Dalam Islam,
arti nikah menurut bahasa Arab: berhimpunan atau wata’, menurut istilah syara’
adalah suatu akad yang memperbolehkan seorang pria dan wanita bergaul bebas
(wata’) dan dalam upacara akad nikah dipergunakan kata “nikah:, tazwij atau
terjemahannya.
Dari pengertian
tersebut perkawinan mengandung akibat hukum melangsungkan perkawinan adalah
saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan pergaulan yang
dilandasi tolong menolong.
Sedangkan untuk
pelaksanaannya sendiri dibutuhkan rukun-rukun nikah serta wali yang dapat
menikahkan untuk dapat mencapai sebuah pernikahan yang diinginkan (sah menurut
agama). Dan dibawah ini dalam pembahasan akan dibahas tentang rukun-rukun dan
ketentuan wali dalam pernikahan.
A.
Syarat Rukun Nikah
Dalam suatu
pernikahan, syarat rukun nikah memang harus ada, karena pernikahan tidak akan
terlaksana bila semua itu tidak ada. Sedangkan rukun nikah itu sendiri adalah
sebagai berikut: Calon suami, Calon istri, Wali, Dua orang saksi, Lafadh ijab
dan kabul
1.
Syarat-syarat calon suami
dan calon istri adalah sebagai berikut :
a.
Beragama Islam
Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum Islam, laki-laki dalam rumah
tangga merupakan pengayom, dan hukum istri mengikuti hukum suami. Dalam suatu
nash diharamkan wanita muslimah kawin dengan laki-laki yang tidak muslim.
Sebaliknya, laki-laki muslim diperkenankan kawin dengan wanita yang beragama
lain. Sebagaimana surat
al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Maidah ayat 5
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ
بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka….”
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ
لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu….”[1]
b.
Kedua mempelai itu memang jelas
halal untuk saling menikah
c.
Tidak dalam keadaan ihram haji
atau umrah
d.
Calon mempelai perempuan itu tidak
dalam masa iddah
e.
Calon suami tidak sedang mempunyai
istri empat
f.
Tidak dipaksa untuk melakukan
perkawinan.
2.
Wali (wali si
perempuan)
Sabda Nabi
اَيُّمَـاامْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ
إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Barang siapa diantara
perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal”. (Riwayat
empat orang ahli hadits kecuali Nasai).
لاَ
تُزّوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّ جُ الْمَرْأَةُ نَفْسُهَا
“Janganlah perempuan menikahkan
perempuan yang lain, dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya
sendiri” (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni)[2]
3.
Dua orang saksi
Syarat saksi
yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang, lelaki, muslim, baligh, berakal,
melihat dan mendengar serta mengerti (faham) akan maksud akad nikah.
Menurut Hanafi
dan Hambali, boleh juga saksi itu seorang lelaki dan dua orang perempuan. Dan
menurut Hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil).
Di dalam
perkawinan dibutuhkan dua orang saksi karena untuk kemaslahatan kedua belah
pihak dan masyarakat. Misalnya salah seorang mengingkari pernikahan, maka dapat
dielakkan oleh adanya dua orang saksi tersebut.
4.
Lafadh ijab dan kabul
Dalam pernikahan
wajib dilakukan dengan ijab dan kabul secara lisan. Inilah yang disebut akad
nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Tetapi bila orangnya bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Ijab dilakukan
oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakil-wakilnya. Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau
wakilnya.
Ijab kabul
dilakukan di dalam satu majlis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab
dan kabul yang merusak kesatuan dan kelangsungan akad dan dapat di dengar
dengan baik oleh kedua belah pihak. Pengucapan lafadh ataupun kalimah Allah
dalam perkawinan adalah bersandarkan ucapan Nabi Muhammad SAW.
إِتَّـقُوااللهَ
فيِ النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْ هُنَّ وَامْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ
اللهِ {رواه مسلم}
“Takutlah engkau sekalian kepada
Allah dalam hal orang-orang perempuan, sesungguhnya engkau sekalian mengambil
mereka dan membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah”. (HR.
Muslim)[3]
B.
Ketentuan Wali dalam
Pernikahan
1.
Wali mujbir
Syarat-syaratnya
adalah sebagai berikut:
a.
Tidak ada anasir permusuhan antara
anak dengan wali mujbir itu
b.
Menikah dengan laki-laki yang setuju
c.
Pernikahan itu dengan mahar mithil
d.
Diantara calon suami dan anak
gadis itu tidak ada suatu rasa permusuhan.
Wali yang boleh
(berhak) mengawinkan anak gadisnya tanpa izin si gadis disebut wali mujbir. Ini
dikarenakan terdapat adanya rasa kasih sayang yang penuh kepada anaknya. Namun
sunnah wali tersebut meminta izin kepada anak gadisnya supaya puas hatinya.
Tetapi wali mujbir atau lainnya tidak boleh menikahkan perempuan janda tanpa
izinnya.
Sedangkan
urutan-urutan wali adalah sebagai berikut :
a.
Bapak
b.
Kakek dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas
c.
Saudara laki-laki seibu-sebapak
d.
Saudara laki-laki sebapak
e.
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki seibu-sebapak
f.
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki sebapak dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah
g.
Paman kandung (saudara bapak)
h.
Anak laki-laki dari paman kandung
i.
Paman (saudara bapak yang
sebapak), kemudian putra-putranya dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah
j.
Saudara laki-laki dari kakek,
kemudian putra-putranya dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.[4]
Untuk anak laki-laki
tidak boleh menjadi wali nikah bagi ibunya karena tiada hubungan nasab antara
keduanya. Menurut asy-Syafi’i, wali mujbir adalah ayah dan ayah dari (kakek)
sedang golongan Hanafi berpendapat wali mujbir adalah berlaku bagi ashobah
seketurunan terhadap anak yang masih kecil, orang gila dan orang yang kurang
akalnya.
Sedangkan syarat
wali itu sendiri adalah adil, tidak bermaksiat, tidak fasik, ia orang
baik-baik, orang sholeh dan sebagainya. Gugurnya hak perwalian jika masih di
bawah umur, gila, budak, fasik, masih berada dalam pengawasan wali, kurang
normal penglihatan dan tutur katanya, beda agama.
2.
Wali gaib,
berhalangan atau ‘adhal
Apabila wali
yang lebih dekat (akrab) itu gaib (jauh) dari perempuan yang akan dinikahkan
dan dia tidak mempunyai wakil, maka boleh dinikahkan oleh hakim karena wali
yang gaib itu masih tetap wali, belum berpindah kepada wali yang lebih jauh
hubungannya. Ini menurut mazhab Syafi’i, sedangkan pendapat mazhab Abu Hanifah,
perempuan itu dinikahkan oleh wali yang lebih jauh hubungannya dari wali yang
gaib, menurut susunan wali-wali tersebut di atas. Alasan mazhab ini adalah :
a.
Karena wali yang telah jauh
hubungannya itu juga wali seperti yang dekat
b.
Hakim adalah wali bagi orang yang
tidak mempunyai wali, sedang dalam hal ini, wali selain yang gaib itu ada, maka
hakim belum berhak menjadi wali karena walinya masih ada.[5]
Apabila seorang
perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dengan seorang
laki-laki yang setingkat (se-kufu), dan walinya berkeberatab dengan tidak ada
alasan, maka hakim berhak menikahkannya setelah ternyata keduanya setingkat
(se-kufu).[6]
KONTEKSTUALISASI
Dalam Islam,
perkawinan itu diwajibkan bagi setiap orang, karena dalam al-Qur’an juga
dinyatakan bahwa hidup adalah berpasang-pasang, berjodoh-jodoh adalah naluri
segala makhluk Allah termasuk manusia.
وَمِن
كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala
sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah”
Pelaksanaan perkawinan itu merupakan pelaksanaan hukum dalam suatu agama
yang ditentukan unsur-unsurnya yang menurut istilah hukumnya disebut
rukun-rukun yang memerlukan syarat-syarat sahnya.
Seperti yang
telah disebutkan di atas dalam pembahasan bahwa syarat rukun nikah itu memang
harus dan wajib ada, karena apabila semua rukun itu tidak terpenuhi (tidak
lengkap) maka suatu pernikahan itu tidak akan sah pelaksanaannya.
Sedangkan untuk
ketentuan wali dalam nikah, yang berhak menikahkan adalah wali mujbir, yang
utama adalah ayah dan ayah dari ayah (kakek) baru kemudian kalau yang lebih
dekat itu tidak ada (gaib) atau berhalangan, baru kemudian perwalian itu
diserahkan kepada wali hakim, dengan syarat pernikahan yang dilakukan oleh
kedua mempelai itu setingkat (se-kufu).
[1]
Depag, Ilmu Fiqh II, Jakarta:
1985, hal. 50-54
[2]
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung
: Sinar Baru Algensindo, 2004, hlm. 383
[3]
Depag, op.cit., hlm. 98-99
[4]
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah
dan Negara-Negara Islam, Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1988, hlm. 75
[5] Sulaiman
Rasjid, op.cit., hlm. 388
[6] Ibid.,
hlm. 386
0 comments:
Post a Comment