Friday 30 October 2015

TASAWUF DAN PLURALISME

Kata tasawuf berasal dari bahasa Arab yaitu shofa yang berarti bulu domba, pada zaman dahulu pakaian yang berasal dari bulu domba melambangkan sifat kesederhanaan. Jadi tasawuf ialah ajaran dari agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang digunakan sebagai jalan untuk lebih memudahkan dalam mendekatkan diri pada Allah.
Asal-Usul Ajaran Tasawuf
Ajaran tasawuf sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya. Setelah Nabi mempunyai istri dan ekonomi yang cukup, kemudian Nabi Muhammad baru berkholwat di Goa Hiro’ untuk berkholwat dengan tujuan agar lebih khusuk dalam beribadah pada Allah. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada waktu tahanus:

  • Melatih jasmani dengan banyak berjalan di atas bumi dan selalu menggerakkan tubuhnya.
  • Melatih akal dan fikiran untuk memikirkan apa yang dalam batas maksimal sehingga beliau melupakan yang lain.
  • Melenyapkan arti takut keseluruhannya dari kesan dan pemikiran.
  • Menimbulkan kesan dan ingatan yang bulat pada Allah.

Ritual Rasulullah SAW di Gua Hiro merupakan gambaran sufi yang sebenarnya. Renungan-renungan yang dilakukannya di alam yang luas dan bebas (di Gua Hiro) membawa beliau ke alam bebas dan dapat merasakan keberadaan keagungan Allah SWT. Di tempat tersebut pula Rasulullah dapat lebih mudah dalam meluapkan ingatannya terhadap makhluk lain.
Menurut M. Horten (yang didukung R. Hartman), Tasawuf berasal dari alam pikiran India. Dalam hal ini Horten telah melakukan penelitian yang lama untuk menguatkan pendapatnya. Namun kemudian merevisi pendapatnya setelah ia melakukan analisis tasawuf al-Hallaj, Al-Bustami dan juga Al-Junaidi, dengan mengatakan bahwa tasawuf pada abad ke-3 Hijriyah-lah yang dipengaruhi alam pemikiran Hindia. Terutama ajaran al-Hallaj.
Sementara itu Hortman juga berusaha untuk membuktikan asal-usul tasawuf dari India, telah mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
1.      Kebanyakan angkatan pertama para sufi bukan berasal dari Arab, misalnya Ibrahim bin Adam, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Bustami dan Yahya Ibn Ma’azar Radzi.
2.      Kemunculan dan penyebaran tasawuf pertama kalinya di Khurasan.
3.      Pada masa sebelum Islam, Turkistan merupakan pusat pertama berbagai agama dan kebudayaan Timur dan Barat.
4.      Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
5.      Asketisisme Islam yang pertama bercorak India, baik kecenderungannya maupun metode-metodenya. Keluasan batin, pemakaian tasbih misalnya, merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari mereka.
Hakekat Tasawuf
Hakekat daripada tasawuf yaitu penyucian jiwa untuk mencapai Ridlo Allah. Selain itu juga tasawuf merupakan garis kelanjutan dari syari’at. Syari’at merupakan bagian dari tasawuf yang tak dapat dipisahkan dan sebaliknya juga tasawuf merupakan bagian integral dari syari’at. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Kalau bagian syari’at dilakukan apa adanya, ia tidak jarang akan menimbulkan mala petaka, karena itu ajaran agama bukanlah acara ritual saja. (Dalam al-Qur’an surat al-An’am 27).
Karena itulah dalam gerak-gerik tubuh manusia mengandung dua aspek yaitu lahir yang merupakan garapan fiqih dan aspek batin yang merupakan garapan dari tasawuf.
Sebagai contoh bahwa syari’at dan tasawuf tidak dapat dipisahkan yaitu dalam shalat misalkan dituntut untuk bersih dan suci dari hadas kecil dan besar (secara syari’at). Sementara secara tasawuf harus bersih dan suci secara bathinnya, jadi keduanya saling berkaitan. Dalam dunia tasawuf hati menempati posisi sentral, maka dari itu harus senantiasa aktif sepanjang melakukan shalat.
Pada hakikatnya tasawuf dapat dicapai secara praktis, maupun negatif, teoritis, karena merupakan ajaran rohani yang saling menyempurnakan sebagai sesuatu yang tegak diatas potensinya dan merupakan entitas yang tidak dapat dicapai semata-mata dengan akal. Tujuan tasawuf ialah ketajaman ruhani dan pencapaian kebebasan dari kekurangan materi.[1]
Banyak orang yang keliru menyatakan sufisme terlepas dari Islam, pandangan ii tidak hanya menunjukkan kebodohan tetapi juga menghargai mereka yang secara ikhlas mencari jalan hidup yang benar-benar mencari bimbingan Tuhan.[2]
Tasawuf dan Problematika sosial
Selama ini banyak orang yang beranggapan tasawuf adalah ajaran Islam yang ortodok. Dan sebetulnya anggapan ini tidaklah selamanya benar, karena tasawuf dijaman modern adalah harus bisa menerapkan ajarannya baik dari segi lahir maupun batin, serta dapat menyeimbangkan antara kebutuhan duniawi maupun ukhrawi.
Sebagai misal problem politik umat memang tidak bisa dijawab dengan tasawuf, melainkan dengan fiqih yang berhubungan erat dengan politik dalam mengatur masyarakat dan negara menurut al-Qur’an dan hadits.[3] Untuk itu seorang Islam yang terjun pada dunia sosial, politik dan ekonomi harus senantiasa mempunyai sifat waro’ yaitu menahan diri dan berhati-hati supaya tidak terjatuh pada nilai kesucian hati.[4]
Selain itu orang juga harus bersifat qana’ah yang berarti menerima apa yang telah ditentukan oleh Allah, merupakan sikap yang harus dimiliki orang sufi sebagai zat yang bisa diterima dalam hati. Manakala sikap qana’ah ini dibina terus menerus, maka seorang sufi akan memiliki kesadaran diri akan Allah sebagai Tuhan.[5] Untuk itu senantiasa orang dituntut untuk selalu mawas diri dalam segala hal dan tindak lakunya harus sesuai dengan landasan al-Qur’an dan Hadits, karena al-Qur’an merupakan landasan religius dalam seluruh aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan tasawuf seseorang harus melaksanakan berbagai kegiatan berbagai kegiatan (al-Mujahadah dan al-Riyadoh) tidak dibenarkan memisahkan amaliyah kerohanian dengan syariat agama Islam.[6]
Hal-hal yang Perlu Dipenuhi Sebagai Orang Tasawuf/Sufi
1.      Selalu meningkatkan ilmu baik dunia maupun akhirat.
2.      Mengawasi hawa nafsu,
Karena tidak ada yang bisa dilakukannya setelah ada ketetapan Allah selain dari mengembangkan bisikan nafsu.[7]
3.      Disiplin waktu
Perlu adanya pelatihan (riyadoh) yang diarahkan pada 3 tujuan :
Ø  Meninggalkan semua jalan kecil atau hakekat
Ø  Menundukkan nafsu yang memerintah jelek pada nafsu yang baik.[8]
4.      Menjaga kebahagiaan.
Manusia wajib mencari kebahagiaan dunia maupun akhirat tapi sayang kebahagiaan dalam arti yang sesungguhnya seperti yang diinginkan oleh setiap manusia tidak mudah untuk didapatkan.[9]
5.      Menjaga kedamaian
Adalah nafas samawi yang dihembuskan dalam jiwa insan yang beriman sehingga tetap teguh saat orang lain mengalami kegoncangan hati.[10]
6.      Optimis
7.      Menjaga prestasi kerja
8.      Menjaga persaudaraan
Ketahuilah bahwa saling mencintai karena Allah dan persaudaraan seagama adalah seutama-utama mendekatkan diri pada Allah SWT.[11]
9.      Tidak gaptek (gagap teknologi)
Kesimpulan
Tasawuf adalah suatu wahana untuk mengolah hati agar bisa menjadi manusia insan kamil (orang yang dapat menyeimbangkan antara kehidupan rohani dan ukhrawi).
Tasawuf modern bukanlah tasawuf yang ortodok (kuno) tapi tasawuf yang tidak pernah meninggalkan ajaran al-Qur’an dan hadits dan tidak pula ketinggalan jaman.


DAFTAR PUSTAKA
M. Abdullah asy-Syarqawi, Sufisme dan Akal, Pustaka Hidayah, Bandung, 2003.
Abdul Munir, “Tarekat” Tanpa Tarekat, Serambi, Jakarta, 2002.
Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Jalaluddin Rahmad, Renungan Sufistik, Mizan, Bandung, Oktober 1998.
Abdul Muhaya, Bersufi Lewat Musik, Gama Media, Yogyakarta, 2003.
H.M. Amin Syukur, Intelektual Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Ibnu Qoyim al-Jauziah, Jatuh Cinta dan Meredam Rindu, Darul Falah, Jakarta, Dzulhijjah 1422 H.
Murtado Mutahan, Mengenal Tasawuf, Az-Zahro, Jakarta, Agustus 2002.
Yusuf al-Qardawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003.
al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulummuddin, Oktober 2002, cet.XIII.


[1] M. Abdullah asy-Syarqawi, Sufisme dan Akal, Pustaka Hidayah, Bandung, 2003, hal.39.
[2] Abdul Munir, “Tarekat” Tanpa Tarekat, Serambi, Jakarta, 2002, November, cet.I, hal.119
[3] Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet.I, hal.2021
[4] Jalaluddin Rahmad, Renungan Sufistik, Mizan, Bandung, Oktober 1998, cet.VII, hal.101
[5] Abdul Muhaya, Bersufi Lewat Musik, Gama Media, Yogyakarta, Agustus 2003, hal.vii
[6] H.M. Amin Syukur, Intelektual Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Januari 2002, cet.I, hal.14
[7] Ibnu Qoyim al-Jauziah, Jatuh Cinta dan Meredam Rindu, Darul Falah, Jakarta, Dzulhijjah 1422 H, cet.10, hal.350
[8] Murtado Mutahan, Mengenal Tasawuf, Az-Zahro, Jakarta, Agustus 2002, cet.I, hal.78-79
[9] Yusuf al-Qardawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003, cet.IV, hal.92
[10] ibid, hal.347
[11] al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulummuddin, Oktober 2002, cet.XIII, hal.152.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.