Saturday 6 December 2014

SYARAT RUKUN NIKAH DAN KETENTUAN WALI DALAM PERNIKAHAN


Dalam Islam, arti nikah menurut bahasa Arab: berhimpunan atau wata’, menurut istilah syara’ adalah suatu akad yang memperbolehkan seorang pria dan wanita bergaul bebas (wata’) dan dalam upacara akad nikah dipergunakan kata “nikah:, tazwij atau terjemahannya.
Dari pengertian tersebut perkawinan mengandung akibat hukum melangsungkan perkawinan adalah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong menolong.
Sedangkan untuk pelaksanaannya sendiri dibutuhkan rukun-rukun nikah serta wali yang dapat menikahkan untuk dapat mencapai sebuah pernikahan yang diinginkan (sah menurut agama). Dan dibawah ini dalam pembahasan akan dibahas tentang rukun-rukun dan ketentuan wali dalam pernikahan.

A.    Syarat Rukun Nikah
Dalam suatu pernikahan, syarat rukun nikah memang harus ada, karena pernikahan tidak akan terlaksana bila semua itu tidak ada. Sedangkan rukun nikah itu sendiri adalah sebagai berikut: Calon suami, Calon istri, Wali, Dua orang saksi, Lafadh ijab dan kabul
1.      Syarat-syarat calon suami dan calon istri adalah sebagai berikut :
a.       Beragama Islam
Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum Islam, laki-laki dalam rumah tangga merupakan pengayom, dan hukum istri mengikuti hukum suami. Dalam suatu nash diharamkan wanita muslimah kawin dengan laki-laki yang tidak muslim. Sebaliknya, laki-laki muslim diperkenankan kawin dengan wanita yang beragama lain. Sebagaimana surat al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Maidah ayat 5
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka….”
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu….”[1]
b.      Kedua mempelai itu memang jelas halal untuk saling menikah
c.       Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah
d.      Calon mempelai perempuan itu tidak dalam masa iddah
e.       Calon suami tidak sedang mempunyai istri empat
f.       Tidak dipaksa untuk melakukan perkawinan.
2.      Wali (wali si perempuan)
Sabda Nabi
اَيُّمَـاامْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Barang siapa diantara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal”. (Riwayat empat orang ahli hadits kecuali Nasai).
لاَ تُزّوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّ جُ الْمَرْأَةُ نَفْسُهَا
“Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni)[2]
3.      Dua orang saksi
Syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang, lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (faham) akan maksud akad nikah.
Menurut Hanafi dan Hambali, boleh juga saksi itu seorang lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut Hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil).
Di dalam perkawinan dibutuhkan dua orang saksi karena untuk kemaslahatan kedua belah pihak dan masyarakat. Misalnya salah seorang mengingkari pernikahan, maka dapat dielakkan oleh adanya dua orang saksi tersebut.
4.      Lafadh ijab dan kabul
Dalam pernikahan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul secara lisan. Inilah yang disebut akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Tetapi bila orangnya bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakil-wakilnya. Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
Ijab kabul dilakukan di dalam satu majlis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan kabul yang merusak kesatuan dan kelangsungan akad dan dapat di dengar dengan baik oleh kedua belah pihak. Pengucapan lafadh ataupun kalimah Allah dalam perkawinan adalah bersandarkan ucapan Nabi Muhammad SAW.
إِتَّـقُوااللهَ فيِ النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْ هُنَّ وَامْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ {رواه مسلم}
“Takutlah engkau sekalian kepada Allah dalam hal orang-orang perempuan, sesungguhnya engkau sekalian mengambil mereka dan membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah”. (HR. Muslim)[3]

B.     Ketentuan Wali dalam Pernikahan
1.      Wali mujbir
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
a.       Tidak ada anasir permusuhan antara anak dengan wali mujbir itu
b.      Menikah dengan laki-laki yang setuju
c.       Pernikahan itu dengan mahar mithil
d.      Diantara calon suami dan anak gadis itu tidak ada suatu rasa permusuhan.
Wali yang boleh (berhak) mengawinkan anak gadisnya tanpa izin si gadis disebut wali mujbir. Ini dikarenakan terdapat adanya rasa kasih sayang yang penuh kepada anaknya. Namun sunnah wali tersebut meminta izin kepada anak gadisnya supaya puas hatinya. Tetapi wali mujbir atau lainnya tidak boleh menikahkan perempuan janda tanpa izinnya.
Sedangkan urutan-urutan wali adalah sebagai berikut :
a.       Bapak
b.      Kakek dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
c.       Saudara laki-laki seibu-sebapak
d.      Saudara laki-laki sebapak
e.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu-sebapak
f.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah
g.      Paman kandung (saudara bapak)
h.      Anak laki-laki dari paman kandung
i.        Paman (saudara bapak yang sebapak), kemudian putra-putranya dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah
j.        Saudara laki-laki dari kakek, kemudian putra-putranya dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.[4]
Untuk anak laki-laki tidak boleh menjadi wali nikah bagi ibunya karena tiada hubungan nasab antara keduanya. Menurut asy-Syafi’i, wali mujbir adalah ayah dan ayah dari (kakek) sedang golongan Hanafi berpendapat wali mujbir adalah berlaku bagi ashobah seketurunan terhadap anak yang masih kecil, orang gila dan orang yang kurang akalnya.
Sedangkan syarat wali itu sendiri adalah adil, tidak bermaksiat, tidak fasik, ia orang baik-baik, orang sholeh dan sebagainya. Gugurnya hak perwalian jika masih di bawah umur, gila, budak, fasik, masih berada dalam pengawasan wali, kurang normal penglihatan dan tutur katanya, beda agama.
2.      Wali gaib, berhalangan atau ‘adhal
Apabila wali yang lebih dekat (akrab) itu gaib (jauh) dari perempuan yang akan dinikahkan dan dia tidak mempunyai wakil, maka boleh dinikahkan oleh hakim karena wali yang gaib itu masih tetap wali, belum berpindah kepada wali yang lebih jauh hubungannya. Ini menurut mazhab Syafi’i, sedangkan pendapat mazhab Abu Hanifah, perempuan itu dinikahkan oleh wali yang lebih jauh hubungannya dari wali yang gaib, menurut susunan wali-wali tersebut di atas. Alasan mazhab ini adalah :
a.       Karena wali yang telah jauh hubungannya itu juga wali seperti yang dekat
b.      Hakim adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali, sedang dalam hal ini, wali selain yang gaib itu ada, maka hakim belum berhak menjadi wali karena walinya masih ada.[5]
Apabila seorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang setingkat (se-kufu), dan walinya berkeberatab dengan tidak ada alasan, maka hakim berhak menikahkannya setelah ternyata keduanya setingkat (se-kufu).[6]

KONTEKSTUALISASI
Dalam Islam, perkawinan itu diwajibkan bagi setiap orang, karena dalam al-Qur’an juga dinyatakan bahwa hidup adalah berpasang-pasang, berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah termasuk manusia.
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”
Pelaksanaan perkawinan itu merupakan pelaksanaan hukum dalam suatu agama yang ditentukan unsur-unsurnya yang menurut istilah hukumnya disebut rukun-rukun yang memerlukan syarat-syarat sahnya.
Seperti yang telah disebutkan di atas dalam pembahasan bahwa syarat rukun nikah itu memang harus dan wajib ada, karena apabila semua rukun itu tidak terpenuhi (tidak lengkap) maka suatu pernikahan itu tidak akan sah pelaksanaannya.
Sedangkan untuk ketentuan wali dalam nikah, yang berhak menikahkan adalah wali mujbir, yang utama adalah ayah dan ayah dari ayah (kakek) baru kemudian kalau yang lebih dekat itu tidak ada (gaib) atau berhalangan, baru kemudian perwalian itu diserahkan kepada wali hakim, dengan syarat pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai itu setingkat (se-kufu).


[1] Depag, Ilmu Fiqh II, Jakarta: 1985, hal. 50-54
[2] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2004, hlm. 383
[3] Depag, op.cit., hlm. 98-99
[4] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988, hlm. 75
[5] Sulaiman Rasjid, op.cit., hlm. 388
[6] Ibid., hlm. 386
Share:

0 comments:

Post a Comment

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.