Thursday 27 November 2014

KLASIFIKASI LAFADZ DARI SISI KEJELASAN MAKNA DAN PROBLEMATIKA PENTAKWILAN MAKNA



Al-Qur’an adalah syari’at Islam yang bersifat menyeluruh, ia merupakan sumber dan rujukan yang pertama bagi syari’at, karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat global beserta rinciannya.
Sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT dengan lafadz dan sekaligus maknanya, ia diturunkan dengan memakai bahasa Arab. Meskipun sebagian kecil kata-katanya tidak berasal dari bahasa Arab, tapi sudah dimasukkan dalam bahasa Arab. Karena setiap bahasa dipengaruhi oleh bahasa yang lain, dan setiap kata dijelaskan oleh sesuatu yang dilihat, dirasakan dam diketahui.
Karena itu ulama ushul fiqh telah berupaya dengan mengikuti lebih dalam tentang lafadz yang ada di dalam al-Qur’an dengan meneliti klasifikasi lafadz dan berbagai problematika pentakwilan makna. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan secara gamblang tentang klasifikasi lafadz dari segi kejelasan makna dan problematika pentakwilan makna.

PEMBAHASAN
Al-Qur’an adalah lafadz dan makna, ia merupakan kitab suci yang berbahasa Arab, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi :[1]
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. (Yusuf: 2)
Oleh karena itu, penterjemahan terhadap sebagian makna-makna al-Qur’an kepada bahasa selain Arab tidak bisa disebut al-Qur’an. Sebagian pengarang mengatakan, bahwa Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa penterjemahan sebagian ayat-ayat suci al-Qur’an ke dalam bahasa selain Arab dapat di sebut al-Qur’an, karena dia memperbolehkan membaca terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Persi sewaktu mengerjakan shalat. Meskipun bagi orang yang mampu berbahasa Arab, akan tetapi mayoritas ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa pendapat imam Hanafi di atas adalah rukhshoh bagi orang yang tidak mampu mengucapkan bahasa Arab meskipun ia memahaminya.[2]
Al-Qur’an jika di tinjau dari eksistensinya sebagai Kalam (firman) yang baligh (sangat indah), maka terjemahannya mustahil dapat disebut sebagai al-Qur’an, sebagaimana yang diungkapkan Imam Abu Qutaibah pada abad III H dan diikuti oleh Imam asy-Syatibi, tentang makna-makna al-Qur’an yang bersifat global dapat diterjemahkan, akan tetapi makna-makna yang baligh yang terdapat dalam majaz isti’arah, isyarat bayariyah dan sebagainya, tentu tidak mungkin dapat diterjemahkan dari bahasa Arab kepada bahasa yang lain.[3]
A.    Lafadz Dilihat dari Segi Terang dan Kandungan Makna
1.      Ta’rif
Yang disebut dzhohirud dalalah ialah suatu lafadz yang menunjuk kepada makna yang dikehendaki oleh sighat (bentuk) lafadz itu sendiri. Artinya untuk memahami makna dari lafadz tersebut tidak tergantung kepada suatu hal dari luar.
Zhahirud dalalah itu ada 4 tingkat:[4]
Zhahir yang dimaksud dengan zhahir ialah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki oleh sighat lafadz itu sendiri.
Tetapi bukanlah makna itu yang dimaksud oleh syaqul kalam dan lafadz itu sendiri masih dapat di takwilkan di tafsiran dan dapat pula di nasakhkan pada masa Rasulullah SAW, misalnya firman Tuhan :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (An-Nisa’ 3)
Adalah lafadz zhahir, sebab makna yang dikehendaki dan segera dapat dipahamkan dari lafadz “fankihu ma thaaba lakum minan nisa’i” ialah halalnya mengawini wanita-wanita yang disenangi, akan tetapi kalau kita perhatikan siyaqul kalam (rangkaian pembicaraan) maka bukan itu yang dimaksud. Maksud yang sebenarnya dari ungkapan itu ialah membatasi jumlah wanita yang boleh di kawini yaitu 4 orang sekali pegang.
Hukum lafadz zhahir[5]
Lafadz zhahir itu wajib diamalkan sesuai dengan makna yang dikehendakinya, selama tidak ada dalil yang menafsirkan, menta’wilkan atau menasakhkannya.
Oleh karenanya apabila lafadz zhahir itu :
a)      Dalam keadaan mutlaq, maka tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang mentaqyidkannya (membatasi kemutlakannya).
b)      Dalam keadaan umum maka ia tetap dalam keumumannya, selama tidak ada dalil yang mentakhsiskannya. Jika ada dalil yang mentakhsiskannya, hendaklah diamalkan sesuai dengan mukhashshisnya.
c)      Mempunyai arti haqiqat, hendaklah diartikan menurut arti yang haqiqi itu, selama tidak ada qorinah yang memaksa untuk dialihkan kepada artinya yang majazi.
d)     Pada masa pembinaan hukum syariat yaitu pada zaman Rasulullah SAW lafadz dhahir itu dapat dinasakh dalalahnya. Artinya hukum yang dipetik dari lafadz dhahir dapat diganti dengan hukum yang berlawanan, apabila hukum tersebut berkaitan dengan hukum furu’ (cabang) yang dapat berubah menurut kemaslahatan.
2.      Nash
Lafadz nash ialah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki baik oleh lafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam dan ia masih dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan di naskah dimasa Rasulullah SAW, misalnya firman Tuhan.[6]
مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. (an-Nisa’: 12)
Lafadz “washiyatin” dan “dainin” dalam ayat tersebut adalah lafadz nash. Sebab makna yang dikehendaki oleh sighat lafadz dan oleh siyaqul kalam adalah sama benar, yaitu keharusan mendahulukan wasiat dan pembayaran hutang dari pada membagikan harta pusaka kepada para ahli waris.
Dan firman-Nya lagi
الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
Makna yang dikehendaki baik oleh lafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam secara asli ialah perihal batasan seorang laki-laki dalam mengawini wanita hanya sampai empat orang saja.
Hukum lafadz nash[7]
a.       Ketentuan lafadz nash itu sama dengan ketentuan hukum lafadz zhahir. Yakni wajib di amalkan menurut madlulnya (dalam hal ini mana yang dikehendaki oleh siyaqul kalam). Selama tidak ada dalil yang mentakwilkan, menafsirkan atau menasakhnya.
Berdasarkan ketentuan yang prinsip itu apabila lafadz nash tersebut:
1)      Dalam keadaan mutlaq, ia tetap dalam kemutlakannya. Selama tidak ada dalil yang mentaqyidkannya. Jika ada dalil yang mentaqyidkannya maka lafadz yang muqayyadhah yang diamalkannya. Sebagai contoh lafazh nash mutlaq seperti firman Allah :
مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. (an-Nisa’: 12)
Wasiat yang harus didahulukan pelaksanaannya adalah mutlak, tidak dibatasi berapa besarnya. Kemudian kemutlakannya dibatasi tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan oleh sabda Rasulullah SAW.
2)      Bersifat ‘amm. Maka ia tetap dalam arti keumumannya, selama tidak ada dalil yang mentakhsiskannya. Jika ada dalil yang mentakhsiskannya hendaklah diamalkan mukhashshishnya.
Contoh lafadz nash amm yang ditakhshiskan seperti firman Tuhan:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (suci)” (al-Baqarah : 228)
b.      Lafadz nash itu baik diciptakan untuk pengertian umum maupun khusus, harus tetap diartikan menurut maknanya yang haqiqi, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa makna yang dikehendaki oleh lafadz itu adalah makna yang majazi.
Persamaan dan perbedaan antara ta’wil dengan tafsir.[8]
Antara ta’wil dan tafsir terdapat persamaan dan perbedaan, sebagai berikut:
Bahwa masing-masing dari ta’wil dan tafsir adalah sebagai jalan untuk menjelaskan suatu maksud dari nash. Lafadz-lafadz yang dapat dita’wilkan dan ditafsirkan dari tingkatan lafadz zhahirud dalalah ialah lafadz zhahir dan lafadz nash, sedang dari tingkatan lafadz khafiyud dalalah ialah lafadz mujmal, musykil dan khafi
Adapun perbedaan antara ta’wil dan tafsir ialah bahwa ta’wil itu menjelaskan maksud suatu nash dengan dalil dzanni lewat ijtihad para ulama. Oleh karena itu dalalah maksudnya belum positif. Boleh jadi yang dimaksud makna yang itu atau makna yang lain. Sedang tafsir adalah menjelaskan makdus suatu nash dengan dalil qath’i oleh syari’ sendiri.
3.      Mufassar
Mufassar ialah lafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh shighat lafadz itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi ia tidak dapat dita’wilkan dan ditafsirkan selain oleh syari’. Contoh:
فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً
Maka deralah mereka delapan puluh kali
Macam-macam mufassar.[9]
a.       Mufassar bidzatih yaitu kejelasan makna yang dikehendaki oleh shighat lafadz dan siyaqul kalam tanpa memerlukan penjelasan dari luar lafadz itu
b.      Mufassar bighairih yaitu kejelasan maknanya di karenakan adanya penjelasan dari nash qath’i yang lain di luar lafadz itu.
Hukum lafadz mufassar
Lafadz mufassar itu wajib diamalkan sesuai dengan dalalahnya yang ditunjuk oleh lafadz itu sendiri atau sesuai dengan penjelasan dari syari’ kecuali ada dalil yang sharih yang menasakhkannya.
4.      Muhkam
Lafadz muhkam ialah lafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh sighat lafadz itu dan siyaqul kalam. Akan tetapi ia tidak dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan di naskah pada saat Rasulullah SAW masih hidup. Dengan demikian lafadz muhkam itu adalah lafadz mufassar yang tidak dapat dinasakh.
Macam-macam lafadz muhkam
Lafadz muhkam itu ada dua macam
-          Muhkam lidzatih yaitu lafadz muhkam yang tidak dapat dinasakh maknanya
-          Muhkam lighairihi yaitu lafadz muhkam yang menurut dzatnya dapat menerima nasakh, akan tetapi lafadz itu dinukil oleh suatu lafadz lain yang menunjuk kepada kelestariannya.
Hukum lafadz muhkam[10]
Lafadz muhkam wajib diamalkan secara qath’i karena makna lafadz muhkam itu tidak dapat dita’wilkan kepada arti lain di luar lafadznya dan tidak dapat pula di nasakh baik pada zaman Rasulullah SAW maupun sesudahnya.
B.     Khafiyud Dalalah
1.      Ta’rif
Yang dimaksud dengan khafiyud dalalah ialah lafadz yang penunjukannya kepada makna yang dikehendaki bukan oleh shighat itu sendiri, akan tetapi karena tergantung kepada sesuatu dari luar lantaran adanya kekaburan pengertian pada lafadznya.
Kekaburan pengertian itu dapat dihilangkan dengan jalan mengadakan penelitian dan ijtihad lafadz yang dapat dihilangkan kekaburannya, dengan jalan ini disebut lafadz khafi dan musykil. Sedang lafadz yang tidak dapat dihilangkan kekaburannya melainkan dengan jalan mencari penafsirannya dari syar’i sendiri disebut lafadz mujmal. Dan apabila tidak ada jalan lain untuk menghilangkan kekaburannya disebut lafadz mutasyabih.
2.      Tingkatan lafadz mutasyabih
Para ahli ushul mengklasifikasikan tingkatan lafadz khafiyud dalalah kepada 4 macam.[11]
a.       Khafi
Lafadz khafi ialah lafadz yang penunjukkannya kepada maknanya adalah jelas, akan tetapi penerapan maknanya kepada sebagian satuannya terdapat kekaburan yang bukan disebabkan oleh lafadz itu sendiri.
b.      Musykil
Ialah lafadz yang shighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki. Akan tetapi, harus ada qorinah dari luar agar menjadi jelas apa yang dikehendakinya.
Perbedaan antara lafadz khafi dan musykil ialah bahwa pada lafadz khafi kekaburan maknanya bukan disebabkan adanya keraguan makna atas sebagian satuannya karena sesuatu dari luar.
Cara-cara untuk menghilangkan kemusykilan suatu lafadz ialah dengan jalan berijtihad.
c.       Mujmal
Mujmal ialah lafadz yang shighatnya sendiri tidak menunjukkan makna yang dikehendaki dan tidak pula didapati qarnah lafdziyah (tulisan) atau keadaan yang menjelaskannya.
Kekaburan makna lafadz mujmal lantaran perkataan lafadz sendiri, bukan dari luar, disebabkan ada kaitannya karena :
1)      Lafadz itu mustarak yang sulit ditentukan aibnya
2)      Makna lafadz-lafadz yang menurut makna lughawi (bahasa) itu dipindah oleh syari’ kepada makna yang pantas untuk istilah syari’at.
d.      Mutasyabih
Mutasyabih ialah lafadz yang shighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendakinya dan tidak didapati pula qarinah-qarinah dari luar yang menjelaskannya. Misalnya huruf-hurus hijaiyah yang dipergunakan sebagai pembukaan dalam beberapa surat al-Qur’an (mafati hussuwar) seperti Alif Lam Mim. Dan ayat-ayat yang menurut lahirnya menetapkan bahwa Allah itu serupa dengan makhluk. Misalnya mempunyai tangan. Seperti firman Allah:[12]
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Tangan Allah di atas tangan mereka (al-Fath : 10)
Menanggapi ayat mutasyabih semacam itu para ulama ahli kalam terbagi kepada dua golongan
1)        Golongan salaf (terdahulu) mengi’tiqadkan bahwa Tuhan adalah suci dari sifat-sifat yang tidak patut baginya. Oleh karena itu, mereka menyerahkan bulat-bulat pena’wilan ayat mutasyabihat kepada Allah
2)        Golongan Khalaf (terkemudian) mentakwilkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan pemakaian bahasa.
Atas dasar itulah lafadz “jadun” dalam ayat tersebut di atas dita’wilkan dengan qoidah (kekuasaan) lafadz a’yunina dalam surat Hud : 37 harus di ta’wilkan dengan bihi ajelani.[13]

KESIMPULAN
Jadi jelaslah bahwa dalam menanggapi teks-teks yang ada di dalam qur’an menggunakan beberapa lafadh di antaranya adalah lafadz dhahir .setiap nash yang jelas  dalalahnya harus di perlakukan sesuai dengan kejelasan dalalahnya yang di tunjukannya .nash yang mengandung takwil tidal boleh di takwil kecuali karna adanya dalil kemudian dasar perbedaan antara yang jelas dalalahnya dan yang tidak jelas dalalahnya adalah maknanya yang di maksud dalalah nash itu sendiri melalui cara memperhatikan faktor luar atau tidak.



[1] Prof. Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (terjemahan), Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 118
[2] Ibid., hlm. 121
[3] Ibid., hlm. 124
[4] Prof. Dr. Mukhtar Yahya, dan Prof. Drs. Fatchur Rohim, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Bandung : PT. al-Ma’arif, 1986, hlm. 268
[5] Ibid., hlm. 269
[6] Ibid., hlm. 271
[7] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : PT. Gema Risalah Press, 1996, hlm. 165
[8] Prof. Dr. Mukhtar Yahya, dan Prof. Drs. Fatchur Rohim, op.cit., hlm. 276
[9] Ibid hal 277
[10] Ibid., hlm. 281
[11] Prof. Muhammad Abu Zahra, op.cit., hlm. 121
[12] Prof. Dr. Mukhtar Yahya, dan Prof. Drs. Fatchur Rohman, op.cit., hlm. 293
[13] Ushul at-Tasri il Islami, Ali Hasballah, hlm. 261 jo. Ilmu Ushul Fiqh, Abdul Wahab Kholaf, hlm. 176
Share:

0 comments:

Post a Comment

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.