Hubungan agama
dengan negara; hubungan Islam dengan demokrasi; Islamisasi ilmu atau
hindunisasi ilmu; ekonomi Islam; kebangunan Islam; fundamentalisme agama dan
perubahan pemikiran bisa jadi merupakan daftar asesoris dari grand wacana
hubungan panjang dan (mungkin) tidak pernah selesai antara agama dengan
perubahan sosial.
Agama melalui
instrumen teologinya harus mengejar “kebaruan” pola interaksi sosial.
Kapitalisme yang dulu dilahirkan oleh semangat agama, tapi kapitalisme yang
dulu dilahirkan oleh semangat agama, tapi kapitalisme yang jaya hari ini tidak
lagi memerlukan dukungan agama. Hubungan antara agama dengan perubahan sosial
yaitu: pertama, pendapat yang menempatkan agama (harusnya) berubah mengikuti arus
kondisi interaksi manusia. Kedua, lebih dipicu oleh kegelisahan terhadap
perkembangan. Kondisi interaksi manusia hari ini yang semakin membangun jarak
terhadap kontrol agama, kondisi hari inilah yang harus berubah menyesuaikan
teks-teks agama. Pendapat pertama tersebut menempatkan agama sebagai
suprastruktur sosial, agama bukanlah sebuah entitas otonom yang vakum dari
interaksi sosial diluarnya. Bahkan entitas berubah mengikuti pergeseran
struktur ekonomi dan struktur budaya.
Karen Armstrong bahkan
menggunakan term Tuhan. A History of God dalam menggambarkan betapa agama terus
berubah berdialektika dengan alam dan struktur sosialnya. Tuhan berevolusi.
Sebuah buku
terbitan Cross cultural publication tahun 1994 yang diedit George B. Grose dan
Benjamin J. Hubbart, The Abraham Connection : A Jew, Cristian and Muslim in
Dialogue, diterjemahkan ke Indonesia tiga Agama satu Tuhan oleh penerbit
Mizan, tahun 1998 persis memperkuat tesis Karen Armstrong dalam cara penuturan
yang jauh berbeda. Buku ini disambut biasa saja oleh pengamat perilaku
ke-agama-an atau para agamawan.
Tesis yang
dikembangkan Karen Armstrong tersebut mensejajarkan agama dengan ide, filsafat,
seni, hukum dan ideologi berada pada posisi superstruktur dari infrastruktur
material. Secara substantif tesis ini bukan baru, bahkan jauh melampaui masa
kelahiran Karl Marx (1818), tesis itu diintrodusir ilmuwan Muslim kelahiran Tunisia, Ibn
Khaldun. Khaldun meneliti pengaruh lingkungan fisik terhadap bentuk-bentuk
organisasi sosial primitif dan modern, hubungan antara kelompok dan berbagai
fenomena kultural (kesenian, kerajinan, ilmu pengetahuan, solidaritas atau
kohesi sosial). Kemudian Auguste Comte, Frederich Hegel dan kajian induktif
secara monumental bermuara para Max Weber dalam studinya mengenai hubungan
agama dengan perkembangan ekonomi.
Perang dingin
teologi di kalangan Muslim terjadi dalam merespon implikasi perspektif.
Perspektif materialisme menempatkan agama hanya sebagai bagian dari ragam institusi
yang ada di dalam masyarakat dan berlokasi di ujung mata rantai ketika terjadi
perubahan sosial. Tesis yang menempatkan agama sebagai suprastruktur sama
dengan penonjolan sisi antroposentris difahami bahwa agama kemanfaatannya
selalu pada ukuran-ukuran kemanusiaan. Agama bagaimanapun selalu menampilkan dua
sisi tersebut. Pada masyarakat Islam, kita dapat memperlakukan al-Qur'an posisi
antroposentris ketika memandang al-Qur'an yang kehadirannya semata-mata sebagai
petunjuk manusia maka berpendapat tidak ada ayat yang begitu saja tersembunyi
tanpa dimaknai dalam konteks interaksi antar manusia. Walaupun perlu catatan khusus
perbedaan keberlawanan tesis ini pada komunitas Islam Sunni dan Islam Syi’ah.
Jauh lebih
mendasar gugatan terhadap sistem otoritas agama yang ditujukan terhadap
syarat-syarat menafsir kebenaran agama yang disusun ulama dalam ilmu syari’ah,
tafsir tauhid 10 abad yang lalu.
Meskipun gerakan
semacam JIL (Jaringan Islam Liberal) menarik diri dari upaya yang bersifat
advokatif secara langsung namun memberikan ruh emansipatoris yang kuat bagi
generasi baru oleh Kuntowijoyo di atas dikenalkan sebagai muslim yang tanpa
masjid. Generasi baru yang sekarang ini (atau sejak 1998) bermain pada gerakan
politik jalanan dari rentang ideologi gerakan yang paling kiri hingga ke ujung
kanan. Kuntowijoyo menggambarkan berikut, “Kita tidak boleh sakit hati dengan
penolakan mereka terhadap otoritas KUI, MUI, ormas-ormas dan tokoh-tokoh Islam lain
yang menganggapnya bukan muslim.
Ragam pemikiran agama
atau teologi hadir dalam kerangka merespon persoalan yang dirumuskan tersebut
di atas sebagai akibat dari gerak struktur sosial yang tak terkendali.
Pembaharuan pemikiran Islam dilakukan Cak Nur yang terintroduksi tahun 70-an,
menempatkan perspektif modernitas sebagai kenyataan sejarah. Umat Islam,
menurutnya harus meletakkan agama sebagai sebuah realitas tersendiri dari
wilayah negara yang kemudian terkenal dengan jargon “ Islam Yes, Politik No”.
Dr. Abudin Nata
menggali sebanyak 12 bentuk gerakan teologi di Indonesia. Kedua belas gerakan
teologi tersebut pada dasarnya mempunyai rujukan sejarah dalam Islam, walaupun
banyak diantaranya sangat sumin, yaitu Islam fundamentalis, Islam teologis-normatif,
Islam eksklusif, Islam rasional, Islam transformatif, Islam aktual, dan Islam
inklusif-pluralis. Tutur Comte perjalanan sejarah masyarakat harus berujung
pada sebuah agama generik, Comte menyebut agama humanisme. Giddeiis menambahkan
ujung sejarah sesungguhnya berada pada kompleksitas (dualitas yang antagonis)
tidak sesederhana yang digambarkan dalam hukum 3 tahap. Masyarakat era
positivistik sebagai tahapan akhir dari pengembangan masyarakat itu ternyata
mengandung kontradiksi-kontradiksi di dalamnya.
Kebangkrutan
universitas dan sekolah menjadi awal babak baru lahirnya ilmu sebagai otoritas
yang sesungguhnya. Term impersonal dalam masyarakat ke depan bukan harus
dipahami sebagai non personal dalam arti
organisasi , tetapi berada dalam abstraksi nilai yaitu ilmi.
Nasib agama,
yang juga sebuah abstraksi sebuah nilai dalam masyarakat impersonal akan sangat
bergantung pada eksistensi otoritas ilmu.
Merujuk teori
klasik, Emile D. melalui konseptualisasi masyarakat mekanik-masyarakat organik
misalnya, identitas primordial menjadi tidak penting atau cenderung
ditinggalkan dalam pergeseran mesyarakat mekanik nya masyarakat organik, untuk
identitas primordial menjadi sublim.
Comte secara
monumental meletakkan koseptualisasi ajaran perjalanan masyarakat, dan prediksi
runtuhnya peran agama di tahap akhir perkembangan organisasi sosial itu. Banyak
kalangan menilai pewacanaan Comte ini sebagai bukan teori. Comte membagi tiga
tahapan perkembangan peradaban masyarakat, dari teologik kemetafisik dan
berakhir pada positivistic. Meskipun konsep tualisasinya mengalami teoritikus
klasik, namun yang dianggap sebagai kelemahan adalah mengotomatiskan
perkembangan masyarakat dalam 3 (tiga) tahap secara disurit. Sehingga menemukan
kesulitan jika konseptualisasinya digunakan untuk memotret kondisi masyarakat
hari ini. Misalkan, relejiusitas atau bahkan aspek mistis ternyata juga hadir
bersama-sama praktek teknologi modern.
Islam asli
menurut Bassam Tibi ternyata hanya bermakna Arab jadi Arab Sentris. Masyarakat
Arab bahkan memandang Islam syi’ah sebagai agamanya orang Iran. Mukti Ali
ketika memberikan orasi pada konferensi filsafat tahun 1979 mengenai konsepsi
orang Indonesia tentang Islam ternyata menimbulkan polemik bagi kalangan
profesor al-Azhar, karena menurut mereka hanya ada satu Islam yang monolitik,
yaitu Islam Arab. Zuhaini Misrawi cendekiawan muda kelahiran Sumenep pernah mempolemikan
Islam dan budaya lokal. Maka penelusuran sejarah menjadi sangat lebih penting
untuk mendapatkan gambaran otentisitas agama Islam dibandingkang merujuk
langsung pada term-term normatif. Untuk kemudian membedakannya dengan budaya
atau kebiasaan sebuah komunitas. Cara kritis ini dianjurkan Peter L. Berger
dalam terminologi debugking, semacam motif mengikis kepalsuan yang inheren
dalam realitas sosial.
Dalam wacana
keagamaan sesungguhnya manusia hanya sampai pada dimensi historisitas agama
tidak pernah sampai pada normativitas agama.
0 comments:
Post a Comment