Mitos, sekarang
merupakan cerita atau dongeng yang aneh-aneh, yang tidak masuk di akal,
lebih-lebih kalau menurut pandangan orang-orang terpelajar, mitos merupakan
suatu hal yang tiada berarti. Namun bagi orang yang mempunyai pandangan hidup
mistis, primitif mitos mempunyai peranan yang penting, yang bisa memberi arah
kehidupan.
Masalahnya,
orang yang dikatakan terpelajar yang mengabarkan mitos itu memang hanya
sedikit, sebaliknya manusia modern sekarang inipun masih banyak sekali yang
berpandangan mistis. Oleh sebab itu, mitos memang masih banyak pengaruhnya
terhadap manusia modern, sekarang ini. Seberapa banyak manusia modern yang
mencari ketenangan dengan nepi di tempat yang dianggap keramat. Seberapa
banyak yang mencari ketenangan dengan ruwatan dan sebagainya. Tingkah
laku nepi, ruwatan, memberi saji-sajian terhadap batu perempatan dan sebagainya
itu pada dasarnya karena terpengaruh oleh keampuhan mitos-mitos.
1.
Apa Mitos Itu?
Menurut Kamus,
mitos atau mijth adalah person, thing, etc, that is imaginary, fictitious
or inverted, artinya: seseorang, sesuatu dan sebagainya yang hanya dalam
hayalan, diangan-angankan, direka-rekakan.[1]
Menurut C.A Van Peursen, mitos berarti sebuah cerita yang memberikan
pedoman dan arah tertentu, kepada sekelompok orang.[2]
Sedangkan menurut Dr. Harun Hadiwijono, mitos adalah kejadian-kejadian pada
masa sekarang, dan yang menentukan nasib di hari depan.[3]
Dari beberapa kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa mitos itu merupakan
suatu cerita hasil hayalan manusia, yang karena dipercayai kebenarannya, akan
menuntun / memberi kehidupan bagi pendukungnya.
2.
Fungsi Mitos
Adapun fungsi
mitos adalah sebagai berikut :[4]
a.
Menyadarkan manusia bahwa di dunia
ini ada kekuatan-kekuatan ajaib/gaib. Membantu manusia agar dia dapat
menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan mengatasi
kehidupan sukunya.
b.
Memberi jaminan pada masa kini.
Misalnya para petani jika telah datang musim semi, maka mereka mulai menggarap
ladangnya. Karena pada zaman dahulu para dewa juga memulai menggarap sawahnya
dan memperoleh hasil yang melimpah-limpah.
c.
Berfungsi sebagai pengantara,
antara manusia dan daya-daya kekuatan alam.
3.
Macam Mitos
Adapun beberapa macam mitos sebagai berikut :[5]
a.
Mitos penciptaan, yakni
mitos yang menceritakan penciptaan alam semesta yang sebelumnya sama sekali
tidak ada, mitos jenis ini melukiskan penciptaan dunia lewat pemikiran, sabda,
atau usaha (panas) dari seorang dewa pencipta. Mitos ini bermaksud
mengungkapkan bahwa dunia ini langsung berasal dari dewa pencipta tersebut,
tanpa pertolongan siapapun di luar dirinya atau bahan apapun yang sebelumnya
sudah ada.
b.
Mitos kosmogonik, yakni
mitos yang mengisahkan penciptaan alam semesta, hanya saja penciptaan tersebut
menggunakan sarana yang sudah ada, atau dengan perantara.
c.
Mitos-mitos asal-usul yang
mengisahkan asal mula atau awal dari segala sesuatu, seekor binatang, suatu
jenis tumbuhan, sebuah lembaga dan sebagainya. Mitos asal-usul tersebut
mengakui keberadaan dunia, tetapi hanya berkisah tentang kemunculan baru dari
benda-benda tertentu di dunia.
d.
Mitos-mitos mengenai para dewa dan
para makhluk adi kodrati.
e.
Mitos-mitos yang berkaitan dengan
kisah terjadinya manusia (mitos antropogenik).
4.
Realitas Mitos
Realitas mitos
diterangkan secara berbeda oleh banyak pengarang, tergantung dari segi khusus
yang digunakan dalam studi mereka mengenai mitos. Antropolog sosial seperti
Malinowsky berpendapat bahwa mitos, sebagaimana ada dalam suatu masyarakat
primitif, bukanlah semata-mata cerita yang dikisahkan, tetapi juga merupakan
kenyataan yang dihayati. Mitos merupakan daya aktif di dalam kehidupan
masyarakat primitif. Dengan “realitas” Malinowsky memaksudkan bahwa mitos
menjadi penghubung dari institusi-institusi sosial yang ada.[6]
Bagi psikolog Gustav Carl Jung, masyarakat primitif tidaklah mereka-reka
mitos melainkan menghayatinya; mitos bisa berupa apa saja kecuali simbol-simbol
proses alam. Mitos mempunyai makna yang vital, tidak saja berarti bahwa mitos
bukan hanya menyajikan kembali kehidupan mental melainkan merupakan mental
masyarakat primitif itu sendiri, yang merosot nilainya dan menuju kehancuran
jika warisan mitologinya hilang.
Bagi Jung, mitos bukanlah penunjuk untuk atau perjanjian dalam institusi
sosial atau kultural, melainkan kenyataan psikologis, ungkapan dari arketipe
atau gambaran primordial mengenai kesadaran kolektif. Mitos-mitos itu nyata,
sejauh mereka menghadirkan kembali pola-pola yang diwariskan pada setiap
manusia. Pola-pola tersebut menerima isi pikiran tertentu dari kebudayaan
tertentu pula. Mitos memberi warna lokal bagi pola-pola dan kenyataan dalam
manifestasi mereka pada tingkat kesadaran.
Bagi ahli sejarah agama Mircea Eliade, mitos selalu merupakan penampilan
penciptaan; mitos menceritakan bagaimana segala sesuatu dijadikan, melalui
adanya. Karenanya mitos sebagai kenyataan; yakni apa yang sesungguhnya terjadi.
Eliade mengartikan “realitas” mitos sebagai kenyataan yang suci, kesucian
sebagai satu-satunya kenyataan tertinggi; kesucian menghadirkan dirinya sebagai
sesuatu yang sama sekali berbeda dari kenyataan biasa, kenyataan yang
sesungguhnya, penuh dengan adanya, dipenuhi dengan kekuatan. Mitos merupakan
sejarah suci. Karena itu, menceritakan mitos berarti menyingkap sebuah misteri.
Sejauh menceritakan gesta (tindakan) para dewa dan para makhluk adi kodrati,
mitos menjadi misteri dan sejarah suci. Dunia disingkapkan di dalam mitos, dan
oleh dia adalah mitos maka tidak dapatlah kita memasukinya.[7]
Kesimpulan
Mitos adalah
merupakan suatu cerita hasil hayalan manusia, yang karena dipercayai
kebenarannya, akan menuntun/memberi arah kehidupan bagi pendukungnya.
Adapun fungsi mitos adalah a) menyadarkan manusia bahwa di dunia ini ada
kekuatan-kekuatan gaib; b) memberi jaminan pada masa kini; c) sebagai perantara
manusia dan kekuatan alam.
Macam-macam mitos yakni a) mitos penciptaan; b) mitos kosmogonik; c)
mitos asal-usul; d) mitos mengenai dewa dan para makhluk adi kodrati; e) mitos
yang berkaitan dengan kisah terjadinya manusia (mitos antropogenik).
[1] Majalah
Walisongo, edisi 16, LP3M IAIN Walisongo Semarang, 2000, hal. 13
[2] Proyek
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama / IAIN Jakarta, Perbandingan Agama I,
Djambatan, Jakarta,
1983, hal. 173
[3] Departemen
Agama RI., Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1990, hal. 338
[4] Mariasusal
Dhavamony, Fenomenology Agama, Kanisius, Yogyakarta,
1995, hal. 150-152
[5] Ibid.,
hal. 154-162
[6] Ibid.,
hlm. 152
[7] Ibid.,
hal. 152
0 comments:
Post a Comment