Thursday 11 December 2014

AGAMA: PERUBAHAN SOSIAL DAN SUBLIMASI IDENTITAS


Hubungan agama dengan negara; hubungan Islam dengan demokrasi; Islamisasi ilmu atau hindunisasi ilmu; ekonomi Islam; kebangunan Islam; fundamentalisme agama dan perubahan pemikiran bisa jadi merupakan daftar asesoris dari grand wacana hubungan panjang dan (mungkin) tidak pernah selesai antara agama dengan perubahan sosial.
Agama melalui instrumen teologinya harus mengejar “kebaruan” pola interaksi sosial. Kapitalisme yang dulu dilahirkan oleh semangat agama, tapi kapitalisme yang dulu dilahirkan oleh semangat agama, tapi kapitalisme yang jaya hari ini tidak lagi memerlukan dukungan agama. Hubungan antara agama dengan perubahan sosial yaitu: pertama, pendapat yang menempatkan agama (harusnya) berubah mengikuti arus kondisi interaksi manusia. Kedua, lebih dipicu oleh kegelisahan terhadap perkembangan. Kondisi interaksi manusia hari ini yang semakin membangun jarak terhadap kontrol agama, kondisi hari inilah yang harus berubah menyesuaikan teks-teks agama. Pendapat pertama tersebut menempatkan agama sebagai suprastruktur sosial, agama bukanlah sebuah entitas otonom yang vakum dari interaksi sosial diluarnya. Bahkan entitas berubah mengikuti pergeseran struktur ekonomi dan struktur budaya.
Karen Armstrong bahkan menggunakan term Tuhan. A History of God dalam menggambarkan betapa agama terus berubah berdialektika dengan alam dan struktur sosialnya. Tuhan berevolusi.
Sebuah buku terbitan Cross cultural publication tahun 1994 yang diedit George B. Grose dan Benjamin J. Hubbart, The Abraham Connection : A Jew, Cristian and Muslim in Dialogue, diterjemahkan ke Indonesia tiga Agama satu Tuhan oleh penerbit Mizan, tahun 1998 persis memperkuat tesis Karen Armstrong dalam cara penuturan yang jauh berbeda. Buku ini disambut biasa saja oleh pengamat perilaku ke-agama-an atau para agamawan.
Tesis yang dikembangkan Karen Armstrong tersebut mensejajarkan agama dengan ide, filsafat, seni, hukum dan ideologi berada pada posisi superstruktur dari infrastruktur material. Secara substantif tesis ini bukan baru, bahkan jauh melampaui masa kelahiran Karl Marx (1818), tesis itu diintrodusir ilmuwan Muslim kelahiran Tunisia, Ibn Khaldun. Khaldun meneliti pengaruh lingkungan fisik terhadap bentuk-bentuk organisasi sosial primitif dan modern, hubungan antara kelompok dan berbagai fenomena kultural (kesenian, kerajinan, ilmu pengetahuan, solidaritas atau kohesi sosial). Kemudian Auguste Comte, Frederich Hegel dan kajian induktif secara monumental bermuara para Max Weber dalam studinya mengenai hubungan agama dengan perkembangan ekonomi.
Perang dingin teologi di kalangan Muslim terjadi dalam merespon implikasi perspektif. Perspektif materialisme menempatkan agama hanya sebagai bagian dari ragam institusi yang ada di dalam masyarakat dan berlokasi di ujung mata rantai ketika terjadi perubahan sosial. Tesis yang menempatkan agama sebagai suprastruktur sama dengan penonjolan sisi antroposentris difahami bahwa agama kemanfaatannya selalu pada ukuran-ukuran kemanusiaan. Agama bagaimanapun selalu menampilkan dua sisi tersebut. Pada masyarakat Islam, kita dapat memperlakukan al-Qur'an posisi antroposentris ketika memandang al-Qur'an yang kehadirannya semata-mata sebagai petunjuk manusia maka berpendapat tidak ada ayat yang begitu saja tersembunyi tanpa dimaknai dalam konteks interaksi antar manusia. Walaupun perlu catatan khusus perbedaan keberlawanan tesis ini pada komunitas Islam Sunni dan Islam Syi’ah.
Jauh lebih mendasar gugatan terhadap sistem otoritas agama yang ditujukan terhadap syarat-syarat menafsir kebenaran agama yang disusun ulama dalam ilmu syari’ah, tafsir tauhid 10 abad yang lalu.
Meskipun gerakan semacam JIL (Jaringan Islam Liberal) menarik diri dari upaya yang bersifat advokatif secara langsung namun memberikan ruh emansipatoris yang kuat bagi generasi baru oleh Kuntowijoyo di atas dikenalkan sebagai muslim yang tanpa masjid. Generasi baru yang sekarang ini (atau sejak 1998) bermain pada gerakan politik jalanan dari rentang ideologi gerakan yang paling kiri hingga ke ujung kanan. Kuntowijoyo menggambarkan berikut, “Kita tidak boleh sakit hati dengan penolakan mereka terhadap otoritas KUI, MUI, ormas-ormas dan tokoh-tokoh Islam lain yang menganggapnya bukan muslim.
Ragam pemikiran agama atau teologi hadir dalam kerangka merespon persoalan yang dirumuskan tersebut di atas sebagai akibat dari gerak struktur sosial yang tak terkendali. Pembaharuan pemikiran Islam dilakukan Cak Nur yang terintroduksi tahun 70-an, menempatkan perspektif modernitas sebagai kenyataan sejarah. Umat Islam, menurutnya harus meletakkan agama sebagai sebuah realitas tersendiri dari wilayah negara yang kemudian terkenal dengan jargon “ Islam Yes, Politik No”.
Dr. Abudin Nata menggali sebanyak 12 bentuk gerakan teologi di Indonesia. Kedua belas gerakan teologi tersebut pada dasarnya mempunyai rujukan sejarah dalam Islam, walaupun banyak diantaranya sangat sumin, yaitu Islam fundamentalis, Islam teologis-normatif, Islam eksklusif, Islam rasional, Islam transformatif, Islam aktual, dan Islam inklusif-pluralis. Tutur Comte perjalanan sejarah masyarakat harus berujung pada sebuah agama generik, Comte menyebut agama humanisme. Giddeiis menambahkan ujung sejarah sesungguhnya berada pada kompleksitas (dualitas yang antagonis) tidak sesederhana yang digambarkan dalam hukum 3 tahap. Masyarakat era positivistik sebagai tahapan akhir dari pengembangan masyarakat itu ternyata mengandung kontradiksi-kontradiksi di dalamnya.
Kebangkrutan universitas dan sekolah menjadi awal babak baru lahirnya ilmu sebagai otoritas yang sesungguhnya. Term impersonal dalam masyarakat ke depan bukan harus dipahami sebagai  non personal dalam arti organisasi , tetapi berada dalam abstraksi nilai yaitu ilmi.
Nasib agama, yang juga sebuah abstraksi sebuah nilai dalam masyarakat impersonal akan sangat bergantung pada eksistensi otoritas ilmu.
Merujuk teori klasik, Emile D. melalui konseptualisasi masyarakat mekanik-masyarakat organik misalnya, identitas primordial menjadi tidak penting atau cenderung ditinggalkan dalam pergeseran mesyarakat mekanik nya masyarakat organik, untuk identitas primordial menjadi sublim.
Comte secara monumental meletakkan koseptualisasi ajaran perjalanan masyarakat, dan prediksi runtuhnya peran agama di tahap akhir perkembangan organisasi sosial itu. Banyak kalangan menilai pewacanaan Comte ini sebagai bukan teori. Comte membagi tiga tahapan perkembangan peradaban masyarakat, dari teologik kemetafisik dan berakhir pada positivistic. Meskipun konsep tualisasinya mengalami teoritikus klasik, namun yang dianggap sebagai kelemahan adalah mengotomatiskan perkembangan masyarakat dalam 3 (tiga) tahap secara disurit. Sehingga menemukan kesulitan jika konseptualisasinya digunakan untuk memotret kondisi masyarakat hari ini. Misalkan, relejiusitas atau bahkan aspek mistis ternyata juga hadir bersama-sama praktek teknologi modern.
Islam asli menurut Bassam Tibi ternyata hanya bermakna Arab jadi Arab Sentris. Masyarakat Arab bahkan memandang Islam syi’ah sebagai agamanya orang Iran. Mukti Ali ketika memberikan orasi pada konferensi filsafat tahun 1979 mengenai konsepsi orang Indonesia tentang Islam ternyata menimbulkan polemik bagi kalangan profesor al-Azhar, karena menurut mereka hanya ada satu Islam yang monolitik, yaitu Islam Arab. Zuhaini Misrawi cendekiawan muda kelahiran Sumenep pernah mempolemikan Islam dan budaya lokal. Maka penelusuran sejarah menjadi sangat lebih penting untuk mendapatkan gambaran otentisitas agama Islam dibandingkang merujuk langsung pada term-term normatif. Untuk kemudian membedakannya dengan budaya atau kebiasaan sebuah komunitas. Cara kritis ini dianjurkan Peter L. Berger dalam terminologi debugking, semacam motif mengikis kepalsuan yang inheren dalam realitas sosial.
Dalam wacana keagamaan sesungguhnya manusia hanya sampai pada dimensi historisitas agama tidak pernah sampai pada normativitas agama.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Featured post

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

Faktor Keturunan ( hereditas ) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartik...

Popular Posts

Pageviews

Powered by Blogger.