
Berkaitan dengan pendapat di atas, Sulaiman Rasjid dalam bukunya yang sangat sederhana mengatakan rukun rungguhan ada empat yaitu:
1)         Lafadz (kalimat akad) seperti “saya rungguhkan ini kepada engkau untuk utangku yang sekian kepada engkau”. Jawab dari yang berpiutang: “saya terima runguhan ini”.
2)         Yang merungguhkan dan yang menerima rungguhan (yang berhutang dan yang berpiutang); disyaratkan keadaan keduanya ahli tasarruf (berhak membelanjakan hartanya).
3)         Barang yang dirungguhkan; tiap-tiap zat yang boleh dijual boleh dirungguhkan dengan syarat keadaan barang itu tidak rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar.
4)         Ada utang disyaratkan keadaan utang telah tetap.[20]
Apabila barang yang dirungguhkan diterima oleh yang berpiutang, tetaplah rungguhan; dan apabila telah tetap rungguhan, yang punya barang tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang itu, baik dengan jalan dijual atau diberikan, dan sebagainya, kecuali dengan ijin yang berpiutang. Apabila rusak atau hilang barang yang dirungguhkan ditangan yang memegangnya, ia tidak mengganti karena barang rungguhan itu adalah barang amanat (percaya mempercayai), kecuali jika rusak atau hilangnya disebabkan lalainya.
Hak dan Kewajiban Gadai
Hak penerima gadai adalah menahan barang gadai sampai orang yang menggadaikan melunasi kewajibannya. Jika penggadai tidak melaksanakan kewajiban tersebut ketika jatuh tempo, maka penerima gadai bisa melaporkan kepada penguasa. Kemudian penguasa menjual barang gadai kepadanya. Jika ia tidak menanggapi penerimaan gadai untuk dijual, maka penguasa menasehatinya. Demikian pula jika penggadai bepergian. Jika orang yang menggadaikan itu menguasakan kepada penerima gadai untuk menjual barang gadaian pada saat jatuh tempo, maka hal itu dibolehkan. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa gadai itu berkaitan dengan keseluruhan hak pada barang yang digadaikan itu dan dengan sebagiannya. Yakni, jika seseorang menggadaikan sejumlah barang tertentu, kemudian ia melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai masih tetap berada di tangan penerima gadai hingga ia menerima haknya keseluruhan. Sebagian fuqaha berpendapat, barang yang masih tetap berada di tangan penerima gadai hanya sebagiannya saja. Yakni sebesar hak yang belum di lunasi. Jumhur fuqaha beralasan bahwa barang tersebut tertahan oleh sesuatu hak, karena itu setiap bagian dari hak tersebut harus tertahan juga. Ini serupa dengan tertahannya harta warisan (tirkah) pada ahli waris, hingga mereka melunasi utang si mayit. Sedang golongan kedua mengemukakan alasan bahwa keseluruhan barang gadai itu tertahan oleh keseluruhan hak, karena itu sebagian barang tersebut tertahan oleh sebagian hak itu. Dan ini serupa dengan tanggungan (kafalah).[21]
Barang yang Dapat Digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan, kecuali jual beli mata uang (sharf) itu harus tunai. Karena itu, sharftidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam meskipun menurut Malik lebih ringan dibanding sharf. Sekelompok fuqaha jaziry berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang pesanan (musallamfih). Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan (salam).[22] Seolah-olah mereka menjadikan yang demikian itu sebagai salah satu syarat sahnya gadai, karena pada awal ayat tersebut, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan maka hendaklah kamu menuiskannya. Jika kamu dengan perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapat seorang penulis, maka hendaklah ada   barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). (Q.S: 3 : 282-283)[23]
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, tidak berupa utang, karena barang utangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu yang dipinjamnya. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak, seperti gadai dalam kitabah.[24]


[1] Abdul al-Rahman al-Jaziry, Kitabal-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Juz 2, Maktabah al-Tijariyah, al-Qubra, tt, hlm. 286
[2] DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surya Cipta Aksara Surabaya, 1993, hlm. 995.
[3]Ibid.
[4] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 3, Maktabah Dar al-Turas, Kairo, tt, 153.
[5]Taqi al-Din abu Bakr Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi hall Ghayah al-Khtishar, MaktabahAlawiyyah, Semarang, tt, hlm. 263.
[6]Syeikh Muhammad ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Dar al-Ihya al-Kitab, al-Arabiah, Indonesia, tt, hlm. 32.
[7] Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Wijaya, Jakarta, 1969, hlm. 37.
[8] TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 86-87. 
[9] DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 71.
[10]Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhary, al-Jamiu Shahih al-Bukhary, Juz 2, Dar al-Fiqr, Beirut, 1410H/1990M, hlm. 78. Cf. al-San’ani, Subul al-Salam SarhBulugh al-Maram Min Jami Adillati al-Ahkam, Juz 3, Dar Ikhya’ al-Turas al-Islami, Kairo, 1960 hlm. 51.  Al-Hafidz Ibn, Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Marram, Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah, Bairut Libanon, tt, 175.
[11] Al-Imam Abu AbdirrahmanAhmad Ibn Syuaib Ibn ‘Ali Ibn Sinan Ibn Bahr an-Nasa’i, as-Sunanu as-Sughra Wa Hiya al-MusammatuBilMujtaba, Tijariah Kubra, Beirut, tt, hlm. 83. lihat juga al-Imam alamah Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad as-Syaukani, Nail al-Autar Min AsrariMuntaqa al-Akhbar, Mustafa al-Babi al-Halabi, tt, hlm. 618.
[12] Al-Imam Abul Husain Muslim Ibn al-Hajjaz al-kusairi an-Naisaburi, al-Jami’u al-Sahihu Muslim, Dar Ihya, al-Kutub al-Arabiyah, tt, hlm. 87. Lihat juga, al-Imam Alamah IbnAli Ibn Muhammad Asy-Syaukani.
[13] TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Cet. 2, PT. Rosda Karya Yogyakarta, 1990, hlm. 419.
[14] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 155.
[15] Idris Ahmad, Fiqih Menurut Madzhab Syafi’i, Wijaya Jakarta, 1996, hlm. 38.
[16] Abdul al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Juz 2, Maktabah al-Tijariyah, al-Qubra, tt, hlm. 287.
[17]Syeikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib, DaarIhya al-Qutub al-Arabiyah, Indonesia, tt, hlm. 32.
[18] Abd al-Rahman al-Jaziry,Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib,hlm. 294-295.
[19] Ibid.
[20] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cet 22, Sinar Baru Bandung, 1989, hlm. 291.
[21] Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid WaNihayat al-Muqtasid, Dar al- Jiil, Beirut, 1409H/1989M, hlm. 241.
[22]Ibid., hlm. 237.
[23] DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surya Cipta Aksara Surabaya, 1993, hlm. 70
[24] Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, hlm. 237-238.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.