Saturday, 21 November 2015

KLASIFIKASI AGAMA

Ada perbagai klasifikasi yang dibuat para ahli tentang agama[1] Ahmad Abdullah al-Masdoosi di dalam bukunya Living Religions of the world menulis:      
"Religion can also be classified on the following grounds: 
(1)   Revealed and non-revealed; 
(2)   Missionary and non-missionary; 
(3)   Geographical-racial and universal.[2] 
1.  Revealed and non Revealed Religions  
Adapun yang dimaksud dengan "revealed religions" (agama wahyu) ialah agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para Rasul-rasul-Nya dan kepada Kitab-kitab-Nya serta pesannya untuk disebarkan kepada segenap umat manusia. Sedangkan sebaliknya "non revealed religions" agama yang tidak memandang esensial penyerahan manusia kepada tata-aturan Ilahi. Yang dimaksud revealed religion, menurut Al-Masdoosi, ialah Yudaisme, Kristen dan Islam. Selebihnya termasuk pada non-revealed religions. Agama-agama wahyu bersangkutan dengan rasa Semitik. Sedangkan agama-agama bukan wahyu tidak ada sangkutan apa-apa dengan ras Semitik. 
Di bawah ini dikemukakan perbedaan antara agama-agama wahyu dengan agama-agama bukan wahyu, menurut al-Masdoosi: 
Pertama, agama wahyu berpokok pada konsep keesaan Tuhan sedangkan agama bukan wahyu tidak harus demikian; 
Kedua, agama wahyu beriman kepada Nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak; 
Ketiga, bagi agama wahyu maka sumber utama tuntunan dan ukuran bagi baik dan buruk adalah kitab suci yang diwahyukan, sedangkan bagi agama bukan-wahyu kitab suci yang diwahyukan tidak esensial;[3] 
Keempat, semua agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan-wahyu, kecuali paganisme, lahir di luar area termaksud; 
Kelima, agama wahyu timbul di daerah-daerah yang historis di bawah pengaruh ras Semitik, walaupun kemudian agama termaksud berhasil menyebar ke luar area pengaruh Semitik.  Sebaliknya, agama bukan wahyu lahir di luar area Semitik termaksud; 
Keenam, sesuai dengan ajaran dan, atau historisnya maka agama wahyu adalah agama missionary. Agama bukan wahyu bukanlah agama missionary;                            
Ketujuh, ajaran agama wahyu tegas dan jelas. Agama bukan wahyu adalah kabur dan sangat elastik; Kedelapan, ajaran agama wahyu memberikan arah dan jalan yang lengkap kepada para pemeluknya. Para pemeluknya berpegang, baik kepada aspek duniawi (the worldly) maupun aspek spiritual daripada hidup ini. Tidaklah demikian halnya dengan agama bukan wahyu. Taoisme menitik beratkan kepada aspek hidup spiritual, sementara itu pada Confusianisme lebih menekankan pada aspek duniawi.
2.  Agama Missionary dan Agama non-Missionary 
Sir Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam antara lain menulis: 
Ever since Professor Max Muller delivered his lecture in  Westminster Abbey, on the day of intercession for mission, in  December 1873, it has been a literary common place, that the  six great religions of the world may be divided into missionary  and non missionary.[4] 
Sir T.W. Arnold memasukkan Buddhisme, Kristen dan Islam pada golongan agama missionary. Sedangkan Yudaisme, Brahmanisme dan Zoroasterianisme dimasukkan pada golongan non missionary. 
Sehubungan dengan masalah termaksud, al-Masdoosi antara lain memberi catatan, bahwa menurut pendapatnya: baik agama Nasrani maupun Buddhisme, ditinjau dari segi ajarannya yang asli, bukanlah tergolong agama missionary, sebagaimana juga agama-agama lainnya (selain Islam). Jadi menurut kesimpulan al-Masdoosi hanya Islam sajalah ajarannya yang asli merupakan agama missionary. Namun dalam perkembangan ternyata kemudian bahwa baik agama Nasrani maupun Buddhisme menjadi agama missionary. 
3.  Klasifikasi Rasial Geografikal
Ditinjau dari segi rasial dan geografikal agama-agama di  dunia ini dapat dibagi atas: 
a.       Semitik; 
b.      Arya; dan 
c.       Mongolian. 
Yang termasuk agama Semitik ialah: Agama Yahudi, Agama Nasrani dan Agama Islam. Sedangkan yang tergolong Agama bukan Semitik, Arya ialah: Hinduisme, Jainisme, Sikhisme dan Zoroasterianisme. Sedangkan yang tergolong non Semitik Mongolian ialah: Confusianisme, Taoisme dan Shintoisme.  "Adapun Buddhisme", menurut al-Masdoosi, "tidak dapat begitu saja dimasukkan ke dalam golongan agama non Semitik Arya, tetapi merupakan campuran antara Arya dan Mongolian."[5]


[1] A. Moechtar Sjofjan, Ilmu Perbandingan Agama, Diktat Kuliah, tt, hlm. 11-16
[2] Ahmad Abdullah al-Masdoosi, Living Religions of the World: A Socio Political Study, English Rendering by Zafar Ishaq Anshari, Begum Aisha Bawany wakf, Karachi, 1962, hlm. 11
[3] Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, Pustaka Pelajar Offset, Semarang, 1996
[4] Ibid, hlm. 16.
[5] Ibid, hlm. 19
Share:

Friday, 20 November 2015

SEJARAH AGAMA (2)

Bahasan ini merupakan kelanjutan dari bahasan sebelumnya, sejarah agama bagian pertama. 

5. Teori Sentimen Kemasyarakatan
“Teori Sentimen Kemasyarakatan”, berasal dari seorang sarjana ilmu filsafat dan sosiologi bangsa Perancis bernama E. Durkheim, dan diuraikan olehnya dalam bukunya Les Formes Elementaires de la Vie Religieuse (1912). Durkheim yang juga menjadi amat terkenal dalam kalangan ilmu antropologi budaya, pada pangkalnya mempunyai suatu celaan terhadap Tylor, serupa dengan celaan Marett tersebut di atas. Beliau beranggapan bahwa alam pikiran manusia pada masa permulaan perkembangan kebudayaannya itu belum dapat menyadari suatu faham abstrak “jiwa”, sebagai suatu substansi yang berbeda dari jasmani. Kemudian Durkheim juga berpendirian bahwa manusia pada masa itu belum dapat menyadari faham abstrak yang lain seperti perubahan dari jiwa menjadi ruh apabila jiwa itu telah terlepas dari jasmani yang mati. Celaan terhadap teori animisme Tylor itu termaktub dalam permulaan buku Les Formes Elementaires de la Vie Religieuse, tempat beliau mengumumkan suatu teori yang baru tentang dasar-dasar agama yang sama sekali berbeda dengan teori-teori yang pernah dikembangkan oleh para sarjana sebelumnya. Teori itu berpusat kepada beberapa pengertian dasar, ialah :
a.       Makhluk manusia pada waktu ia pertama kali timbul di muka bumi, mengembangkan aktivitas religi itu bukan karena ia mempunyai bayangan-bayangan abstrak tentang jiwa atau roh dalam alam pikirannya, yaitu suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di dalam alam, melainkan karena suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan, yang timbul di dalam alam jiwa manusia dahulu, karena pengaruh suatu rasa sentimen kemasyarakatan.
b.      Sentimen kemasyarakatan itu dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleks perasaan yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta dan sebagainya terhadap masyarakatnya sendiri, yang merupakan seluruh alam dunia di mana ia hidup.
c.       Sentimen kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, yang sebaliknya merupakan pangkal daripada segala kelakuan keagamaan manusia itu, tentu tidak selalu berkobar-kobar dalam alam batinnya. Apabila tidak dipelihara, maka sentimen kemasyarakatan itu menjadi lemah dan latent, sehingga perlu dikobarkan kembali. Salah satu cara untuk mengobarkan kembali sentimen kemasyarakatan adalah dengan mengadakan suatu kontraksi masyarakat artinya dengan mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan raksasa.
d.      Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan, membutuhkan suatu obyek tujuan. Sifat apakah yang menyebabkan barang sesuatu hal itu menjadi obyek daripada emosi keagamaan bukan terutama sifat luar biasanya, bukan pula sifat anehnya, bukan sifat megahnya, bukan sifat ajaibnya, melainkan tekanan anggapan umum dalam masyarakat. Obyek itu ada karena salah satu peristiwa kebetulan dalam sejarah kehidupan sesuatu masyarakat di masa lampau menarik perhatian banyak orang di dalam masyarakat. Obyek yang menjadi tujuan emosi keagamaan itu juga mempunyai obyek yang bersifat keramat, bersifat sacre, berlawanan dengan obyek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan (ritual value) itu, ialah obyek yang tak-keramat, yang profane.
e.       Obyek keramat sebenarnya tidak lain daripada suatu lambang masyarakat. Pada suku-suku bangsa asli benua Australia misalnya, obyek keramat, pusat tujuan daripada sentimen-sentimen kemasyarakatan, sering berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan, tetapi sering juga obyek keramat itu berupa benda. Oleh para sarjana obyek keramat itu disebut totem. Totem itu (jenis binatang atau obyek lain) mengkonkritkan prinsip totem yang ada di belakangnya, dan prinsip totem itu adalah suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat, berupa clan atau lain.
Pendirian-pendirian tersebut pertama di atas, ialah emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan, adalah menurut Durkheim, pengertian-pengertian dasar yang merupakan inti atau essence daripada tiap religi, sedangkan ketiga pengertian lainnya ialah kontraksi masyarakat, kesadaran akan obyek keramat berlawanan dengan obyek tak-keramat, dan totem sebagai lambang masyarakat, bermaksud memelihara kehidupan daripada inti. Kontraksi masyarakat, obyek keramat dan totem akan menjelmakan (a) upacara, (b) kepercayaan dan (c) mitologi. Ketiga unsur tersebut terakhir ini menentukan bentuk lahir daripada sesuatu religi di dalam sesuatu masyarakat yang tertentu.
Susunan tiap masyarakat dari beribu-ribu suku bangsa di muka bumi yang berbeda-beda ini telah menentukan adanya beribu-ribu bentuk religi yang perbedaan-perbedaannya tampak lahir pada upacara-upacara, kepercayaan dan mitologinya. [1]

6.      Teori Wahyu Tuhan
“Teori Firman Tuhan”, pada mulanya berasal dari seorang sarjana antropologi bangsa Austria bernama W. Schmidt. Sebelum Schmidt sebenarnya ada sarjana lain yang pernah mengajukan juga pendirian tersebut. Sarjana lain ini adalah seorang ahli kesusasteraan bangsa Inggris bernama A. Lang.
Sebagai ahli kesusasteraan, Lang telah banyak membaca tentang kesusasteraan rakyat dari banyak suku bangsa di dunia. Di dalam dongeng-dongeng itu, Lang sering mendapatkan adanya seorang tokoh dewa yang oleh suku-suku bangsa bersangkutan dianggap dewa tertinggi, pencipta seluruh alam semesta serta isinya, dan penjaga ketertiban alam dan kesusilaan. Kepercayaan  kepada seorang tokoh dewa serupa itu menurut Lang terutama tampak pada suku-suku bangsa yang amat rendah tingkat kebudayaannya, dan yang hidup dari berburu atau meramu, ialah misalnya suku-suku bangsa berburu di daerah Gurun Kalahari di Afrika Selatan, yang biasanya disebut orang Bushman, suku-suku bangsa penduduk asli benua Australia, suku-suku bangsa Negrito di daerah hutan rimba di Kamerun dan Kongo, Afrika Tengah, penduduk kepulauan Andaman, penduduk pegunungan Tengah di Irian Timur, dan juga beberapa suku bangsa penduduk asli benua Amerika Utara. Berbagai hal membuktikan bahwa kepercayaan itu tidak timbul sebagai akibat pengaruh agama Nasrani atau Islam, maka kepercayaan tadi malahan tampak seolah-olah terdesak ke belakang oleh kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, dewa-dewa alam, ruh, hantu, dan sebagainya. A. Lang berkesimpulan bahwa kepercayaan kepada dewa tertinggi adalah suatu kepercayaan yang sudah amat tua, dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang tertua. Adapun pendiriannya itu diumumkannya dalam beberapa karangan, antara lain dalam buku yang berjudul The Making of Religion (1898).
Anggapan A. Lang terurai di atas, tak lama kemudian diolah lebih lanjut oleh W. Schmidt. Tokoh besar dalam kalangan ilmu antropologi ini adalah guru besar pada suatu perguruan tinggi yang pusatnya mula-mula di Austria, kemudian di Swiss, untuk mendidik calon-calon pendeta penyiar agama Khatolik dari organisasi Societas Verbi Divini. Di dalam suatu kedudukan serupa itu maka mudah dapat dimengerti bagaimana anggapan akan adanya kepercayaan kepada dewa-dewa tertinggi di alam jiwa bangsa-bangsa yang masih amat rendah tingkat kebudayaannya, adalah suatu anggapan yang amat cocok dengan dasar-dasar cara berpikir W. Schmidt dan juga dengan filsafatnya sebagai seorang pendeta agama Khatolik. Di dalam hubungan itu beliau percaya bahwa agama itu berasal dari titah Tuhan yang diturunkan kepada makhluk manusia pada masa permulaan ia muncul di muka bumi ini. Karena itulah adanya tanda-tanda daripada suatu kepercayaan kepada dewa pencipta, justru pada bangsa-bangsa yang paling rendah tingkat kebudayaanya (artinya yang paling tua menurut Schmidt), memperkuat anggapannya mengenai adanya titah Tuhan asli, atau Uroffenbarung itu. Demikianlah kepercayaan yang asli dan bersih kepada Tuhan, atau kepercayaan Urmonotheismus tadi itu malahan ada pada bangsa-bangsa yang tua yang hidup pada zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih rendah. Di dalam zaman kemudian, ketika makin maju kebudayaan manusia, maka makin kaburlah kepercayaan  asli terhadap Tuhan; makin banyak kebutuhan manusia, makin terdesaklah kepercayaan  asli itu oleh pemujaan kepada makhluk-mahluk halus, ruh, dewa, dan sebagainya.
Anggapan Schmidt sebagaimana diuraikan di atas dianut oleh beberapa orang sarjana yang untuk sebagian besar bekerja sebagai penyiar agama Nasrani dari organisasi Societas Verbi Divini. Di samping menjalankan tugas sebagai penyiar agama Nasrani di dalam berbagai daerah di muka bumi, mereka melakukan penelitian-penelitian antropologi budaya berdasarkan atas anggapan-anggapan pokok daripada guru mereka. Demikian antara lain, sarjana-sarjana itu mencari di dalam kebudayaan-kebudayaan di daerah mereka masing-masing akan adanya tanda-tanda suatu kepercayaan kepada dewa tertinggi.[2]
Beberapa manusia dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya memberikan penekan-penekanan khusus pada aspek-aspek tertentu dari agamanya itu. Sebagian ada yang menekankan pada penghayatan mistik, ada yang menekankan pada penalaran logika, penekanan pada aspek pengamalan ritual, dan ada juga yang menekankan pada aspek pelayanan (amal shalih). Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagaimana berikut ini:
a.       Cara mistik. Dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, sebagian manusia cenderung lebih menekankan pada pendekatan mistikal daripada pendekatan yang lain. Cara mistik seperti ini dilakukan oleh para sufi (pengikut tarekat) dan pengikut kebatinan (kejawen). Yang dimaksud dengan cara mistik itu sendiri adalah suatu cara beragama pengikut agama tertentu yang lebih menekankan pada aspek pengamalan batiniah (esoterisme) dari ajaran agama, dan mengabaikan aspek pengamalan formal, struktural dan lahiriyah (eksoterisme). Pada setiap pengikut agama apapun agamanya baik agama besar maupun agama lokal, selalu memiliki kelompok pengikut yang memberi perhatian besar pada cara beragama mistik ini. Di kalangan pengikut agama Islam dikenal dengan sufisme, dikalangan umat Katolik dikenal dengan hidup kebiaraan, begitu pula dikalangan Hindu maupun Budhisme. Beragama dengan cara mistik sangat digemari oleh masyarakat berkebudayaan tertentu, yang secara kultur dominan, mereka menekankan pada hal-hal mistikal tersebut, seperti sebagian masyarakat yang berkebudayaan jawa.[3] Kebudayaan jawa adalah tipe kebudayaan yang menekankan pada hidup kerohanian bersifat esoteris dan menjunjung tinggi harmonitas hidup sehingga kadangkala menyebabkan terjadinya sindritisme.[4]
b.      Cara penalaran, di samping penghayatan dan pengamalan agama cara mistik, ada pula cara penalaran, yaitu cara beragama dengan menekankan pada aspek rasionalitas dari ajaran agama. Bagi penganut aliran ini, bagaimana agama itu harus dapat menjawab masalah yang dihadapi penganutnya dengan jawaban yang masuk akal. Beragama tidak selamanya harus menerima begitu saja apa yang didoktrinkan oleh pimpinan agama, mereka menyenangi interpretasi yang bebas dalam menafsirkan teks dari kitab suci atau buku-buku agama lainnya. Dari tradisi Islam umpamanya, ada kelompok yang disebut mutakalimin atau para ahli ilmu kalam, yang banyak membicarakan teologi Islam dengan memakai dalil tekstual (naqli) dan dalil rasional (aqli). 
c.       Cara amal shalih. Cara beragama yang ketiga ini lebih menekankan penghayatan dan pengamalan agama pada aspek peribadatan, baik ritual formal maupun aspek pelayanan sosial keagamaan. Menurut kelompok ini, yang terpenting dalam beragama adalah melaksanakan amal shalih, karena indikator seseorang beragama atau tidak ialah dalam pelaksanaan segala amalan lahir dari agama itu sendiri. Tuhan memasukkan seorang manusia ke dalam surga adalah karena amal shalih orang tersebut yang dilakukan ketika ia masih hidup. Tidak ada artinya pengakuan dan iman dalam hati kalau tidak dinyatakan dalam amal perbuatan fisik dan perwujudan materi. Dalam agama Islam, kelompok ini lebih banyak mengikuti ajaran fiqih dan hukum-hukum agama mengenai tata cara amal shalih daripada amal yang lainnya.[5]
d.      Cara sinkretisme. Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan. Tercatat pada abad ke-2 dan ke-4 aliran Neo Platonisme berusaha menyatukan agama-agama penyembah berhala. Selanjutnya pada masa renaisans muncul usaha untuk menyatukan antara gereja Katolik Timur dan Katolik Barat. Pernah juga muncul gerakan untuk mengawinkan antara aliran Lutheran dengan aliran-aliran lain dalam Protestan. Sementara itu, dalam bidang filsafat pernah muncul usaha untuk mengharmoniskan pertentangan antara pemikiran Plato dan Aritoteles.[6]
Cara sinkretisme adalah cara-cara seseorang dalam menghayati dan mengamalkan agama dengan memilih-milih ajaran tertentu dari berbagai agama untuk dipraktekkan dalam kehidupan keagamaan diri sendiri atau untuk diajarkan kepada orang lain. Dalam prakteknya cara beragama sinkretisme ini dapat terjadi pada bidang kepercayaan, namun Tuhan umpamanya dikombinasikan “Gustiallah” atau “Allah Sang Hyang widi”, dapat juga dalam pelaksanaan ritual, dalam berdoa, dalam peralatan yang dipakai pada upacara keagamaan dan sebagainya.[7]


[1] Koejtaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta 1972, hlm. 223-224.
[2] Romdhon, et.al, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga , Press, Yogyakarta, 1988, hlm. 22-23
[3] Neils Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Gajah Mada Press, 1980, hlm. 20.
[4] Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia Bandung, 2000, hlm. 47.
[5] Ibid.
[6] Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000, hlm. 87.
[7] Dadang Kahmad. Metode Penelitian Agama, hlm. 47-48. 
Share:

Thursday, 19 November 2015

SEJARAH AGAMA (1)

Setelah membahas pengertian agama, maka tidak elok jika tidak tahu tentang sejarah agama, teori-teorinya pada bagian pertama.
Masalah asal mula dan inti dari suatu unsur universal seperti religi atau agama itu, tegasnya masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu kekuatan yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan masalah mengapakah manusia melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah menjadi obyek perhatian para ahli pikir sejak lama. Adapun mengenai soal itu ada berbagai pendirian dan teori yang berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah:

  • Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa.
  • Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan dengan akalnya.
  • Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
  • Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam sekelilingnya.
  • Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakatnya.
  • Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia mendapat suatu firman dari Tuhan.

1.      Teori Jiwa
“Teori Jiwa”, pada mulanya berasal dari seorang sarjana antropologi Inggris, E.B.Tylor, dan diajukan dalam kitabnya yang terkenal berjudul Primitive Cultures (1873). Menurut Tylor, asal mula agama adalah kesadaran manusia akan faham jiwa. Kesadaran akan faham itu disebabkan karena dua hal, ialah:
a.       Perbedaan yang tampak kepada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Suatu makhluk pada suatu saat bergerak-gerak, artinya hidup; tetapi tak lama kemudian makhluk tadi tak bergerak lagi, artinya mati. Demikian manusia lambat laun mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan oleh suatu hal yang ada di samping tubuh-jasmani dan kekuatan itulah yang disebut jiwa.
b.      Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain daripada tempat tidurnya. Demikian manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke lain tempat. Bagian lain itulah yang disebut jiwa.
Sifat abstrak dari jiwa tadi menimbulkan keyakinan di antara manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmani. Pada waktu hidup, jiwa masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur dan waktu manusia jatuh pingsan. Karena pada suatu saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang, maka tubuh berada di dalam keadaan yang lemah. Tetapi kata Tylor, walaupun melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat-saat seperti tidur atau pingsan, tetap ada. Hanya pada waktu seorang makhluk manusia mati, jiwa melayang terlepas, dan terputuslah hubungan dengan tubuh jasmani untuk selama-lamanya. Hal itu tampak dan nyata, kalau tubuh jasmani sudah hancur berubah debu di dalam tanah atau hilang berganti abu di dalam api upacara pembakaran mayat; maka jiwa yang telah merdeka terlepas dari jasmaninya itu dapat berbuat semau-maunya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang oleh Tylor tidak disebut soul atau jiwa lagi, tetapi disebut spirit atau mahluk halus. Demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi kepercayaan kepada mahluk-mahluk halus.
Pada tingkat tertua di dalam evolusi religinya manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Makhluk-makhluk halus tadi, yang tinggal dekat sekeliling tempat tinggal manusia, yang bertubuh halus sehingga  tidak dapat tertangkap panca indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tak dapat diperbuat manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan manusia sehingga menjadi obyek daripada penghormatan dan penyembahannya, dengan berbagai upacara berupa doa, sajian, atau korban. Agama serupa itulah yang disebut oleh Tylor animism.
Pada tingkat kedua di dalam evolusi agama, manusia percaya bahwa gerak alam hidup itu juga disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu. Sungai-sungai yang mengalir dan terjun dari gunung ke laut, gunung yang meletus, gempa bumi yang merusak, angin taufan yang menderu, jalannya matahari di angkasa, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan sebagainya, semuanya disebabkan oleh jiwa alam. Kemudian jiwa alam tadi itu dipersonifikasikan, dianggap oleh manusia seperti makhluk-makhluk dengan suatu pribadi, dengan kemauan dan pikiran. Makhluk-makhluk halus yang ada di belakang gerak alam serupa itu disebut dewa-dewa alam.
Pada tingkat ketiga di dalam evolusi religi, bersama-sama dengan timbulnya susunan kenegaraan di dalam masyarakat manusia, timbul pula kepercayaan bahwa alam dewa-dewa itu juga hidup di dalam suatu susunan kenegaraan, serupa dengan di dalam dunia makhluk manusia. Demikian ada pula suatu susunan pangkat dewa-dewa mulai dari raja dewa sebagai yang tertinggi, sampai pada dewa-dewa yang terendah. Suatu susunan serupa itu lambat laun akan menimbulkan suatu kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan saja dari satu dewa yang tertinggi itu. Akibat dari kepercayaan itu adalah berkembangnya kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama monotheisme.[1]
2.      Teori Batas Akal
“Teori Batas Akal”, berasal dari sarjana besar J.G. Frazer, dan diuraikan olehnya dalam jilid I dari bukunya yang terdiri dari 12 jilid berjudul The Golden Bough (1890). Menurut Frazer, manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya; tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin maju kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu; tetapi dalam banyak kebudayaan, batas akal manusia masih amat sempit. Soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan magic, ialah ilmu gaib. Magic menurut Frazer adalah segala perbuatan manusia (termasuk abstraksi-abstraksi dari perbuatan) untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada dalam alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya. Pada mulanya kata Frazer, manusia hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Agama waktu itu belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak dari perbuatan magicnya itu tidak ada hasilnya juga, maka mulailah ia percaya bahwa alam itu didiami oleh mahluk-mahluk halus yang lebih berkuasa daripadanya, maka mulailah ia mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus yang mendiami alam itu. Demikianlah timbul agama.
Menurut Frazer memang ada suatu perbedaan yang besar di antara magic dan religion. Magic adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya, religion adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti ruh, dewa dsb, yang menempati alam. Kecuali menguraikan pendiriannya tentang dasar-dasar religi, Frazer juga membuat dalam karangannya The Golden Bough tersebut, suatu klarifikasi daripada segala macam perbuatan ilmu gaib kepercayaan dalam beberapa tipe ilmu gaib.[2]
3.      Teori Krisis dalam Hidup Individu
Pandangan ini berasal antara lain dari sarjana-sarjana seperti M. Crawley dalam bukunya Tree of Life (1905), dan diuraikan secara luas oleh A. Van Gennep dalam bukunya yang terkenal, Rites de Passages (1909). Menurut sarjana-sarjana tersebut, dalam jangka waktu hidupnya manusia mengalami banyak krisis yang menjadi obyek perhatiannya, dan yang sering amat menakutinya. Betapapun bahagianya hidup orang, ia selalu harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalam hidupnya. Krisis-krisis itu yang terutama berupa bencana-bencana sakit dan maut, tak dapat dikuasainya dengan segala kepandaian, kekuasaan, atau kekayaan harta benda yang mungkin dimilikinya. Dalam jangka waktu hidup manusia, ada berbagai masa di mana kemungkinan adanya sakit dan maut itu besar sekali, yaitu misalnya pada masa kanak-kanak, masa peralihan dari usia muda ke dewasa, masa hamil, masa kelahiran, dan akhirnya maut. Dalam hal menghadapi masa krisis serupa itu manusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh imannya dan menguatkan dirinya. Perbuatan-perbuatan serupa itu, yang berupa upacara-upacara pada masa-masa krisis tadi itulah yang merupakan pangkal dari agama dan bentuk-bentuk agama yang tertua.[3]
4.      Teori Kekuatan Luar Bisa
Pendirian ini, yang untuk mudahnya akan kita sebut “Teori Kekuatan Luar Biasa”, terutama diajukan oleh sarjana antropologi bangsa Inggris, R.R. Marett dalam bukunya The Threshold of Religion (1909). Sarjana ini mulai menguraikan teorinya dengan suatu kecaman terhadap anggapan-anggapan Tylor mengenai timbulnya kesadaran manusia terhadap jiwa. Menurut Marett kesadaran tersebut adalah hal yang bersifat terlampau kompleks bagi pikiran makhluk manusia yang baru ada pada tingkat-tingkat permulaan dari kehidupannya di muka bumi ini. Sebagai lanjutan dari kecamannya terhadap teori animisme Tylor itu, maka Marett mengajukan sebuah anggapan baru. Katanya, pangkal dari segala kelakuan keagamaan ditimbulkan karena suatu perasaan rendah terhadap gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai biasa di dalam kehidupan manusia. Alam tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa itu berasal, dan yang dianggap oleh manusia dahulu sebagai tempat adanya kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah dikenal manusia di dalam alam sekelilingnya, disebut Supernatural. Gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa itu dianggap akibat dari suatu kekuatan supernatural, atau kekuatan luar biasa, atau kekuatan sakti.
Adapun kepercayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala-gejala, hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa tadi, dianggap oleh Marett suatu kepercayaan yang ada pada makhluk manusia sebelum ia percaya kepada makhluk halus dan ruh; dengan kata lain, sebelum ada kepercayaan animisme. Itulah sebabnya bentuk agama yang diuraikan Marett itu sering disebut pra animisme.[4]


[1] Romdhon, et. al, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga , Press, Yogyakarta, 1988, hlm. 18-19.
[2] Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 40-41.
[3] Koenjtaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta 1972, hlm. 222-223.
[4]Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 32-33.
Share:

Wednesday, 18 November 2015

APA SIH AGAMA ITU?

Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaran-ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram.[1]
Karena inti pokok dari semua agama adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan, sedangkan persepsi manusia tentang Tuhan dengan segala konsekuensinya beranekaragam, maka agama-agama yang dianut manusia di dunia ini pun bermacam-macam pula. Karena kondisi seperti inilah Mukti Ali mengatakan:
Barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama. Paling sedikit ada tiga alasan untuk hal ini. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal batini dan subyektif, juga sangat individualistik…. Alasan kedua, bahwa barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional lebih daripada membicarakan agama… maka dalam membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali hingga sulit memberikan arti kalimat agama itu…. Alasan ketiga, bahwa konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu.[2]
Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu: “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.[3]
Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin” (dari bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion (bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.[4]
Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam pengertian yang sama dengan “agama”.[5] Kata agama selain disebut dengan kata diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah. Terkadang syara itu dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib dipatuhi, maka disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan syara.[6]
Dari pengertian agama dalam berbagai bentuknya itu maka terdapat bermacam-macam definisi agama. Harun Nasution telah mengumpulkan delapan macam definisi agama yaitu:

  1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
  2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
  3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
  4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
  5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
  6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
  7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
  8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.[7]



[1] Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universitas Muhammadiyah, Malang, 1989, hlm. 26.
[2] Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, bagian 1, Badan Penerbit IKIP, Bandung, 1971, hlm. 4. Lihat juga Endang Syaefudin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2002, hlm. 117-118.
[3] Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, 1992, hlm. 112. Cf Nasrudin Razak, Dienul Islam, PT al-Ma’arif, Bandung, 1973, hlm. 76.
[4] Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan agama, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 1.
[5] Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hlm. 63.
[6] Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, hlm. 121.
[7] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1985, hlm.10.
Share:

Friday, 13 November 2015

PERKEMBANGAN PADA ANAK USIA DINI

Jika kita mencermati kehidupan manusia, tentu kita akan menyaksikan bahwa perjalanan hidup ini senantiasa melibatkan aspek psikis dan fisik, atau aspek jiwa dan raga. Proses yang berkaitan dengan aspek psikis dan fisik ini sering kita kenal dengan proses tumbuh kembang.
Pengertian pertumbuhan akan berkaitan dengan aspek fisik yakni aspek-aspek yang dapat diukur, dihitung, dilihat atau diamati dengan jelas. Seperti perkembangan secara biologis anak akan selalu mengalami pertumbuhan secara fisik. Sedangkan perkembangan yang berkaitan dengan aspek psikis, yakni sesuatu yang lebih berhubungan dengan unsur internal dalam diri individu. Sebagai contoh perkembangan psikologis, pada anak akan selalu ditandai dengan kebutuhan kasih sayang, perhatian, dari orang sekitarnya. Perkembangan sosial anak, anak membutuhkan hidup bersama dan kemampuan menyesuaikan diri. Perkembangan keagamaan anak di sini mulai dengan kebutuhan pedoman dalam hidupnya.[1] Tahap perkembangan pada anak tersebut adalah sebagai berikut:
Perkembangan Biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Segala gerak dan tanduknyaia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa yang ada di sekelilingnya. Dengan kata lain ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukan makhluk instingtif, keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk di fungsikan secara maksimal.[2]
Pada tahun pertama pertumbuhan fisik sangat cepat sedangkan tahun kedua mulai mengendur, pola perkembangan bayi pria dan wanita sama, tinggi badan secara proporsional lebih lambat daripada pertumbuhan berat badan. Selama tahun pertama  dan lebih cepat pada tahun kedua, dari 20 gigi seri, kira-kira 16 telah tumbuh selama masa bayi berakhir. Gigi pertama muncul kira-kira pada usia 6-8 bulan, gigi seri bawah muncul lebih dahulu kemudian menyusul tumbuhnya gigi seri bagian atas.Pada umur satu tahun, rata-rata bayi mempunyai 4 sampai 6 gigi dan pada umur dua tahun 16 gigi. Pertumbuhan otak tampak dengan bertambah besarnya ukuran tengkorak kepala diperkirakan seperempat dari berat otak orang dewasa dicapai pada usia sembilan bulan dan tiga perempat pada akhir tahun kedua.
Organ keinderaan berkembang dengan cepat selama masa bayi dan sanggup berfungsi dengan memuaskan sejak bulan-bulan pertama dari kehidupan. Dengan berkembangnya koordinasi otot-otot mata pada bulan ketiga maka bayi telah sanggup melihat dengan jelas. Alat indera lainnya yang berkembang ialah pendengaran dan penciuman. Fungsi-fungsi fisiologis, masa bayi merupakan masa di mana dasar pembinaan pola-pola fisiologis, seperti makan, tidur, dan buang air, harus terbentuk, walaupun pembentukan pembiasaan tidak di selesaikan pada masa akhir bayi.
Perkembangan penguasaan otot-otot mengikuti pola yang jelas dan dapat diduga yang ditentukan oleh hukum arah perkembangan. Menurut hukum ini, penguasaan atau pengendalian otot-otot pada bagian kepala lebih dahulu dan selanjutnya pada bagian kaki. Perkembangan motorik yaitu dapat menghambat kemampuan penyesuaian diri sehingga mengakibatkan perasaan rendah diri, gangguan psikis, seperti gangguan emosi, karena mendapat bentakan-bentakan yang sangat mengejutkan anak (bayi).[3]
Pada anak mencapai usia 3-6 tahun ada ciri yang jelas berbeda dengan anak usia bayi, perbedaannya terletak pada penampilan, proporsi tubuh, panjang badan dan ketrampilan yang mereka miliki. Contohnya pada anak pra sekolah telah tampak otot-otot tubuh yang berkembang dan memungkinkan bagi mereka melakukan ketrampilan.[4]
Sedangkan perkembangan biologis pada anak sekitar 2-6 tahun anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air, dan mengenal beberapa hal yang di anggap berbahaya. Dengan meningkatnya pertumbuhan tubuh, baik menyangkut ukuran, berat, dan tinggi, maupun kekuatannya memungkinkan anak untuk lebih dapat mengembangkan ketrampilan fisiknya, dan eksplorasi terhadap lingkungannya dan dengan tanpa bantuan orang lain. Perkembangan sistem syaraf pusat memberikan kesiapan kepada anak untuk lebih dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan terhadap tubuhnya.
Proporsi tubuhnya berubah secara dramatis, seperti pada usia tiga tahun, rata-rata tingginya sekitar 80-90 cm, dan beratnya sekitar 10-13 kg. Sedangkan pada usia lima tahun, tingginya sudah mencapai sekitar 100-110 cm. Tulang kakinya tumbuh dengan cepat, namun pertumbuhan tengkoraknya tidak secepat usia sebelumya. Pertumbuhan tulang-tulangnyasemakin besar dan kuat, pertumbuhan giginya semakin lengkap dan komplit sehingga dia sudah menyenangi makanan padat, seperti daging, sayuran,buah-buahan dan kacang-kacangan. Anak pra sekolah umumnya sangat aktif, karena mereka telah memiliki penguasaan (kontrol) terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan yang dilakukan sendiri.[5]
Pertumbuhan otaknya pada usia lima tahun sudah mencapai 75% dari ukuran dewasa, dan 90% pada usia enam tahun. Pada usia ini juga terjadinya pertumbuhan “myelination” (lapisan urat syaraf dalam otak yang terdiri dari bahan penyekat berwarna putih, yaitu myelin), secara sempurna lapisan urat saraf ini membantu transmisi impuls-impuls syaraf secara cepat, yang memungkinkan pengontrolan terhadap kegiatan motorik lebih seksama dan efisien.[6]
Perkembangan anak pada akhir tahun pertama dan akhir tahun ke empat terjadi kemajuan-kemajuan yang pesat, namun begitu mengenai perkembangan sekitar tahun ke tiga anak sudah dapat berjalan secara otomatis bahkan pada alas yang tidak rata anak sudah dapat berjalan tanpa kesukaran, sekitar empat tahun anak hampir menguasai cara berjalan seperti orang dewasa.[7]
Perkembangan Jiwa Anak
Masa kanak-kanak di kenal sebagai masa egosentris karena pada masa ini anak-anak berada pada masa ketidak seimbangan karena keluar dari fokus dalam arti bahwa anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional. Sehingga sulit di bimbing dan di arahkan.
“Seorang anak tidak mempunyai perasaan bahwa kebutuhannya punya hambatan yang wajar kalau ia menyukai sesuatu ia ingin agar dipuaskan sepenuhnya. Dia tidak mengekang keinginan itu dan juga tidak mau jika seseorang membatasi keinginan tersebut. Dia tidak akan berusaha untuk menyesuaikannya, dengan konsep yang di miliki orang dewasa mengenai keharusan adanya hukum-hukum alam. Dia bahkan tidak mengerti bahwa hal-hal tersebut ada. Ia tidak dapat membedakan apa yang mungkin dan mana yang mustahil, akibatnya ia tidak mengerti bahwa realitas menetapkan berbagai kendala terhadap keinginan-keinginan yang tak mungkin diatasinya. Dalam pandangan anak segala sesuatu harus tunduk padanya ia tidak mau diganggu oleh hambatan-hambatan benda dan juga oleh manusia.[8]
Anak suka meniru segala sesuatu yang dilihatnya oleh karena itu sebagai orang tua hendaknya menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang terjadi di sekitarnya, sehingga kedua orang tua melakukan tindakan-tindakan yang salah dihadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak.
Akibat yang timbul dari kondisi psikologis yang demikian, anak-anak mudah marah dan melakukan tindakan yang kadang tidak rasional. Prilaku-prilaku yang muncul sehubungan dengan masa egosentris yaitu prilaku melawan otoritas orang tua, kasar dan agresif, prilaku berkuasa, memikirkan diri sendiri, merusak dan membentuk prilaku negatif lainnya.[9]
Prilaku melawan otoriter orang tua mencapai puncaknya pada usia tiga dan empat tahun. Perlawanan ini muncul apabila anak-anak dipaksa untuk mentaati sesuatu norma yang tidakdiinginkannya. Selanjutnya anak-anak akan sangat agresif apabila keinginannya tidak tercapai, bahkan anak-anak akan kasar, menyerang, menyalahkan orang lain, dan memaki-maki dengan tujuan agar dia terlihat lebih pandai dan tidak kalah. Ledakan amarah anak sering disertai dengan tindakan merusak benda-benda di sekitarnya. Sehubungan dengan itu perlu juga bicaranya ketika berusia lima dan tujuh tahun, pada waktu imajinasinyamelebihi penalaran, anak cenderung membual dan melebih-lebihkan pembicaraan, bahkan untuk memenuhi egonya anak-anak akan menghina dan mencaci maki terhadap segala bentuk prilaku di lingkungannya yang tidak ia sukai.
Banyak faktor yang mempengaruhi pada emosi anak, Elisabeth B.Hurlock menyebutkan:
“Besarnya keluarga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya emosi anak, pada keluarga yang lebih besar, sikap iri hati akan tumbuh. Dan pada keluarga yang lebih kecil biasanya cemburu akan kasih sayang orang tua akan lebih mendominasi. Selanjutnya lingkungan sosial rumah juga memainkan peran dan menimbulkan sering dan kuatnya rasa marah, jenis disiplin dan metode latihan juga berpengaruh terhadap amarah anak. Semakin orang tua otoriter, semakin besar kemungkinan anak untuk marah.[10]
Dari keadaan yang demikian terlihat betapa orang tua sebagai pendidik pertama dan yang utama. Bertugas membimbing dan mengarahkan anak, menuju prilaku yang baik.
Perkembangan Keberagamaan
Dalam pertumbuhan jiwa agama anak, diperlukan pengalaman-pengalaman keagamaan yang didapat sejak lahir dari orang-orang terdekat dalam hidupnya. Ibu, bapak, saudara dan keluarga, disamping pendidikan yang diberikan secara sengaja oleh guru-guru agama, pengalaman merupakan unsur-unsur yang akan menjadi bagian dari pribadinya di kemudian hari. Menurut perhitungan ilmu kedokteran ternyata bahwa keadaan ibu yang sedang mengandung dan gizi makanannya, akan ikut menentukan kecerdasan dan kemampuan anak dalam bidang kecakapan dan ketrampilan nanti. Karena pada bulan-bulan terakhir dari janin itu, telah mulai terbentuk jaringan –jaringan otaknya. Makanan ibu yang cukup gizinya akan memberikan bahan yang cukup pula bagi janin yang dalam kandungannya itu. Sehingga dapatlah bertumbuh jaringan-jaringan otak secara wajar dan baik. Dengan demikian anak yang akan lahir dapat diharapkan mempunyai kemampuan otak yang wajar,[11]
Anak mulai mengenal tuhan melalui orang tua dan lingkungan keluarganya. Sikap, tindakan, dan perbuatan orang tua sangat mempengaruhi perkembangan keberagamaan pada anak. Sebelum anak dapat bicara ia telah dapat melihat dan mendengar kata-kata yang barang kali belum mempunyai arti sendiri bagi anak. Sesuai dengan pengamatannya terhadap orang tuanya, ketika mengucapkan Allah akan berarti maha kuasa, maha penyayang, atau lainnya yang sesuai dengan orang tua ketika menyebutnya. Kata Allah yang tadinya tidak mempunyai arti apa-apa bagi anak, mulai mempunyai makna dengan apa yang tangkapnya dari orang tuanya.
Perkembangan kepercayaan berarti pola-pola dan struktur-struktur kognitif menjadi semakin komplek dan komprehensif sehingga isi kepercayaan dapat disusun dan dimengerti dengan cara-cara meaning making yang semakin terdiferensiasi. Fowler mendefinisikan tahap kepercayaan sebagai suatu keseluruhan struktural yang menjelma menjadi suatu cara berada dalam kepercayaan tertentu dan memungkinkan gaya kepercayaan yang khas.[12] Tahap kepercayaan adalah keseluruhan operasi pengertian dan pengertian yang terintegrasi kan dan spesifik secara kualitatif yang memungkinkan pribadi menciptakan suatu gambaran tentang lingkungan akhir yang berbeda menurut masing-masing tahap, lewat gambaran tersebut pribadi dapat mewujudkan rasa diri terikatnya. Yaitu rasa percaya dan setia yang transenden atau pusat nilai, kekuasaan dan makanan yang melampuainya.
Fowler memfokuskan penelitiannya pada struktur dan aspek-aspek formal kepercayaan itu, bukan pada isi kongkrit. Fokus formal yang strukturalistis ini mengandaikan suatu pemisahan teoritis antara isi dan struktur sebagaimana dianjurkan oleh Peaget dan Kohlberg. Sebagaimana diketahui secara umum penelitian Peaget tentang pengetahuan anak terutama tidak terpusat pada isi pengetahuan yang dapat dialihkan kepada anak. Misalnya isi pengetahuan konkrit ilmu pengetahuan alam, logika, ilmu matematika dan sebagainya. Struktur operasi formal yang disusun oleh anak untuk mengatur dan mengerti pengalaman akan dunia sekitar, mendasari, menentukan dan mengkonstitusikan cara formal bagaimana mengerti dan mengenal lingkungan sekitar. Pemisahan yang sama antar isi dan struktur juga dilakukan oleh Kohlberg dalam studinya tentang perkembangan moral. Sedangkan Fowler, ia berpendapat bahwa dalam perspektif strukturalisme genetik proses faithing, dapat dipelajari menurut struktur dan aspek-aspek struktural khasnya sendiri.
Mutu kepercayaan seorang anak tidaklah dibandingkan kepercayaan orang dewasa, tetapi polanya memang lain dan secara potensial kurang sempurna. karena alasan ini kita tidak boleh menafsirkan perkembangan kepercayaan sebagai serangkaian peristiwa progresif menurut model linear dalam evolusi yang menganggap tahap terakhir sebagai indeks kematangan yang secara praktis dapat digunakan sebagai tolak ukur seluruh tahap terdahulu yang dari kodratnya bersifat kurang dewasa dan kurang sempurna.
Fowler memperhatikan tujuh aspek operasional atau struktural yang bersama-sama membentuk tahap kepercayaan. Ketujuh teori tersebut adalah: 1. Berkembangnya pemikiran dan penalaran logis. 2. Berkembangnya pengkonstruksian perspektif sosial (pengambilan peranan). 3. Bentuk pertimbangan moral. 4. Berkembangnya pengertian terhadap titik sosial (batas-batas kesadaran sosial). 5. Penafsiran tentang soal tentang apa yang mengesahkan atau komitmen. 6. Berkembangnya keseluruhan arti yang bersifat pemersatu. 7. Berkembangnya pemahaman terhadap simbol.[13]
Tahap kepercayaan awal yang elementer ditandai oleh cita rasa yang bersifat preverbal terhadap kondisi-kondisi eksistensi,  yaitu rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang dan lingkungan yang mengasuh sang bayi, serta pada gambaran kenyataan yang paling akhir selama tahun pertama berkembanglah suatu keseluruhan interaksi timbal balik yang agak komplek dan mantap antara bayi dan pengasuh yang sama.[14]
Fowler menyebut gambaran tersebut sebagai pre images atau pra gambaran. Karena di satu pihak gambaran dibentuk oleh perasan sebelum kemampuan bahasa dan daya pengertian konseptual mulai berfungsi, tetapi di pihak lain telah termuat suatu rasa diri tertentu yang membedakan diri dari seluruh kenyataan lainnya. Pra gambaran Allah dan lingkungan yang paling mendalam dan akhir mempunyai matrik untuk genetknya pada gambaran anak tentang pengasuh utamanya dengan kata lain sangat mungkin simbol kepercayaan pertama diangkat dari seluruh gambaran bayi tentang ibudan bapak atau pengasuh penting lainnya yang saling bergantian.
Sedang anak berumur dua tahun, kedewasaan atau ketuhanan dimengerti secara pra antropomorf artinya anak mencoba menerapkan berbagai ide seperti yang tak kelihatan, roh, udara, dan sebagainya. Untuk menggambarkan Allah yang mempengaruhi dunia yang secara fisik dan substansial. Tetapi biarpun Allah dilukiskan secara antropomorf, misalnya Allah bagaikan udara dimana-mana ia berada. Namun sangat mungkin anak merasakan Allah sebagai sesuatu yang sungguh sebagai sifat pribadi. Misalnya saya mencintai-Nya, Allah berdiam di lubuk hatiku. Maka sering pula Allah dilukiskan menurut pola perbandingan antropomorf, sehingga pribadi Allah digambarkan terutama fisik-Nya.[15]
Sikap anak-anak terhadap agama mengandung kekaguman dan penghargaan, bagi mereka upacara-upacara agama dan dekorasi rumah ibadah, lebih menarik perhatian. Anak-anak dalam kepercayaannya bersifat egosentris, artinya semua sembahyang dan doa-doa adalah untuk mencapai keinginan pribadinya, misalnya dia akan baik karena akan mendapat upah. Dia menggambarkan Tuhan sebagai seorang yang akanmenolongnya dalam mencapai sesuatu karena ia sudah di tolong oleh orang dewasa terutama oleh orang tuanya.
Dengan kondisi psikologis yang sudah tumbuh pikiran logisnya maka orang tua diperintahkan untuk menyuruh anak-anaknya menjalankan kegiatan agama. Faktor pembiasaan, ajakan, dan himbauan sangat positif untuk mendukung perkembangankeberagamaanya. Akar penyebab perlunya pemberian motivasi karena pertimbangan kondisi kejiwaan anak yang masih membutuhkan bimbingan dan arahan orang tua atau belum tumbuh kesadaran dan kemandirian dalam kreatifitas sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept an authority.[16]
Latihan-latihan yang menyangkut ibadah, seperti sembahyang, do’a, membaca al-Qur’an atau menghafal ayat-ayat atau surat-surat pendek, sembahyang berjamaah disekolah, masjid atau mushola, harus dibiasakan sejak kecil. Sehingga lama-kelamaan, dia dibiasakan sedemikian rupa sehingga dengan sendirinya ia akan terdorong untuk melakukannya, tapi dengan dorongan dari dalam.
Dengan kata lain dapat kita sebutkan bahwa pembiasaan dan pendidikan anak sangat penting, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak, dan agama. Karena pembiasaan-pembiasaan agama itu akan menanamkan unsur-unsur positif dan pribadi anak yang sedang tumbuh. Semakin banyak pengalaman agama yang didapatkan melalui pembiasaan itu akan semakin banyaklah unsur agama dalam pribadinya, dan semakin mudahlah memahami ajaran agama yang akan dijelaskan oleh guru dikemudian hari. Jadi agama itu mulai dengan amanah, kemudian ilmiah atau penjelasan sesuai dengan perkembangan jiwanya dan datang pada waktu yang tepat.
Perkembangan Sosial
Anak semenjak dilahirkan telah masuk dalam kelompok manusia. Dilahirkan ke dunia sebagai anak dari Ibu-Bapak yang mengasuh dan membesarkan, kemudian kadangkala dan mempunyai saudara lagi dalam keluarga manusia telah mempunyai naluri untuk bergaul dengan sesamanya semenjak dia dilahirkan di dunia. Itu hubungan dengan sesamanya merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia.
Kemudian anak sebagai pribadi yang tumbuh dan berkembang di dalam proses perkembangannya memerlukan relasi dan komunikasi dengan orang lain terutama dalam relasinya dengan ibu, ayah, kakak, keluarga dekat dan lingkungan tetangga. Namun dalam prosesnya anak berhubungan dengan manusia lainnya, itulah terjadi pengaruh timbal balik terhadap prilaku sosial anak.
Sejak anak berumur satu tahun, ia hanya dapat berhubungan dengan ibu, ayah, atau dengan orang dewasa lainnya yang tinggal bersama sama dirumah itu. Semua anggota keluarga mempunyai tugas tertentu untuk kepentingan si anak. Dalam perkembangan selanjutnya, kesanggupan berhubungan batin dengan orang lain makin lama tampaknya makin nyata perkembangan sosial barulah agak nyata bila ia memasuki masa kanak-kanak. Sekitar usia dua atau tiga tahun anak sudah mulai membentuk masyarakat kecil yang anggotanya terdiri dari dua atau tiga orang anak. Mereka bermain bersama walaupun sekelompok itu dapat bertahan dalam waktu yang relatif singkat. Dalam kegiatan semacam itu anak sudah menghubungkan dirinya dengan suatu masyarakat yang baru di dalamnya mulai terjadi perkembangan baru yaitu perkembangan sosial.[17]
Prilaku sosial anak mencerminkan adanya proses sosialisasi yang pada gilirannya bisa menimbulkan kerjasama diantara mereka di dalam interaksi sosial anak, kerjasama ini bisa mulai terlihat ketika anak-anak dalam kehidupan keluarga atau sesama anak tetangga. Dengan dasar itu pula anak tersebut akan menggambarkan bentuk hubungan prilaku sosialnya dengan orang lain dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, bentuk kerjasama tersebut berkembang sesuai dengan tujuan yang akan dicapainya dan mereka sadar bahwa tujuan tersebut akan bermanfaat bagi semuanya.
Masa kanak-kanak merupakan masa bergaul bagi anak-anak dari umur dua sampai enam tahun anak belajar melakukan hubungan sosial dengan orang diluar keluarganya, mereka belajar menyesuaikan diri dan bersikap sesuai dengan kelompoknya. Orang dewasa yang ada di lingkungannya, keluarga sering berperan sebagai teman bermain. Antara usia dua sampai empat tahun, anak akan menemukan kenyataan bahwa anggota keluarga tidak dapat atau tidak mau menyediakan waktu yang cukup untuk bermain dengannya. Akibatnya anak sangat mengharapkan hubungan dengan teman sebayanya. Namun bila tidak mendapat kesempatan bermain dengan temannya anak akan lebih menyendiri dan putus asa.
Dalam perkembangan selanjutnya dapat dilihat sikap-sikap yang dominan muncul sehubungan dengan perkembangan sosialnya. Prilaku-prilaku tersebut terangkum dalam pola-pola tertentu, Elisabeth Hurlock menyebutkan beberapa prilaku yang muncul pada masa sosialisasi diantaranya “kerjasama yang muncul pada anak yang berusia empat tahun dimana, anak-anak suka melakukan kegiatan bersama dengan teman-temannya. Pada saat ini muncul pola persaingan yang merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berpacu mencapai kebaikan, munculnya sikap-sikap simpatik terhadap teman sebaya, juga mewarnai proses sosialisasi.[18]
Dalam proses sosialisasi tidak setiap anak dapat mencapai target seperti yang dialami teman-temannya. Apabila ada diantara kelompok yang tidak bisa menyesuaikan diri maka hal ini akan menjadi problem yang sangat mengganggu perkembangan mentalnya. Selanjutnya sikap-sikap negativistic itu muncul pada anak berusia tiga dan enam tahun. Ekspresi fisiknya, mirip dengan ledakan kemarahan, sikap-sikap yang muncul itu diantaranya, sikap agresif, dimana biasanya anak mengadakan permusuhan yang nyata, hal itu bisa berwujud serangan fisik. Maupun lisan terhadap pihak lain, yang biasanya terhadap anak kecil. Pertengkaran antar kelompok, mengejek kepada teman, membalasi dendam, prilaku sok kuasa, egosentrisme, bahkan antagonisme terhadap lain jenis, merupakan sikap-sikap negatif yang muncul sehubungan dengan proses sosialisasi.
Anak dan proses interaksinya mempunyai bentuk prilaku sosial yang bermacam-macam. Ada yang bersifat aktif maupun yang bersikap pasif dan tingkah laku lainnya yang terdapat dalam diri masing-masing anak. Meskipun demikian pada dasarnya yang terpenting adalah bagaimana proses interaksi itu berlangsung dengan kondisi dan situasi yang melengkapinya termasuk lawan interaksi dalam perkembangan kehidupan prilaku sosial anak terutama di awal pertumbuhan dan perkembangan mereka.


[1]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 19.
[2]Jamaluddin, Psikologi agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 64.
[3]SyamsuYusuf,Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, hlm. 150.
[4]Sumantri Patmono Dewo, Pendidikan Anak Pra Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 25.
[5]Ibid, hlm. 32.
[6]SyamsuYusuf,Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, hlm. 163.
[7]Siti Rahayu Hadi Tomo, Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1985,hlm. 91.
[8]Emile Durkem, Pendidikan Moral, Erlangga, Jakarta, 1990.
[9] Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta, 1999, hlm. 118.
[10]Ibid, hlm. 119.
[11]Zakiah Darajat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Bulan Bintang, Jakarta,1998, hlm. 10-111.
[12]Agus Creamers, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W Fowler, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 72.
[13]Ibid, hlm. 85.
[14]Ibid, hlm. 96
[15]Ibid, hlm. 95.
[16]Jalaluddin, Psikologi Agama, PT, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm.  68.  
[17]Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001, hlm. 45.
[18]Elisabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid I Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1978, hlm. 262.
Share:

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.